Banyuwangi (Warta Blambangan) Langit Banyuwangi berpendar jingga ketika beberapa pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Cabang Banyuwangi berkumpul di kediaman H. Mujiono. Senin itu, (24/03/2025), mereka tidak sekadar duduk berbincang, tetapi larut dalam kajian budaya yang mengalir seperti sungai yang membawa hikmah ke muaranya.
Di antara para hadirin, tampak Moh. Husen, seorang penulis yang telah melahirkan beberapa buku, dan Joko Purnomo, seorang pengacara yang juga aktif dalam berbagai organisasi. Keduanya datang bukan hanya untuk mendengarkan, tetapi untuk berbagi dan menyemai gagasan tentang kebudayaan dan tantangan zaman.
Moh. Husen membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan yang membuat ruangan hening sejenak. "Seberapa jauh kita mengenal budaya kita sendiri?" Ia lalu bercerita tentang pentingnya literasi bagi generasi muda NU. Menurutnya, tanpa menulis dan mendokumentasikan kebudayaan, warisan leluhur akan mudah pudar ditelan zaman.
"Budaya adalah identitas kita. Jika ingin tetap relevan dengan perkembangan zaman, kita harus mampu menuliskannya, mendokumentasikannya, dan memperkenalkannya ke generasi berikutnya," ucapnya penuh keyakinan.
Suasana semakin syahdu ketika Syafaat, pengurus ISNU yang juga Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, mulai berbicara. Ia tidak sekadar membahas budaya Islam di Banyuwangi, tetapi juga mengingatkan sebuah fakta sejarah yang sering terlupakan.
"Tahukah kalian bahwa Shalawat Badar pertama kali dikumandangkan di bumi Blambangan ini?" tanyanya. Beberapa peserta tampak terkejut, sementara yang lain mengangguk pelan.
Syafaat melanjutkan, menjelaskan bagaimana lantunan shalawat itu pertama kali menggema di tanah Banyuwangi sebelum akhirnya menyebar luas ke seluruh Nusantara. Baginya, ini adalah bukti bahwa Banyuwangi tidak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga menjadi bagian penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
Di sudut ruangan, Joko Purnomo mengamati diskusi dengan saksama. Saat tiba gilirannya berbicara, ia menyoroti peran hukum dalam menjaga kelangsungan budaya dan tradisi yang diwariskan oleh para ulama dan leluhur.
"Banyak regulasi yang seharusnya berpihak pada kebudayaan, namun sering kali kurang diperjuangkan. Kita tidak bisa hanya berbicara soal budaya tanpa memastikan ada perlindungan hukum yang menjaganya dari ancaman globalisasi," katanya dengan nada tegas.
Malam semakin larut, tetapi semangat para peserta tak surut. Kajian budaya itu bukan hanya sekadar pertemuan, melainkan ruang refleksi tentang siapa mereka dan ke mana mereka akan melangkah.
Di halaman rumah H. Mujiono, angin berembus lembut, seakan membawa pesan dari masa lalu untuk terus dijaga. Dan di dalam ruangan, percakapan masih berlanjut, menyulam benang-benang pemikiran agar tidak putus di tengah arus zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar