Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Menyoal Bu Guru Supriyani

Menyoal Bu Guru Supriyani

 


Menyoal Bu Guru Supriyani

Oleh  : Mohammad Hasyim

        Diberitakan dibanyak media. Mengundang   keprihatinan banyak  pihak terutama orang - orag yag seprofesi denganya. Ya,  Bu Supriyani. Seorang guru wanita    SDN 4 Baito  Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Suktra).  Bu Supriyani   yang hanya seorang  guru honorer  (  bukan ASN/PPPK )  diperkarakan oleh salah seorang   wali murid  atas tindakanya. Dia  diduga menganiaya salah seorang murid inisial  D ( 8tahun ).  Menganiaya ?

         Jangan - jangan apa yang dilakukan Bu Supriyni adalah cara beliau mendidik  siswanya  dengan   memberikan hukuman phisik ringan lalu dianggap sebagai bentuk pelanggaran karena telah menyakiti phisisk seorang anak ? , Entahlah . Kita  tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orangtua murid. 

          Kita juga tidak tahu, seberapa luas pemahaman  orangtua  murid hingga  bisa  mebedakan  mana  hukuman  katagori alat pendidikan dan mana hukuman katagori pidana ?  Pastinya akibat tindakan  Bu Supriyani  ini – memukul dengan sapu ijuk - ( menurut pengaukan salah satu siswa lainya  ), kasusnya berbuntut panjang.  Melebar kemana-mana, menyeret banyak  pihak masuk ke pusaran kasusnya.  

          Hari – hari panjang dan melelalahkan  bakal dilalui  oleh guru honorer dengan upah yang tak seberapa itu.  Tentu, Bu Supriyani juga tidak  pernah membayangkan  jika pada akhirnya kegiatan mendisiplinkan  anak didiknya saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung di klas bakal  menyulut kesalahfahaman dan/atau bahkan kemarahan   salah seorang wali murid hingga  membawanya ke meja pengadilan.  

Status Hukuman

        Memberikan hukuman kepada anak didik ( dalam batasan proporsionalitas ) sebagaimana  dilakukan oleh Bu Supriyani sebenarnya adalah hal lazim dilakukan oleh banyak guru dalam rangka menciptakan  situasi kondusif  pembelajaran. Terbangunya kondisi ini penting agar KBM bisa dilaksanakan dengan efektif.  Tujuan dan /atau kompetensi pembelajaran dapat dicapai tanpa banyak kendala.   Sampai disini sebenranya menghukum anak didik – selama dilakukan secara proporsional – bisa dibenarkan ?

          Dalam perpektif   pendidikan klasik, setidaknya  bagi strategi  manajemen klas  bagi Lavengeld,  menghukum ( punishment )  yang dilakukan oleh guru kepada anak didiknya adalah   salah satu upaya  dalam rangka  menegakan disiplin klelas.  Bagi Langeveld, hukuman  adalah salah satu  bentuk alat pendidikan.  Hukuman  kata Langevel lagi adalah  perbuatan dan/atau satu situasi yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan/pembelajaran.  Langeveld mensejajarkan hukuman  dengan alat pendidikan  lainya seperti  pembiasaan, pengawasan, perintah,  ganjaran,  pujian,  larangan hingga  keteladan  dari guru. Yang perlu diperhatikan adalah  memahami sesunggunya makna hukuman itu.  Dalam memberikan hukuman – jikapun  terpaksa dilakukan  – kata  Langeveld,   maka  guru hendaknya berpedoman kepada “ punitur,quia pecatum ost” ( dihukum,  karena  telah bersalah ), dan juga “pinitur, no pecatur” (dihukum, agar tidak lagi  berbuat kesalahan)”  

        Selain   berpijak  kepada pitutur diatas,  guru – siapapun  orangnya - harus pula memperhatikan  hal-hal berikut ketika  hendak memberikan hukuman kepad anak didiknya.  Kapan hukuman itu dipergunakan,  terhadap siapa hukuman itu diberikan ( siswa laki-laki atau perempuan).  Bagaimana hukuman itu dilakukan,  dimana hukuman itu dilakukan, dan juga -  ini yang sangat penting -  bahwa penggunaanya  dilakukan jika hanya sangat perlu.

      Sebagai  alat  pendidikan  represif  ( pendisiplinan ),  guru harus juga menyadari bahwa hukuman tidak boleh diberikan  kepada anak didik  dalam keadaan marah.  Juga,  tidak boleh  diberikan sebagai upaya belas dendam. Dan,  guru hanya boleh memberikan hukuman jika dengan hukuman  itu  iya yakin bahwa tindakanya  akan memberikan efek positif  ( baik ) terhadap perubahan  tingkah laku anak didiknya.

Perlu perlindungan.

       Banyak  literatur  menyatakan bahwa guru adalah jabatan  profesional meski sebagian orang  masih ragu dan debatable soal ini dengan berbagai alasan. Kurang ini, kurang itu.  Sebagai jabatan professional, tentu banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru dan/atau calon guru, sehingga tidak sembarang orang bisa menjalani profesi ini.  Lazimnya sebuah profesi – apapun itu bentuknya  – pastinya dilindungi oleh undang – undang  yang menjamin keterlaksaan profesi itu dengan baik, aman dan nyaman.  

          Bagaiman dengan profesi guru ?,  merujuk kepada  Undang Undang RI Nomor 14 tahun  2005,  di pasal 14, ayat (c), dinyatakan bahwa  dalam melaksanakan tugas keprofesionalan ,  guru berhak “memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas”.  Di pasal 14,  huruf  (g), dinyatakan bahwa guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan  berhak “memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan”.

         Soal perlindungan ?,  pada pasal 39, ayat (1), dinaytakan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.  Pasal yang sama ayat (2), “perlindungan dimaksud  melipuit :  (1),  perlindungan hukum, perlindungan profesi serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (2),  Perlindungan hukum  yang dimaksud mencakup  perlindungan hukum terhadap tindakan  kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain”. Nah, clear kan !

Saling Kesefahaman.

        Keberhasilan tugas profesional seorang guru – seperti  Bu Supriyani – membutuhkan dukungan banyak pihak. Lebih-lebih  pada profesi kependidikan/keguruan.  Pekerjaan dan/atau profesi ini memang mulia, tetapi pada kasus-kasus tertentu beririsan dengan  sensitifitas nilai. Ya , nilai sebuah hukuman. Sebuah pilihan nilai yang sensitif.   Ya  mendisiplinkan anak itu.   Satu sisi memungkinkan dilakukan, disisi  lain timbul resistensi. Karena itu  kerjasama dan saling kesefahaman antar guru dan orangtua murid perihal  ini     sangat penting dilakukan.  

           Satu pihak,   guru harus faham bagaimana memposisikan hukuman sebagai alat pendidikan  yang   penggunaan  dan/atau  pemanfaatanya hanya semata untuk   memperbaiki (  mengkurasi ) prilaku negatif yang terlanjur dilakukan oleh anak didik agar tidak mengulang kesalahan yang  sama  dilain  waktu.   Penting    dilakukan  langkah -  langkah    pencegahan (  prefensi ) secara terus menerus agar potensi prilaku negatif anak didik  bisa dicegah, tidak muncul  dalam prilaku  nyata.  

          Apapun  pilihan  strategi  guru menisiplinkan anak didik  tak ada sedikitpun berniat     membuat  merekaa  terluka, apalagi  trauma.   Pilihan itu ( mendisiplinkan ) adalah semata untuk mencipatakan suasana kondusif pembelajaran yang denganya anak anak bisa memanfaatkan seoptimal mungkin  meningkatkan/memacu   potensi yang dimilikinya.  Dalam konteks ini perlunya direnungkan kata  Sergiovani bahwa “berharap meningkatan  mutu pendidikan  ( pembelajaran : pen ) melalui kerjasama harmonis  guru dengan orangtua murid, lebih baik dari harapan terhadap kurikulum”.

           Kedepan  kiranya perlu dirancang  sebuah    agenda  (semacam forum)   yang  mempetemukan antara guru dan orangtua murid untuk membangun kesepafahaman tentang tugas-tugas guru lebih  komprehensif.  Lebih - lebih bicara tentang beban seorang guru SD. Jujur diakui bahwa guru   SD memiliki  beban lebih dibanding   guru-guru  di satuan pendidikan diatasnya. Beban manajerial  guru SD melampaui  beban akademiknya.  Mereka membangun pondasi dari  awal.  Dari anak-anak yang  kesadaran dirinya  (self relience ) belum terbentuk, baru sebatas pola.  Masih labih. Tergantung ada tidaknya, besar kecilnya, intens tidaknya  intervensi lingkungan, yang salah satunya dari para guru.

           Mereka mengajar. Mereka  mendidik. Mereka  membimbing. Mereka  melatih  anak - anak, memberikan contoh baik  , kemudian  membereskan tugas - tugas  admnistrasi sekolah.  Melalui forum silaturahim   seperti ini ( pertemuan pencerahan )  kesalahfahaman  antara guru dan orang tua dalam hal mendidik dan mendisiplinkan  anak di sekolah  bisa di clearkan.

        Dalam kerangka ini penting bagi Dewan Pendidikan  (DP) menginisiasi niatan baik ini melalui  penguatan komite sekolah,  menyosialisasi materi - materi yang berhubungan dengan  tugas,  kwajiban,  tanggungjawab dan hak-hak  guru. Di pihak lain penting juga dijernihkan  soal tugas, kwajiban,  dan  tanggungjawab   orangtua murid dalam konteks relasi antara sekolah, guru  dan masyarakat. 

_____________________

              Mohamad Hasyim, Pengurus Dewan Pendidikan Banyuwangi. Mengajar di Institut  Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog