Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra
Dwi Pranoto
**Yang bukan-penyair tidak ambil bagian**
*(Chairil Anwar)*
Ketika membaca topik sarasehan "Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra" dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), kepala saya dipenuhi pertanyaan: Apa hubungan antara AI dan masa depan sastra? Mengapa AI menjadi isu dalam sastra? Seberapa besar pengaruh AI dalam membentuk karya sastra di masa depan? Apakah AI akan mempengaruhi status dan posisi kepengarangan? Jika AI memegang peran penting dalam menentukan bentuk sastra dan posisi kepengarangan, maka bentuk karya sastra serta status kepengarangan mungkin mengalami perubahan signifikan—bahkan bisa hilang. Topik ini memunculkan kecemasan tersirat.
Perubahan yang berpotensi terjadi di masa depan sering kali memicu kecemasan. Selain ketidakpastian akan perubahan apa yang akan datang, perubahan umumnya dianggap sebagai hilangnya sesuatu yang telah kita miliki saat ini, sebagian atau seluruhnya. Ketika Thoth memperkenalkan tulisan sebagai pengganti ingatan kepada Thamus, ia menanggapinya dengan skeptis, menganggap tulisan hanya sebagai alat pemulih ingatan yang dapat melemahkan memori biologis. Seperti kecemasan Thamus terhadap tulisan, kita kini cemas bahwa AI, yang mampu meniru karakteristik bahasa dan narasi manusia, dapat menggantikan peran penyair.
**Inovasi Teknologi sebagai Pemicu Badai Schumpeter**
Teori "Badai Schumpeter" atau *Creative Destruction* menjelaskan bahwa inovasi teknologi menciptakan perubahan besar dalam ekonomi. Perubahan struktural dan fungsional dalam pasar sering kali membuat elemen-elemen lama menjadi usang. Contohnya adalah layanan streaming yang mengubah cara kita mengakses musik dan berita, sehingga industri rekaman dan penerbitan tradisional meredup. Lebih jauh ke belakang, penemuan mesin cetak oleh Gutenberg mengubah cara produksi dan distribusi tulisan, membuka jalan bagi genre baru seperti novel, dan memperluas batas-batas kepengarangan.
Pada masa kini, teknologi internet memfasilitasi simultanitas ruang-waktu dan komodifikasi informasi, memicu munculnya gagasan seni baru yang mengaburkan batas antara seni dan bukan seni. Seni kearsipan, misalnya, menggunakan narasi kesejarahan yang ada pada benda-benda untuk menciptakan narasi baru melalui interpretasi kreatif. Seni kearsipan ini menunjukkan bagaimana inovasi teknologi tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga mengubah praktik dan prinsip seni.
**Badai AI dalam Ekosistem Sastra**
Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah melahirkan model bahasa raya seperti AI, yang dapat memproses data teks global dan menumbuhkan teks baru berdasarkan pola kebahasaan yang dilatihkan. Contohnya adalah ChatGPT, yang mampu menghasilkan teks informatif maupun kreatif meski masih formulaik. Kemampuan analitis AI yang didasarkan pada pola data memungkinkan analisis yang akurat, namun AI belum mampu sepenuhnya mengimitasi kemampuan kreatif manusia.
Teori Pembacaan Jauh (Distant Reading) oleh Franco Moretti adalah contoh pemanfaatan AI dalam sastra, di mana korpus sastra dianalisis komputasional untuk menggambarkan hubungan antar-karakter atau antar-karya sastra. Proses ini menggantikan pembacaan tradisional dengan input data yang diproses oleh AI. Jika pembacaan dan analisis dilakukan oleh AI, lantas siapa yang berhak atas hasil penelitian ini? Masalah kepemilikan hak intelektual akan semakin rumit jika AI menjadi mitra dalam penciptaan karya sastra.
Kemampuan AI yang terus berkembang menimbulkan ancaman nyata dalam ekosistem sastra. Beberapa posisi pekerjaan, seperti proofreader dan editor, berada dalam risiko tereliminasi. Di sisi lain, kemampuan AI meniru kerja kreatif manusia telah memunculkan konsep yang menantang Antroposentrisme (Anthropocentrism). Dalam konteks ini, buku "Penyair sebagai Mesin" oleh Martin Suryajaya memperkenalkan gagasan bahwa manusia dan mesin AI bisa duduk setara dalam penciptaan karya kreatif, melalui konsep 'rakitan kognitif'.
**Konsekuensi 'Rakitan Kognitif' dalam Sastra**
Konsep 'rakitan kognitif' menyetarakan manusia dan mesin AI, namun dengan mengorbankan sensibilitas manusia. Sensibilitas yang menjadi landasan pengalaman estetik, dan yang selama ini membedakan seni dengan non-seni, mulai tergerus. Ini bisa mengarah pada penghapusan batas antara sastra tinggi dan rendah, serta antara sastra dan bukan sastra. Jika AI membawa demokratisasi sastra, itu mungkin setara dengan tirani anonimitas kolektif. Kesetaraan dalam sastra seharusnya bukan sekadar pengakuan hak, melainkan upaya memisahkan kemanusiaan dari kecenderungan hewani.
**Masa Depan Sastra dalam Bayang-Bayang AI**
Badai Schumpeter yang dipicu oleh teknologi AI sudah mulai dirasakan di ekosistem sastra. Posisi-posisi seperti proofreader dan editor menjadi rentan. Jika AI mengambil peran signifikan dalam penciptaan kreatif, pertanyaan tentang authorship dan hak intelektual akan semakin mendesak. Model Pembacaan Jauh menunjukkan kemungkinan membaca tanpa membaca, yang dapat menggeser relasi antara *word* dan *thing* menjadi antara *word* dan *code*. Teknologi AI yang mampu berperan dalam penulisan kreatif mendorong munculnya gagasan kesetaraan manusia dan AI yang bisa menghilangkan spesifisitas sastra.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar