Tarian Gandrung dalam Arus Zaman: Antara Pelestarian dan Ekspresi Bebas
oleh : Syafaat
Saya membuka grup WhatsApp Komunitas Lentera Budaya dan menemukan unggahan yang menarik perhatian. Seorang perempuan cantik bertubuh semampai, sepertinya masih usia belasan tahun yang bukan berasal dari Banyuwangi, sedang menari sendirian dengan penuh semangat. Ia mengenakan kostum Gandrung, tetapi tanpa ompyog (mahkota khas Gandrung). Namun, yang membuat saya tertegun bukan sekadar kostumnya, melainkan gerakannya yang dilakukan ditengah jalan diantara truk pembaes sound tidak seperti tarian Gandrung pada umumnya. Ia bergerak spontan mengikuti irama musik koplo yang mengalun dari sound horeg di atas truk, sementara penonton di sekitarnya tertawa dan menikmati pertunjukan tersebut.
Seperti biasa, unggahan semacam ini memicu beragam reaksi netizen. Ada yang menganggapnya biasa saja, hanya sekadar hiburan tak sengaja belaka. Tetapi ada pula yang merasa risih, bahkan sedikit emosi. Beberapa komentar menilai aksi tersebut sebagai bentuk pelecehan atau setidaknya kurang menghargai terhadap kostum Gandrung, yang memiliki nilai historis dan sakral. Mereka berpendapat bahwa kostum Gandrung seharusnya dikenakan dalam konteks yang sesuai, bukan sekadar pakaian untuk menari diiringi musik yang jauh dari akar tradisinya.
Saya sendiri memilih untuk tidak ikut berkomentar dalam diskusi yang sedikit panas tersebut. Perbedaan cara pandang kerap kali membawa seseorang ke dalam perdebatan yang tiada ujung. Bisa jadi saya akan dianggap tidak mengerti atau kurang menghormati budaya, hanya karena mencoba memahami kedua sisi perdebatan. Atau sebaliknya, saya bisa dianggap membela sang penari hanya karena ia berparas cantik.
Bagi masyarakat Osing Banyuwangi, Gandrung bukan sekadar tarian untuk menyambut wisatawan atau mengisi panggung hiburan semata. Tarian ini memiliki akar sejarah yang dalam, dan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan suku Osing melawan kolonialisme.
Gandrung muncul sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap belenggu kolonial yang kreatif. Pada masa lalu, tarian ini menjadi strategi rakyat untuk menyamar dan mengumpulkan informasi dari penjajah. Selain itu, ada ritual tertentu yang harus dijalani oleh seorang penari sebelum benar-benar bisa disebut sebagai Gandrung. Salah satunya adalah meras—sebuah ritual inisiasi yang menandai kelahiran seorang penari Gandrung. Ia harus melewati tahapan panjang, mulai dari belajar tari sejak kecil, menjalani prosesi ritual, hingga akhirnya diakui oleh masyarakat. Seorang penari Gandrung juga memiliki kode etik dalam berpenampilan dan menampilkan tarian.
Oleh karena itu, wajar jika ada sebagian orang yang merasa tidak nyaman melihat kostum Gandrung dipakai dalam konteks yang kurang sesuai. Mereka khawatir bahwa jika dibiarkan, pemakaian kostum Gandrung tanpa memahami nilai-nilai di baliknya akan mereduksi esensi budaya itu sendiri.
Namun, zaman telah berubah. Gandrung kini lebih fleksibel dan terbuka terhadap berbagai inovasi. Ada Gandrung Marsan yang dikemas lebih teatrikal, Gandrung Nusantara yang dikolaborasikan dengan tarian daerah lain, hingga Gandrung yang masuk ke dalam format pertunjukan modern seperti festival dan parade budaya, tetapi masih dalam konteks yang diperbolehkan.
Tetapi, seberapa jauh fleksibilitas ini bisa diterima oleh masyarakat? Apakah ketika kostum Gandrung dikenakan tanpa menyajikan tarian Gandrung, hal itu masih dianggap sebagai bentuk apresiasi, atau justru dianggap sebagai pemerkosaan budaya?
Polemik seperti ini bukan hanya terjadi pada Gandrung. Banyak bentuk kesenian tradisional lain yang mengalami benturan serupa. Misalnya, busana adat wilayah tertentu yang dikenakan dalam fashion show tanpa ritual yang seharusnya, atau pakaian adat yang digunakan dalam pertunjukan yang tidak berkaitan dengan kebudayaan daerah tersebut.
Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa budaya harus dijaga keasliannya dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai bentuk ekspresi individu dan dinamika zaman yang terus berkembang dan tak bisa dihindari, seperti sang penari yang gagal menahan diri untuk menari mengikuti musik koplo tanpa memperdulikan bahwa ia sedang berpakaian apa.
Dalam kasus perempuan yang menari dengan kostum Gandrung diiringi musik koplo, kita bisa melihat dua perspektif:
1. Dari sisi pelestarian budaya, hal ini bisa dianggap sebagai tindakan yang kurang menghormati nilai historis dan sakralitas Gandrung. Kostum Gandrung bukan sekadar pakaian biasa, tetapi memiliki makna tersendiri dalam budaya Banyuwangi. Jika dikenakan di luar konteksnya, apalagi dalam pertunjukan yang terkesan asal-asalan, hal itu bisa menurunkan marwah dan keistimewaan tarian ini.
2. Dari sisi ekspresi seni, tarian adalah bentuk kebebasan berekspresi. Musik koplo yang identik dengan spontanitas dan hiburan rakyat tanpa pakem memang kerap membangkitkan semangat seseorang untuk menari. Jika seorang perempuan kebetulan mengenakan kostum Gandrung lalu terbawa suasana untuk menari, apakah itu berarti ia sengaja melecehkan budaya? Bisa jadi tidak. Mungkin, itu hanya spontanitas belaka.
Seiring perkembangan zaman, budaya memang mengalami transformasi. Gandrung yang dulu eksklusif, kini lebih terbuka untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk pertunjukan. Tetapi, sejauh mana batasan perubahan itu bisa diterima?
Pada diskusi yang lebih luas tentang "budaya yang berkembang" versus "budaya yang harus dijaga keasliannya." Dalam banyak kasus, budaya yang terlalu kaku justru sulit berkembang dan akhirnya ditinggalkan generasi muda. Namun, jika terlalu bebas, dikhawatirkan nilai-nilai inti dari budaya itu sendiri akan hilang.
Kasus perempuan yang menari dengan kostum Gandrung diiringi musik koplo bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Apakah kita masih memiliki standar yang jelas tentang bagaimana budaya kita harus dihormati? Dan bagaimana cara kita menyampaikan kritik terhadap fenomena ini tanpa terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif?
Dalam realitas sosial, fenomena seperti ini akan terus terjadi. Tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang nilai budaya, dan tidak semua orang sadar akan makna mendalam di balik simbol budaya tertentu. Maka, alih-alih terjebak dalam debat yang tak berujung, mungkin yang lebih bijak adalah dengan terus memberikan edukasi tentang budaya secara santun dan inklusif. Jika seseorang tidak memahami nilai-nilai di balik kostum Gandrung, mungkin itu karena kurangnya edukasi, bukan karena niat buruk.
Di era digital saat ini, edukasi budaya bisa dilakukan dengan banyak cara. Media sosial, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi tentang sejarah dan nilai filosofis Gandrung. Generasi muda yang aktif di dunia digital bisa menjadi agen pelestarian budaya dengan cara yang lebih kreatif dan menarik.
Pada akhirnya, budaya adalah milik bersama. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan budaya dengan cara yang tetap menghormati akar sejarahnya. Namun, di sisi lain, kita juga harus bijak dalam memahami dinamika zaman yang terus berubah.
Apakah perempuan itu sepenuhnya salah karena menari spontan dengan kostum Gandrung? Bisa jadi ya, bisa juga tidak, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Yang jelas, fenomena ini memberi kita pelajaran bahwa budaya bukan hanya soal mempertahankan tradisi, tetapi juga soal bagaimana kita memahami dan menyikapinya dengan bijaksana.
Jika kita ingin budaya tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang, maka kuncinya adalah keseimbangan. Menjaga keaslian tanpa menutup diri terhadap perubahan. Membuka ruang inovasi tanpa menghilangkan esensi. Dan yang paling penting, mendidik dengan cara yang santun, bukan sekadar menghakimi.
Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar