Banyuwangi (Warta Blambangan) Senja di Banyuwangi jatuh perlahan, menyapu langit dengan warna jingga yang berpendar lembut. Di sebuah sudut kota, dalam suasana yang penuh kehangatan, Lentera Sastra Banyuwangi menggelar acara buka bersama, Rabu (19/3/2025). Sebuah pertemuan yang lebih dari sekadar berbagi hidangan, tetapi juga merayakan kebersamaan dan kecintaan pada dunia literasi.
Di antara tawa dan sapaan hangat, hadir sosok yang membawa kenangan dan inspirasi: H. Slamet, mantan Kepala Kementerian Agama Banyuwangi. Ia adalah saksi sekaligus bagian dari awal mula Lentera Sastra. Kehadirannya seperti menghidupkan kembali jejak-jejak awal komunitas ini, ketika semangat menulis mulai dikobarkan, dan mimpi-mimpi literasi mulai dirajut.
Dalam ruangan yang sarat dengan cerita, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, memberikan apresiasinya. Baginya, Lentera Sastra bukan sekadar komunitas, melainkan pergerakan yang membanggakan. Ia mengutip kata-kata H. Slamet tentang bagaimana Al-Qur’an dimulai dengan perintah "Iqra"—bacalah. Maka, menulis dan membaca bukan hanya kebiasaan, tetapi juga ibadah.
"Lentera Sastra ini luar biasa. Ia menjaga api literasi tetap menyala di Banyuwangi. Dan saya percaya, setiap gerakan literasi yang tulus pasti menjadi sesuatu yang berharga di mata Allah," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Suasana semakin cair ketika Chaironi mengungkapkan kisahnya tentang puisi. Siapa sangka, Lentera Sastra membuatnya harus berhadapan dengan bait-bait kata, sesuatu yang awalnya terasa asing.
"Awalnya saya tidak bisa menulis puisi, tapi karena ‘the power of kepepet’, akhirnya jadi juga," ujarnya, disambut gelak tawa hadirin.
Di antara obrolan dan berbagi kisah, Herni Nilawati, sang tuan rumah, memastikan setiap tamu merasa nyaman. Sementara itu, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, menyampaikan rasa syukur atas dukungan yang terus mengalir. Baginya, menulis bukan hanya soal merangkai kata, tetapi juga perjuangan dalam membangun pemikiran dan budaya membaca.
Magrib pun tiba. Saat adzan berkumandang, sejenak semua larut dalam doa, dalam syukur yang tak terucap. Hidangan berbuka tersaji, dinikmati dalam kebersamaan yang lebih dari sekadar makan bersama.
Di penghujung acara, Lentera Sastra sekali lagi membuktikan bahwa literasi bukan sekadar tulisan di atas kertas. Ia adalah cahaya—yang menerangi, menghangatkan, dan menyatukan hati mereka yang mencintainya. Malam pun turun perlahan, tetapi lentera itu akan terus menyala, menerangi jalan panjang dunia literasi di Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar