Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Jalan Panjang Lurus dan Rata: Pencegahan Perkawinan Anak

Oleh: Syafaat

 

Sering kali saya diajak berdiskusi, baik dalam forum resmi maupun secara santai, tentang pencegahan perkawinan anak. Biasanya, yang menjadi topik utama adalah perkawinan yang dicatatkan di lembaga resmi pemerintah. Diskusi ini tampaknya seperti perjalanan panjang yang lurus, mungkin tanpa ujung, dan berhenti tahap demi tahap, namun setiap langkah sangat berarti daripada tidak berusaha sama sekali.

 

Ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau memberikan batasan berbeda tentang usia dewasa. Setiap aturan ini memiliki latar belakang yang berbeda, sesuai konteks zaman dan kepentingannya. Namun, dalam hal ini kita sepakati bahwa definisi "anak" yang kita pakai adalah sesuai dengan Konvensi Hak Anak.

 

Menurut Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang masih berlaku di Indonesia, seseorang dianggap dewasa pada usia 21 tahun atau setelah menikah, meskipun belum mencapai usia tersebut. Dalam konteks hukum, usia ini menunjukkan seseorang memiliki kapasitas penuh untuk bertindak secara mandiri, seperti membuat perjanjian atau melakukan tindakan hukum lainnya tanpa izin wali atau orang tua. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) juga mengacu pada ketentuan ini.

 

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, konsep kedewasaan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang menetapkan batas usia anak hingga 18 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk dalam kandungan. Artinya, seseorang baru dianggap dewasa setelah mencapai usia 18 tahun atau lebih. Ketentuan ini memberikan hak perlindungan khusus bagi individu di bawah usia tersebut dalam hal pendidikan, kesehatan, keamanan, serta dari eksploitasi atau kekerasan.

 

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menetapkan batas usia dewasa untuk perkawinan adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Undang-undang ini mengatur bahwa calon mempelai minimal berusia 19 tahun untuk menikah, kecuali dengan dispensasi dari pengadilan. Dispensasi hanya diberikan dengan alasan yang kuat dan persyaratan tertentu, terutama bagi calon mempelai yang belum mencapai 21 tahun dan membutuhkan izin orang tua atau wali.

 

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, seseorang dianggap dewasa pada usia 17 tahun atau setelah menikah. Ketentuan ini berkaitan dengan hak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang diberikan kepada individu berusia 17 tahun atau lebih atau yang sudah menikah. Dengan KTP, seseorang diakui sebagai penduduk dewasa dengan hak dan kewajiban administratif dalam urusan kependudukan.

Pembahasan tentang perkawinan anak sering kali hanya terfokus pada pelaksanaan perkawinan anak yang sudah memperoleh dispensasi dari pengadilan, atau menyalahkan pengadilan yang memberikan dispensasi tersebut. Persoalan perkawinan anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dicegah bersama-sama. Lembaga yang memberikan izin perkawinan anak tentunya mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka dan memilih jalan yang dianggap lebih baik.

 

Keterpaksaan perkawinan karena pergaulan yang tidak sesuai menjadi alasan utama terjadinya perkawinan anak. Meskipun dalam putusan pengadilan tidak disampaikan secara gamblang, hasil diskusi dengan petugas pengawasan dan pencatatan perkawinan menunjukkan bahwa ini adalah alasan utama terjadinya perkawinan anak.

 

Penolakan atau pelarangan perkawinan anak karena keterpaksaan akibat pergaulan yang tidak semestinya dikhawatirkan dapat memperburuk masalah. Bagi mereka yang sudah terlanjur salah pergaulan, mencegah hubungan yang hanya pantas dilakukan dalam pernikahan sangat sulit, terutama jika sudah ada konsekuensi yang sebenarnya tidak diharapkan. Sebagian besar dari mereka belum siap menghadapi konsekuensi tersebut, serta tidak menyadari dampak jangka panjang dari tindakan mereka.

 

Dalam salah satu diskusi, muncul cerita tentang siswa SMA yang menikah di bawah tangan untuk mencegah kehamilan sebelum usia cukup menurut undang-undang. Mereka bersepakat menunda memiliki anak hingga lulus sekolah atau usia cukup. Meskipun ini mengurangi pencatatan perkawinan anak, solusi ini tidak mendidik dan penuh risiko, sama halnya dengan cara-cara ekstrim pencegahan kehamilan bagi mereka yang belum menikah.

 

Kesadaran tentang risiko yang muncul saat melakukan perbuatan yang belum layak pada usia yang belum matang perlu ditanamkan terus-menerus. Pendidikan tentang hal ini sangat penting, terutama bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan anak-anak sejak dini. Beberapa kasus terjadi karena mereka kurang memahami risiko akibat informasi yang kurang tepat tentang kesehatan reproduksi.

 

Dari diskusi kami dengan Forum Anak (FA) dan Duta Cegah Kawin Anak di beberapa lembaga pendidikan, terungkap bahwa anak-anak seringkali tidak menemukan tempat yang nyaman untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan tentang perkembangan diri dan kepribadian mereka. Akibatnya, mereka mencari informasi dari media online atau teman sebaya yang mungkin tidak tepat, sehingga bisa terjerumus dalam kenikmatan sesaat yang sulit dihentikan.

 

Pencegahan perkawinan anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan oleh semua pihak, terutama orang tua sebagai sandaran utama bagi anak-anak. Pencegahan bukan hanya tentang pengadilan yang mengeluarkan dispensasi atau pejabat yang menerbitkan surat-surat nikah, melainkan tentang membekali anak-anak dengan pemahaman tentang potensi diri dan batasan-batasan yang harus mereka pahami untuk menjaga diri mereka. Karena, pada akhirnya, yang paling dekat untuk menjaga diri adalah diri mereka sendiri.

 

Penguatan peran konselor sebaya secara profesional juga sangat penting. Anak-anak merasa lebih nyaman curhat dengan teman sebaya, tetapi ini tidak efektif jika konselor sebaya tidak menjalankan peran mereka dengan baik atau malah membocorkan rahasia curhat menjadi gosip. Maka, diperlukan lebih banyak pelatihan dan sosialisasi kepada anak-anak dan orang-orang yang langsung berinteraksi dengan mereka.

 

Syafaat ; Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi

  

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog