Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » , » Desaklarisasi Mitos (Bagian Pertama)

Desaklarisasi Mitos (Bagian Pertama)

 DESAKRALISASI MITOS (1)

Oleh : Mohammad Hasyim

            November ditetapkan sebagai bulan guru nasional . Serangkaian kegiatan menghiasi bulan yang di tanggal sepuluhnya diperingati juga sebagai hari pahlawan. Puncak kegiatan adalah upacara Hari Guru Nasional (HGN) tanggal 25 November tahun ini. Di bulan spesial ini kesempatan bagi kita ( masyrakat ) untuk mengungkapkan rasa terimakasih yang setulus - tulusnya kepada guru karena telah mendidik putra putri kita hingga menjadi pribadi dewasa, cerdas dan berkarakter. 

            Di momen yang istimewa ini pula, kesempatan bagi kita, dan juga masyarakat umumnya mengapresiasi pengabdian dan dedikasi guru yang telah bersusah payah berupaya meningkatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas di sekolah dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Momen ini penting bagi kita (masyarakat) untuk menghargai jasa guru. 



Kesempatan pula bagi kita ( masyarakat) untuk melakukan perenungan, mengakui peran vital guru dalam membingkai perjalanan pendidikan nasional Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa.   

           


Mereka - guru - adalah pilar utama membangun masa depan peradaban bangsa. Mau seperti apa corak, wajah dan watak kehidupan anak anak muda ke depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana cara guru hari ini mendidik, melatih, membimbing dan memotivasi mereka. Karena itu, sekali lagi, di momen yang istimewa ini sepatutnya kita 

 ( masyarakat ) lebih pandai lagi menghormati dan menghargai pengorbanan para guru.

            Kepada pemerintahan yang baru – melalui Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah – diharapkan hadir sejumlah kebijakan yang pro kepada guru. Ya kesejahteraanya, ya jaminan keamananya, kenyaman dan perlindunganya dalam bekerja. Peningkatan kesejahteraan guru menjadi prioritas utama. Hal ini penting agar ke depan guru bisa lebih fokus lagi menjalankan tugasnya tanpa terbebani urusan ekonomi keluarga.

              Jaminan keamaan penting gar guru-guru bisa menjalankan kwajibanya dengan tenang tanpa dihantui rasa takut karena tekanan dari sejumlah pihak. Diperkarakan atas keputusan dan tindakan yang dilakukanya, yang sebenarnya itu merupakan domain otonomi guru. Kita berharap kasus yang menimpa Bu guru Supriyani tidak lagi terjadi. Perlindungan kepada guru wajib diberikan sehingga tidak lagi terjadi kasus kasus intimidasi yang seringkali dialami oleh guru, baik psichis maupun phisik. Jika pun terjadi, ada pihak – pihak yang dengan gagah menjadi tameng dan menggaransinya secara hukum.

               Tak kalah penting, adalah bagaiamana pemerintah memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada para guru sehingga bisa berperan aktif dalam proses - proses perumusan dan/atau penetapan kebijakan pendidikan. Selama ini kebijakan pendidikan ( hampir – hampir ) belum dan/atau tidak melibatsertakan masyarakat – terutama guru. Kebijakan itu selalu datang dari atas, top down. Tidak bisa dieksekusi di lapangan. Tidak selalu bisa dilaksanakan oleh guru. Tidak “ dibutuhkan” . Tidak juga match dengan yang diinginkan masyarakat. Tidak feasibel dijalankan karena keterbatasan sumberdaya. Tidak efektif. Banyak yang mubazir.

Desakralisasi mitos.

         Bahwa guru adalah jabatan atau profesi mulia, kita sepakat. Meskipun sebagian kalangan meragukan dan belum bisa sepenuhnya menerima. Saking mulyanya, dalam perspektif yang lebih agung ( transenden ) pekerjaan mengajar dan/atau mendidik bisa disejajarkan dengan misi kenabian (prophetic mission). Dalam hal ini, panutan para guru, panutan kita semua, adalah Rasululloh Muhammad SAW. Namun dibalik keagungan dan/atau kemulyaan profesi ini, nyatanya masih menyimpan sejumlah mitos yang kurang dan bahkan tidak menguntungkan posisining guru.

          Selama ini masyarakat kadung termakan oleh cerita - cerita yang melabeli guru layaknya priyayi - priyayi agung , orang-orang suci, dewa-dewa penyelamat. Pahlawan yang tak selayaknya mengonversi pekerjaanya dengan imbalan – imbalan yang bersifat duniawi ( profan ), uang misalnya. Mitos-mitos yang mengingkari fakta saintifik inilah yang kemudian menjadi pagar perintang (baurrier) bagi guru untuk memeproleh hak-hak dan perlakuan obyektif dari masyarakat. Karena itu selayaknya kita hilangkan, kita buang (desekralisasi).  



             Cerita - cerita seputar keagungan ( transendentalitas ) guru seperti ini yang justru melegalisasi dan menjadikan jabatan guru belum atau bahkan tidak memeperoleh apresiasi sewajarnya dari masyarakat. Kurang memiliki daya tawar ekonomi sewajarnya, meskipun hal ini bukan segalanya.

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa, atau pekerja sosial tanpa imbalan misalnya, adalah penghormatan yang sebenarnya tidak lagi relevan sepenuhnya dengan kondisi sosial saat ini .

             Guru hari ini, adalah profesi yang berhak dihargai tinggi oleh masyarakat. Guru memiliki tanggungjawab, memiliki kwajiban dan karenanya berhak menerima imbalan layaknya profesi lainya. Profesi terbuka ?, yang saking longgarnya, setiap orang, siapa saja asal mau bisa bekerja dan / atau menjadi guru. Pandangan seperti ini sama saja meremehkan profesi guru. Padahal untuk bisa menjadi guru banyak syarat yang harus dipenuhi. Baik ketika sebelum menjadi guru ( pra jabatan ) maupun ketika telah benar -benar menjadi guru di sekolah (dalam jabatan). Sertifikasi guru adalah salah satu contohnya. Dan masih banyak lagi syarat - syarat lain yang harus dipenuhi berkenaan dengan kompetensi.

         Pekerjaan ini eksklusif, sehingga tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Hanya orang - orang terpilih saja yang layak memikul jabatan mulya ini. Profesi ini dalam pelaksanaanya berhak memperjuangkan dan/atau memperbaiki nasibnya sebagai bagian dari pemenuhan Hak Azasi Manusia (HAM). Silih bergantinya intervensi dan/ atau penetrasi pihak - pihak luar kepada guru dalam bertugas adalah gambaran betapa dalam soal ini (HAM) para guru dalam posisi lemah dan masih harus berjuang keras.

           Dan senyatanya, profesi ini ( guru ) belum juga benar - benar terbebas dari bias gender ( gender baies ). Masyarakat masih menganggap bahwa profesi ini hanya cocok untuk perempuan yang puas meski hanya dengan imbalan yang minim. Tentu saja gambaran yang stereotype (halu) ini amat sangat menyesatkan. Menyakitkan hati para guru. Sebuah profesi, jika telah dijalankan tentu tidak akan ada beda antara laki – laki dan perempuan. Ukuranya hanya satu, profesional.

______________________

               Mohammad Hasyim, Fungsionaris Dewan Pendidikan Banyuwangi.

               Pengawas Pendidikan Menengah 2006 - 2018

              Menagajar di Insitut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi.



















Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 komentar:

Yusuf mengatakan...

Sangat menginspirasi generasi muda saat ini....

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog