Siang itu, saya menerima undangan melalui WhatsApp untuk ngopi di sebuah kafe yang cukup unik. Bukan sekadar kafe biasa, tempat ini dikelola oleh sebuah pesantren yang berdiri di tengah kota Banyuwangi. Dalam bayangan saya, pertemuan ini hanya akan diisi dengan perbincangan ringan sembari menikmati secangkir kopi hangat atau mungkin ada tahu walik dan pisang goreng.
Seperti pertemuan sebelumnya, obrolan dengan teman-teman sering kali tak jauh dari topik keseharian, sastra, budaya dan mungkin sedikit refleksi ringan tentang kehidupan. Namun, siang itu, gesah santai perlahan berubah menjadi diskusi yang lebih dalam.
Ternyata, kami dihadapkan pada sebuah tantangan intelektual. Kami diminta untuk berdiskusi dengan para santri yang telah menulis karya ilmiah dengan pendekatan Al-Qur'an. Ini bukan sesuatu yang mudah bagi saya. Meskipun pernah mengenyam pendidikan di pesantren, masa belajar saya di sana tidak sampai tiga tahun. Akibatnya, pemahaman saya tentang penafsiran kitab suci dan yang berkaitan dengan fiqih pun tidak begitu mendalam. Rasanya seperti dilempar ke dalam kolam yang dalam, sementara saya hanya bisa berenang di tepian.
Hadir pula dalam pertemuan itu Mas Moh. Husen, seorang yang saya kenal memiliki wawasan luas, pekolom yang beberapa kali menerbitkan buku, serta seorang teman lama dedengkot komunitas Pegon, sebuah komunitas yang berfokus pada literasi dan kajian keislaman. Kehadiran mereka tentu saja menambah bobot diskusi.
Saya sendiri lebih suka membaca buku "Jejak Kritik," yang ditulis Moh. Husen dengan gaya santai namun mengangkat isu-isu serius, dibandingkan harus menyelami karya-karya ilmiah yang padat dengan teori njlimet dan dalil.
Namun, saya tetap menikmati diskusi ini. Bertukar pikiran dengan anak-anak muda yang masih belasan tahun namun sudah berani menulis dan menyampaikan gagasan mereka adalah pengalaman yang mengesankan. Mereka mencoba mengupas berbagai persoalan dengan perspektif Al-Qur'an, sesuatu yang bagi saya cukup berat. Saya melihat semangat mereka dalam mengeksplorasi keilmuan dan mencoba mengaitkannya dengan kehidupan modern, sungguh sebuah mutiara masa depan keilmuan yang tidak dapat dianggap enteng.
Dalam diskusi ini, saya menyadari bahwa pendekatan terhadap ilmu pengetahuan bisa sangat beragam. Ada yang serius dengan metode akademik yang ketat, ada pula yang mencoba menyampaikan gagasan dengan bahasa yang lebih santai namun tetap tajam. Bagi saya, buku "Jejak Kritik" adalah contoh bagaimana isu-isu serius dapat dikemas dalam bahasa yang lebih ringan sehingga lebih mudah dicerna oleh pembaca yang mungkin tidak berlatar belakang akademik.
Dalam diskusi serius, salah satu santri, dengan penuh percaya diri, mempresentasikan gagasannya. Ia mengutip ayat-ayat Al-Qur'an, mengaitkannya dengan fenomena sosial, dan mencoba memberikan solusi berbasis nilai-nilai Islam. Saya mengagumi keberanian mereka, meskipun dalam hati saya merasa sedikit minder. Betapa luasnya cakrawala pemikiran yang mereka miliki, sementara saya lebih sering menikmati membaca buku tanpa harus masuk ke dalam ranah yang terlalu akademis, ada juga yang mengupas tentang munafiq, dikaitkan dengan dunia sekarang.
Diskusi ini memberikan perspektif baru bagi saya. Saya menyadari bahwa dunia literasi tidak hanya sebatas pada bagaimana kita menulis atau membaca, tetapi juga bagaimana kita memahami suatu gagasan dan menyampaikannya dengan cara yang bisa diterima oleh berbagai kalangan. Ada kalanya, pendekatan santai justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan daripada pendekatan yang terlalu serius dan akademik.
Di akhir diskusi, saya pun berpikir bahwa mungkin para akademisi dan orang-orang yang terbiasa dengan dunia ilmiah juga perlu membaca buku yang lebih ringan seperti "Jejak Kritik." Bukan untuk menggantikan karya-karya ilmiah mereka, tetapi sebagai cara untuk melihat bagaimana persoalan serius bisa diuraikan dalam bahasa yang lebih sederhana. Sebaliknya, orang-orang seperti saya yang lebih nyaman dengan tulisan santai mungkin juga perlu sesekali menyelami dunia akademik untuk memperkaya perspektif.
Ngopi itu ternyata bukan sekadar menikmati secangkir kopi dan obrolan santai. Ada refleksi, ada pembelajaran, dan ada pertemuan antara dua dunia: dunia akademik yang serius dan dunia literasi yang lebih cair. Dan mungkin, di sanalah letak keindahan sebuah diskusi—di mana berbagai gagasan bertemu, saling bersilangan, dan pada akhirnya, saling memperkaya.
Seiring berjalannya waktu, obrolan yang tadinya sekadar berbagi pandangan mulai melebar ke berbagai sudut perdebatan yang menarik. Kami membahas bagaimana literasi bisa menjadi jembatan antara pemikiran tradisional dan modern. Saya mulai melihat bahwa santri-santri ini bukan hanya sekadar memahami teks kitab suci secara harfiah, tetapi juga mencoba menerapkannya dalam kehidupan nyata. Mereka mencari relevansi ayat dengan fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka, sesuatu yang mengingatkan saya pada cara berpikir para intelektual Islam terdahulu, saya yakin para santri ini menjadi penulis handal pada saatnya, menjadi pemikir ulung dengan ide-ide cemerlang yang Adan menjadi pelaku sejarah.
Pengasuh pesantren menuturkan bahwa pemahaman terhadap kitab suci seharusnya tidak berhenti pada hafalan semata, tetapi juga harus berkembang menjadi pemahaman yang kritis. "Kita harus bisa membaca ayat dengan kacamata zaman kita sendiri,". Kalimat itu cukup menggugah saya. Ada makna luas dalam ucapannya. Jika kita hanya terpaku pada teks tanpa berusaha memahami konteks, maka kita akan kehilangan esensi dari ajaran itu sendiri.
Saya pun mulai membayangkan bagaimana jika ada lebih banyak anak muda yang berani mengambil peran dalam dunia literasi dan keilmuan seperti mereka. Akan seperti apa wajah literasi Islam di masa depan jika santri-santri ini terus mengembangkan pemikirannya? Diskusi ini membuka mata saya bahwa keingintahuan adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan pemahaman yang lebih luas.
Dalam perjalanan pulang, saya masih memikirkan obrolan di kafe tadi. Saya merenungi bagaimana dua pendekatan yang berbeda—sastra yang santai dan kajian ilmiah yang mendalam—sebenarnya bisa saling melengkapi. Mungkin, inilah yang disebut dengan "keseimbangan." Kadang kita perlu serius, kadang kita perlu santai. Dan dalam setiap diskusi, selalu ada kesempatan untuk belajar lebih banyak dari apa yang kita kira.
Pesantren Ad Dzikro, 20-02-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar