Lestarikan Tradisi Banyuwangi dengan Mocoan Lontar
Banyuwangi, sebuah daerah di ujung timur Pulau Jawa, memiliki kekayaan budaya yang begitu kaya dan unik. Salah satu tradisi yang masih bertahan hingga kini adalah mocoan lontar, yaitu pembacaan kitab sastra kuno yang berbahasa Pegon atau huruf Arab yang telah dikodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan bahasa lokal. Tradisi ini bukan hanya sekadar membaca teks kuno, tetapi juga sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan agama yang telah diwariskan oleh leluhur.
Mocoan lontar merupakan tradisi membaca naskah-naskah kuno yang mengandung nilai-nilai religius, moral, dan sosial. Naskah-naskah ini biasanya ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon, yang menjadi media penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun, terutama di kalangan masyarakat Banyuwangi yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Beberapa lontar yang biasa dibaca dalam tradisi mocoan pacul goang adalah Lontar Yusuf dan Lontar Hadis Dagang. Lontar Yusuf merupakan kisah yang terinspirasi dari perjalanan hidup Nabi Yusuf, penuh dengan ajaran kesabaran, keteguhan hati, serta nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Sementara itu, Lontar Hadis Dagang sering dibaca ketika ada hajat yang berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan. Pembacaan ini dipercaya membawa berkah bagi mereka yang berwirausaha atau sedang merintis usaha.
Sebagai seorang yang beberapa kali menghadiri acara mocoan lontar, saya menyaksikan langsung bagaimana tradisi ini masih mendapatkan tempat di hati masyarakat. Bahkan, beberapa kali saya turut menemani para peneliti dari perguruan tinggi maupun Balitbang ke berbagai tempat yang masih rutin mengadakan mocoan lontar, salah satunya di pesinaun di Kemiren, sebuah desa adat yang masih kental dengan tradisi Osing.
Di Kemiren, tradisi ini dijalankan dengan penuh kekhidmatan. Para sesepuh desa, dengan suara merdu dan penuh penghayatan, membaca lontar di hadapan para pendengar yang sebagian besar adalah generasi tua. Namun, tak jarang juga anak-anak muda turut serta, meskipun hanya sebagai pendengar. Hal ini memberikan harapan bahwa tradisi ini tidak akan punah begitu saja.
Beberapa lembaga yang peduli terhadap pelestarian budaya juga turut andil dalam menjaga eksistensi mocoan lontar. Dewan Kesenian Belambangan, misalnya, sering mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan dan menghidupkan kembali tradisi ini di kalangan generasi muda. Selain itu, para budayawan lokal juga kerap menginisiasi acara mocoan lontar dalam berbagai kesempatan, seperti festival budaya maupun acara keagamaan.
Keberadaan lontar-lontar ini dulu merupakan salah satu pintu utama dalam mengenalkan ajaran agama Islam melalui jalur seni dan budaya. Di masa lalu, banyak masyarakat yang belum bisa membaca Al-Qur’an atau kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Oleh karena itu, para ulama dan wali menggunakan media lontar berbahasa Pegon sebagai sarana dakwah yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dengan begitu, Islam dapat diterima dengan lebih baik tanpa menghilangkan unsur budaya lokal.
Dalam mocoan lontar, pembacaan sering kali dilakukan dengan irama tertentu, mirip dengan mocopat atau tembang macapat dalam tradisi Jawa. Hal ini membuat teks yang dibacakan lebih mudah diingat dan dipahami. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, pembacaan juga diiringi dengan alat musik tradisional seperti rebana atau kendang, yang semakin memperkaya nuansa estetika dan spiritual dalam prosesi mocoan.
Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini mulai mengalami penurunan peminat, terutama di kalangan generasi muda. Gempuran teknologi dan budaya global membuat anak-anak muda lebih tertarik dengan hal-hal modern dibandingkan tradisi yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa komunitas budaya dan akademisi telah berupaya mengadaptasi tradisi mocoan lontar ke dalam format yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, ada yang mulai mendigitalisasi naskah-naskah lontar agar lebih mudah diakses oleh generasi muda. Selain itu, penggunaan media sosial sebagai sarana promosi dan edukasi juga menjadi langkah yang efektif untuk memperkenalkan kembali tradisi ini.
Tidak hanya itu, beberapa sekolah dan madrasah di Banyuwangi mulai memasukkan mocoan lontar sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan terhadap warisan budaya sejak dini. Dengan begitu, di masa depan, tradisi ini dapat tetap hidup dan berkembang tanpa harus kehilangan esensinya.
Mocoan lontar bukan sekadar kegiatan membaca naskah kuno, tetapi juga sarana untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya serta nilai-nilai keagamaan yang telah ada sejak lama. Keberadaan lontar-lontar seperti Lontar Yusuf dan Lontar Hadis Dagang menjadi bukti bagaimana sastra dan agama bisa berjalan beriringan dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Di tengah tantangan modernisasi, pelestarian tradisi ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, akademisi, hingga pemerintah. Dengan inovasi dan adaptasi yang tepat, mocoan lontar dapat terus hidup dan menjadi bagian dari identitas budaya Banyuwangi yang kaya dan berharga. Sudah saatnya kita bersama-sama menjaga warisan ini agar tidak hilang ditelan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar