Mina oh Mina
Sejak di tanah air, gambaran tenda Mina yang paling banyak menyita pikiran, hal ini diakibatkan berita tentang di tutupnya Mina Jadid dan bertambahnya jamaah haji Indonesia yang diberangkatkan. Saya selalu menyampaikan ke jamaah haji sebelum keberangkatan, tentang kondisi yang harus kita hadapi, tentang kesabaran yang harus kita luaskan ketika tempat berteduh semakin sempit, karena meskipun semakin sempit, semakin banyak yang menginginkannya, bahkan yang tahun ini berangkat adalah mereka yang sudah antri selama 14 tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian, yang semakin lama semakin bertambah lama dan semakin banyak yang menginginkannya.
Kepusingan bertambah ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak seperti biasanya yang melakukan survei lokasi sebelum pelaksanaan Armuzna. Memang beberapa hari sebelum puncak haji, kita diminta ke Masyarik untuk bersama-sama berkunjung ke Armuzna, melihat lokasi mabid yang akan kita gunakan, hanya berlima kita berangkat, dan seperti biasanya Ning Wida juga turut serta, karena dia penanggung jawab kesehatan jamaah, dokter cantik ini sangat nyaman diajak komunikasi, bahkan meskipun ada tiga tenaga kesehatan, beberapa jamaah fanatik minta diperiksa oleh sang dokter, secara detail juga ada yang mengirim foto bagian tubuh yang sakit untuk dianalisa secara khusus.
Kita bersama delapan petugas kloter lainnnya diangkut bus menuju Arafah, masing-masing kita juga membawa kartu nusuk sebagai password masuk Arafah, penjagaan memang sangat ketat, Ning Wida di dekatku bibirnya nampak mengucapkan sesuatu, yang saya yakin dia tidak sedang membaca mantra, atau menyampaikan lagu cinta, mungkin dia sedang berdzikir atau membaca kitab suci, sementara saya masih dalam debaran tidak pasti, terutama ketika bus memasuki wilayah depan Universitas Umul Quro yang berada di jalan menuju Arafah.
Di jalan banyak bertebaran polisi, beberapa jalur juga banyak yang di tutup, bus yang kami tumpangi mengarah pada jalur yang diarahkan oleh para polisi, dan kita tidak tahu menuju kemana, karena kita adalah tamu yang yakin akan diperlakukan secara istimewa. Benar saja dugaan kami, karena sudah lama tak sampai juga, berputar-putar menikmati perjalanan bus, sepanjang perjalanan banyak pohon kurma yang mulai memamerkan ranum buahnya. Bagi kita itu merupakan pemandangan luar biasa karena jarang ditemukan di Indonesia pohon kurma yang menampakkan buahnya.
Hari itu kita tidak pernah sampai Arafah, apalagi Mina, bus yang kita tumpangi kembali ke Masyarik Office, Ning Wida yang duduk tepat di sampingku nampak menyelesaikan bacaannya, dan baru bertanya kenapa kok kembali ke Masyarik. Saya diam saja karena juga tidak mengetahuinya, dan baru mengerti setelah ada penyampaian dari Mbak Hana, pemandu Bus berkebangsaan Saudi Arabia yang bisa Bahasa Indonesia, menyampaikan bahwa kita tidak dapat masuk Arafah karena ketatnya penjagaan polisi yang tanpa kompromi.
Bisa dibayangkan betapa beratnya beban pikiran meskipun dikirimkan denah peta Mina yang kami mendapatkan dua tenda di sekitar masjid Quwaid yang berada di Mina, gambaran saya mungkin yang manis-manis saja seperti wajah Ning Wida, pikiran positif muncul bahwa kita bisa memanfaatkan Masjid untuk aktivitas ibadah yang kita lakukan, meski belum tahu bersama sebenarnya luas tenda Mina yang kita terima, saya hanya membaginya berdasarkan perbedaan jenis kelamin jamaah, untuk tenda yang lebih luas kita berikan kepada jamaah perempuan, dan sisanya untuk jamaah laki-laki, toh jamaah laki-laki dapat tidur diluar tenda sambil merokok dan ngopi-ngopi.
Kedatangan kami ke Mina setelah perjalanan dari Muzdalifah pada awalnya lancar-lancar saja, terlebih Ning Wida sangat berani dan cekatan membantu menata jamaah, tubuhnya yang mungil tak membuatnya diam menunggu, inisiatif selalu muncul yang itu sangat membantu pikiranku yang kadang juga lelah seperti orang lain.
Saya ke Masjid setelah jamaah haji menikmati tenda, merebahkan diri setelah menunaikan sholat duha, banyak jamaah berbagai negara dalam Masjid, udara sangat nyaman didalamnya, setidaknya rebahan yang saya lakukan dapat menghilangkan penat yang sejak semalam terpendam.
Nasib tak seindah prediksi, Masjid Quwaid yang tadinya saya anggap dapat kita manfaatkan untuk mengurangi kepadatan jamaah dalam tenda, ternyata membuat masalah selalu ada, dan ini saya dapati ketika saya selesai melontar jumroh kubro atau tertulis di dinding sisi kanan Big Jamarat, saya bersama petugas Kloter yang berangkat setelah sebagian jamaah pulang, memilih ke Jamarat lewat terowongan yang menuju lantai tiga jamarat, kemudian setelah melontar jumroh Aqobah, kita ke lantai dasar, melihat gemerlap pertokoan sekitar Jamarat.
Menikmati pemandangan lantai dasar Jamarat sangat mengasikkan, nampak orang-orang sedang antri memesan Al-Baik, ayam goreng dengan rasa khas yang hanya ada di Saudi, saya sengaja akan pulang melalui jalur bawah agar ada suasana berbeda, terlebih teman petugas kloter yang baru pertama kali bertugas, sehingga tidak hanya jalur terowongan saja yang mereka ketahui untuk menuju Jamarat dari tenda Mina.
Saya sedikit kaget sampai tenda Mina, beberapa kasur spon sisa digelar dalam tenda sebagian diambil oleh orang luar, mereka bisa masuk melalui pintu darurat menuju masjid yang dibuka sendiri oleh jamaah haji Indonesia agar mudah menuju masjid, mereka tidak sadar bahwa perbuatannya mengakibatkan orang luar masuk wilayah perkemahan yang seharusnya hanya untuk penghuni maktab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar