Man Nahnu Lima
Menggahar Cintamani Banyuwangi'
Bukunya tidak terlalu tebal, cenderung dengan bahasa ringan namun isinya mantap dan bukan tulisan yang benar-benar baru, hanya kumpulan tulisan yang telah di muat di harian cetak pagi yang dipimpinnya, namun beberapa dosen bergelar doktor dan beberapa pejabat ikut hadir dalam bedah buku yang diadakan di auditorium Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, bahkan Ipuk Fiedtisndani dengan seabrek agenda kegiatan pun juga menyempatkan hadir, walaupun saya melihat sedikit guratan lelah di wajah cantik istri Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini.
Saya telah lama mengenal Samsudin Adlawi (Kang Sam) bukan hanya sebagai Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, namun juga seorang budayawan dan sastrawan dengan seabrek tulisan yang pada saatnya nanti akan dikenang oleh para pembacanya, beberapa kali saya tandem mengisi acara sastra, dan saya meskipun juga pengisi acara juga menyimak paparan yang disampaikan penulis aktif yang bijaksana dan inspiratif, selalu ada ide cemerlang setiap menyampaikan materi, sayapun beberapa kali menerima kritikan dari sang penulis yang telah menerbitkan banyak buku ini.
Saya menghadiri launching dan bedah buku Man Nahnu jilid lima dengan mengambil judul dari salah satu tulisan yang ada di buku tersebut "Menggahar Cintamani Banyuwangi', saya tadinya tidak faham dengan makna dari judul tersebut, meskipun saya juga pernah membaca hampir semua isi buku di rublik harian pagi Jawa Pos Radar Banyuwangi.
Bahasa sastra nampak dari ulasan dari isi buku tersebut, kita terpancing untuk membacanya ketika kita baca judul menggelitik dari Man Nahnu yang terbit sepekan sekali, selalu diawali dengan bahasa yang membuat pembacanya terus membaca paragraf demi paragraf tanpa melewatkannya, bahkan tidak jenuh jika harus membacanya secara berulang.
Bukan hanya penulisnya yang hebat, buku ini juga dibedah oleh orang-orang hebat di bidangnya, ada Sugihartoyo, Ketua Perpenas 17 Agustus 1945, seorang akademisi yang saya kenal ketika menyampaikan materi kuliah filsafat, ada yang menarik dari ulasan Pak Gik (panggilan akrab Sugihartoyo) bahwa ilmu yang paling tinggi yang dapat diraih manusia adalah kesabaran dan disiplin atau Istiqomah, dan Kang Sam telah mencapai keduanya.
Tulisan Kang Sam meskipun nylekit, mampu menyampaikan kritik dengan bahasa menggelitik, sehingga hanya tersenyum bagi mereka yang merasa tercubit.
Tulisan Man Nahnu selain mengulas kejadian di Banyuwangi, juga menyampaikan kritik sosial yang tajam, namun dibalut dengan bahasa santun, kritik yang dilontarkan ibarat bola bekel, semakin keras terbanting, semakin pantulannya, kita tunggu tulisan-tulisan berikutnya agar dijadikan referensi bagi para petinggi negeri.
Selain Pak Gik, Wakil Ketua Dewan Ahli PC ISNU Kabupaten Banyuwangi bergelar doktor yang juga dosen IAI Ibrahimy Genteng Kurniyatul Faizah serta Ketua DKB Banyuwangi Hasan Basri juga menjadi pembedah buku.
Kang Sam pernah menjabat sebagai Ketua BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Juga DKB (Dewan Kesenian Belambangan) Banyuwangi, saat inipun masih aktif di beberapa organisasi, selain di DKB juga merupakan salah satu Ketua MUI Kabupaten Banyuwangi, karenanya sosoknya tidak dapat diabaikan begitu saja, sayapun mendapat WhatsApp khusus dari pengurus ISNU Kabupaten Banyuwangi agar sedapatnya hadir dalam bedah buku tersebut, sebuah kesempatan langka yang tidak boleh di sia-siakan, bertemu dengan penulis hebat, dibedah oleh orang hebat dan dihadiri oleh orang-orang hebat yang memenuhi ruang auditorium, acara ini bukan sekedar launching dan bedah buku, tetapi juga menjadi ajang refleksi diri, terutama dalam memahami dan menghargai karya sastra yang mampu memberikan pandangan kritis, namun tetap santun, saya berharap akan lahir penulis-penulis muda Banyuwangi dengan karya tulis yang dapat dijadikan referensi berharga.
Syafaat : Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar