Pages

4/10/2025

Magis Seblang, Jejak Sakral di Ujung Festival Budaya Olehsari 2025

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Hening berubah menjadi haru saat langkah kaki sang penari Seblang menyentuh pelataran Kantor Desa Olehsari, Kamis (10/4/2025). Dengan tatapan kosong namun penuh daya magis, ia bergerak perlahan menuju panggung pertunjukan. Denting gending, aroma dupa, dan bisikan doa mengiringinya. Ribuan pasang mata terpaku. Festival Budaya Seblang Olehsari 2025 resmi ditutup, namun getar sakralnya masih menggema di dada banyak orang.



Tujuh hari rangkaian festival telah menjelma menjadi harmoni antara tradisi, seni, dan geliat ekonomi rakyat. Penutupan acara yang berlangsung meriah di jantung Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, dihadiri oleh Wakil Bupati Banyuwangi H. Mujiono, jajaran Forkopimda, serta Kepala Desa Olehsari Joko Mukhlis.


Dalam sambutannya, Wabup Mujiono tak hanya mengungkapkan rasa bangga, namun juga harapan. “Tidak semua kota punya tradisi seperti ini. Seblang adalah wajah leluhur kita, warisan yang tidak ternilai. Mari kita jaga dan terus hidupkan,” ujarnya di tengah tepuk tangan para tamu dan pengunjung.


Kepala Desa Olehsari, Joko Mukhlis, menyambut baik suksesnya festival tahun ini. Menurutnya, selain memperkuat spiritualitas warga, festival juga menjadi berkah ekonomi. “Selama tujuh hari, UMKM kami mencatat omzet hingga Rp300 juta. Ini bukan sekadar festival budaya, ini denyut hidup desa,” katanya dengan mata berbinar.


Seblang bukan sekadar tarian. Ia adalah ritual. Ia adalah jembatan yang menghubungkan generasi masa kini dengan roh-roh leluhur, dengan hutan yang basah, tanah yang lama, dan sejarah yang belum lelah bersuara. Oleh warga Olehsari, Seblang diyakini mampu menetralisasi energi buruk dan membawa keberkahan bagi bumi tempat mereka berpijak.


“Suasananya mistis, tapi indah,” tutur Lusi Permatasari, warga Surabaya yang tengah mudik ke Banyuwangi. “Saya seperti melihat seni yang sedang berdoa.”


Festival tahun ini juga mengukuhkan Olehsari sebagai destinasi budaya unggulan. Desa ini telah resmi ditetapkan sebagai desa wisata, dan kini menjalin kerja sama kurikulum seni dengan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. “Seblang bukan hanya dipentaskan, tapi juga dipelajari, didokumentasikan, dan dirayakan,” tambah Joko Mukhlis.


Panggung yang tadinya dipenuhi penari dan tabuhan gamelan kini telah sepi. Namun dalam senyapnya, tetap terasa denyut tradisi yang mengakar kuat. Seblang memang usai, tapi ia tak pernah benar-benar selesai. Seperti doa yang terus bergema dalam diam, festival ini akan kembali, menjadi peristiwa tahunan yang ditunggu, disambut, dan direnungkan.


Seblang telah menari. Banyuwangi pun kembali percaya, bahwa kebudayaan adalah napas kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar