Rempeg Rogojampi Agul-Agule Tanah Belambangan: Napak Tilas Seni Budaya Banyuwangi
Saya menghadiri acara yang diadakan oleh komunitas Joyo Karyo di Hedon Cafe dengan tema "Rempeg Jogopati Agul-Agule Tanah Belambangan". Sejak awal, saya penasaran dengan konsep acara ini, mengingat Joyo Karyo dikenal sebagai komunitas yang aktif mengangkat seni dan budaya lokal Banyuwangi. Saya pun beberapa kali menikmati penampilan mereka dalam berbagai acara sebelumnya, serta berdiskusi dengan anak-anak Joyo Karyo di Omah Kopi tentang musik Banyuwangi yang seakan tak ada habisnya untuk dibahas.
Saat melihat tema acara ini, saya belum memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang akan ditampilkan. Namun, perlahan semuanya mulai terasa ketika acara dimulai dengan berbagai pertunjukan seni khas Banyuwangi, seperti "mocoan Pacul Goang", tari Kuntulan, dan Gandrung. Momen ini membawa saya kembali mengenang masa kecil, ketika seni Kuntulan begitu populer di berbagai hajatan kampung dan acara imtihan di pesantren.
Dulu, saya sering menikmati pertunjukan Kuntulan hingga larut malam, terutama ketika ada Kuntulan Caruk—sebuah pertunjukan yang menghadirkan dua atau lebih kelompok Kuntulan untuk saling beradu kreativitas. Namun, seiring waktu, Kuntulan dilarang tampil di tempat umum. Hal ini disebabkan oleh perilaku penonton, terutama anak-anak muda yang tidak bisa menahan diri dan ikut berjoget hingga menimbulkan kericuhan dan tawuran.
Padahal, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan tarian ini. Seni tidak mengenal agama, melainkan hanya cara orang menggunakannya yang bisa membuatnya dipandang positif ataupun mungkin negatif. Kuntulan sendiri merupakan bagian dari tradisi Banyuwangi yang memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan masyarakat pesantren.
Dari cerita orang-orang tua yang saya dengar ketika masih kecil, Kuntulan dan Gandrung pernah menjadi simbol dari dua kelompok besar yang berseberangan secara ideologi di masa lalu. Di tahun 1960-an, ketika situasi politik di Indonesia tengah memanas, dua organisasi besar di Banyuwangi menggunakan seni sebagai alat untuk mengumpulkan massa. Salah satu pihak menggunakan seni Gandrung sebagai daya tarik, sementara pihak lainnya mengandalkan tarian Kuntulan.
Namun, menariknya, para pendahulu kita tidak melarang salah satu kelompok untuk menggunakan seni sebagai sarana propaganda. Mereka membiarkan kedua kelompok mengekspresikan diri melalui tarian masing-masing, mencerminkan kebijaksanaan dalam menjaga keberagaman seni dan budaya di Banyuwangi.
Kini, seni-seni tradisional di Banyuwangi terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Baik Gandrung maupun Kuntulan, keduanya masih eksis dengan berbagai modifikasi agar tetap relevan dan diterima oleh masyarakat modern. Saya merasa beruntung bisa menyaksikan dan menuliskan pengalaman ini, sambil menikmati pertunjukan seni yang kian berkembang di tanah Belambangan.
Keberadaan acara seperti "Agul-Agule Tanah Belambangan" yang diselenggarakan oleh Joyo Karyo membuktikan bahwa seni dan budaya Banyuwangi tetap lestari. Semoga semakin banyak generasi muda yang tertarik untuk melestarikan dan menggali lebih dalam warisan budaya kita, sehingga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar