Banyuwangi, (Warta Blambangan) Malam yang hangat di Waroeng Kemarang menjadi saksi pertemuan antara budaya lokal Banyuwangi dan apresiasi akademik dari tamu istimewa, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr. phil. Lily Tjahjandari, M.Hum., CertDA.
Dalam suasana khas pedesaan yang dikelilingi hamparan persawahan terasering, Lily dan rombongan disambut dengan pertunjukan tari Gandrung dan barong Osing. Lebih dari sekadar menikmati, Lily ikut menari dalam sesi Paju Gandrung, berbaur hangat bersama penampil dan masyarakat.
Salah satu momen paling menyentuh malam itu adalah ketika Lily membacakan puisi berjudul Sampur Gandrung, karya penyair muda Banyuwangi, Rissa Churia. Dengan suara lirih yang penuh penghormatan, puisi tersebut seolah menjembatani ruang antara tradisi dan refleksi, menggambarkan keanggunan sekaligus perjuangan perempuan Gandrung sebagai simbol budaya Osing.
Owner Waroeng Kemarang, Wowo Mirianto, dengan hangat menemani kunjungan tersebut. Ia menceritakan asal-usul nama Kemarang, yang dalam bahasa Osing berarti tempat nasi atau wakul—sebuah simbol kemakmuran. “Obsesi terhadap tradisi Osing membawaku pada satu nama yang disepakati keluarga: Kemarang. Tepatnya, Waroeng Kemarang,” ujarnya.
Wowo menegaskan bahwa warung tersebut bukan hanya tempat makan, tapi juga ruang kenangan. “Aku ingin menjadikan kenangan masa kecilku di Tamansuruh sebagai ikon restoran ini. Ornamen, konsep, bahkan menu adalah bagian dari nostalgia desa dan citra tradisi Banyuwangi,” tambahnya.
Waroeng Kemarang mengusung konsep perpaduan desa Banyuwangi dan atmosfer Ubud, Bali. Selain pemandangan alam, galeri lukisan yang berada di dalam kawasan warung turut menambah kekayaan estetika. Para tamu juga diajak menikmati kuliner khas seperti sego tempong, rujak soto, pelasan, uyah asem, sego janganan, pecel pitik, kopi lethek, hingga sumping dan kucur.
Turut mendampingi kunjungan tersebut, hadir pula Ketua Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri, budayawan Joyo Karyo Elvin Hendrata, seniman Handoko, Presiden Klub Persewangi dan Syafaat dari Lentera Sastra Banyuwangi, serta beberapa tokoh lainnya.
Lily menyampaikan apresiasi dan kekagumannya. “Kami sangat terkesan dengan suguhan budaya dan keramahan Banyuwangi. Pembacaan puisi dan tarian Gandrung malam ini menjadi pengalaman tak terlupakan. Semoga kolaborasi budaya seperti ini bisa terus berlanjut,” ucapnya.
Waroeng Kemarang malam itu menjelma lebih dari sekadar rumah makan—ia menjadi panggung budaya, ruang kenangan, dan lentera harapan bagi pelestarian tradisi Osing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar