PERGI KARENA PANGGILAN TUGAS, KEMBALI KARENA TAUTAN CINTA
Tetesan Pena: IGB Sudharma
Minggu pagi aku duduk sendiri tiada yang menemani, aku memandang jauh ke depan, sunyi hampa tiada bertepi. Cuaca dingin mencekam diiringi hujan rintik tiada berhenti. Anganku melayang jauh, teringat Istriku yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi. Kini ia telah pergi menghadap Allahu Illahi Robbi, tinggalkan aku sendiri yang hidup serasa mati. Ia, wanita yang mencintaiku setulus hati laksana katanta suci, terlahir dari ibu Banyuwangi asli, sedang ayah keturunan Turki.
Perkenalanku dengannya saat aku mengambil cuti. Bersama saudara angkatku Victor Misantono setelah kami bertugas tempur di Timor Timur pada bulan Oktober 1975. Saat itu kami datang ke Komdis Kepolisian Benculuk untuk menandatangani surat cuti. Bersamaan dengan itu, datang seorang wanita dengan membawa sepiring mangga lengkap dengan bumbunya, Sungguh mempesona dan membuai pandangan para anggota polisi. Ia menebar senyum yang sangat menawan dengan lesung pipit kedua pipinya mendekat kepadaku. Betapa jelas kumelihat dada montok, pinggang ramping serta bibirnya yang basah merah merekah. Terlihat sangat alami, membuatku dan saudara angkatku menghampiri dan mengajaknya berkenalan.
“Victor Misantono,” saudara angkatku memperkenalkan diri terlebih dahulu
“Nanung.” Jawabnya singkat
Lantas aku memperkenalkan diri dengan nama samaran “Boni Arta”
Dia tertawa mendengar ucapanku, sambil berkata “Dharmo itu! Boni Arta katanya mas… Mas!”ucapnya seraya memainkan matanya yang berbinar.
“Loh kok tahu namaku?” tanyaku padanya, namun dia hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Sambil tersenyum dia melangkah pulang.
Karena penasaran, aku pun mengikutinya sampai rumahnya. Dari pintu pagar, aku kembali menanyakan perihal dia yang mengetahui namaku. Dia menjawab sambil tersenyum “Mas, di Benculuk ini bahkan sampai Srono dan Purwoharjo. Siapa yang tidak kenal dengan sampean mas? Bahkan sampean ini idola para gadis di sini!”
“Termasuk kamu?” Saudara angkatku menyeletuk menanggapi jawaban Nanung
Nanung terdiam sejenak sebelum membalas ucapan Victor “Apalah artinya saya mas, yang hanya seorang janda…” ucapnya lirih sembari mempersilahkan kami menikmati teh dan kudapan.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang aku dan Victor pamit undur diri dan berjanji akan kembali lagi apabila diperbolehkan. Untungnya Nanung memperbolehkan kami apabila ingin berkunjung lagi.
Sampai di rumah, kami langsung makan siang dan istirahat. Sore harinya aku kedatangan tamu dari Siliragung Bapak Abdillah bersama Putrinya Sulistiyowati. Bapak Abdillah adalah mantan anak buah ayah saya di Komdis Kepolisian Siliragung, sedangkan putrinya adalah teman bermain adikku Hariati saat masih kecil dahulu. Kami mengobrol sampai larut malam, hingga ibuku mengatakan untuk istirahat tidur dan melanjutkan ceritanya pada esok hari.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi, ibuku bertanya “Kapan kamu sowan ke pusara ayahmu?”
Aku lantas bertanya “Hari apa sekarang Bu?”
“Hari kamis,” jawab ibuku
“Kalau begitu Hari Minggu saja aku ke sana bersama Kak Putu dan Kak Kade.”
Kami mengobrol lagi sampai jam 10 siang, hingga akhirnya pak Dilah –demikian panggilan akrabku kepada Pak Abdillah dan putrinya pulang.
Setelah makan siang, Ibuku bertanya bagaimana pendapatku tentang Sulis.
“Cantik, semua pilihan-pilihan Ibu cantik. Tapi bukan tipeku, termasuk mangde Bali. Aku mencari istri yang seperti dia bu, orang yang meninggalkanku untuk menikah dengan laki-laki lain. Sifat yang seperti dia yang bisa menasehati dan memberikan masukan-masukan dalam tugasku, jadi nggak sekedar cantik saja ..”
Belum selesai ucapanku, ibu menyela dan berkata “Lha mereka kan sudah bisa ngah mereka rata-rata tamatan SMP bahkan ada yang sudah tamatan SMEA, masak sih tidak bisa?”
“Tapi mereka masih bau kencur bu, hanya bisa bermanja dan tidak bisa diajak hidup prihatin. Apalagi hidup di Kupang,” jelasku
Ibuku hanya diam dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Pada keesokan harinya setelah aku dan Victor mandi, kami berdua menuju Masjid Jami’ Benculuk untuk Sholat Jumatan. Oleh salah satu Takmir aku diminta untuk duduk di shaf depan, sejajar dengan khatib. Kebetulan saat itu yang menjadi Khatib dan Imam Sholat adalah Ayah Nanung, H.Sanusi.Setelah selesai Sholat Jum’at, kami diajak mampir ke rumahnya, kami berdua pun mengikutinya.
Setelah sampai, seisi rumah terkejut dengan kedatangan kami. Nanung dan Ibunya salim kepada Ayahnya. Aku salim kepada Ibunya Nanung dan diikuti dengan Victor. Nanung menyalamiku sambil mencium punggung tanganku, sedangkan dengan Victor dia hanya berjabat tangan biasa. Hal itu membuat Victor sedikit tidak enak hati dan berkata dalam bahasa Jawa “Ngah, aku nggak dicium tangane koyok awakmu?!”
“Lupa kali Vic” aku menanggapinya dengan singkat, mendengar ucapanku Victor menggerutu dalam diamnya.
Kami disuguhi teh panas dan pisang goreng sambil mengobrol. Setelah cukup lama, kami pamit untuk pulang.
Sampai di rumah Ibuku langsung bertanya “Dari mana saja kalian?”
“Dari rumah teman,” jawabku
“Ini ada Telegram dari Kupang!” Ibuku berkata sambil menunjukkan padaku.
Setelah kuambil dan kubaca, ternyata isinya adalah perintah untuk kembali ke Pangkalan bagi anggota yang sedang cuti, karena ada panggilan tugas kedua dari Pangkupur. Akupun langsung menelepon penjagaan Brimob melalui telepon rumah, kebetulan komandan jaganya Mas Kardi, kakak angkatku. Dia sangat senang mendengar telepon dariku, dia bertanya tentang pernikahanku dan kujawab “Batal mas. Nanti saja ceritanya waktu aku sampai di Kupang. Aku mau tanya tentang Telegram ini lho...”
Belum selesai kalimatku, Mas Kardi langsung menjawab “Bener dik, kita diberi persiapan dua minggu, jadi masih ada waktu 10 hari. Jika dik Dharma datang cepat, bisa menyesuaikan diri dengan anak buah yang akan dik Dharma pimpin”
“Baik mas, Insya Allah” jawabku sebelum mengakhiri panggilan telepon.
Pada hari Minggu, sebelum ke Pusara Ayah, aku dan Victor bertamu di rumah Nanung untuk berpamitan sekaligus menyampaikan isi hatiku padanya.
“Besok Senin aku kembali ke Mako Brimob Kupang Nung, kemarin dapat telegram perintah untuk segera kembali ke Pangkalan!” ucapku
“Kok mendadak Mas?” tanyanya yang tak percaya.
“Inilah Prajurit, apabila ada panggilan tugas, dalam keadaan apapun kami harus siap pakai.” aku menjawab pertanyaannya “Nah, sekarang aku ingin bertanya. Kalau seandainya kamu jadi Istri Prajurit bagaimana? Sanggup nggak?” aku balik bertanya padanya, memancing reaksinya.
“Siapa sih yang mau denganku mas?” ada raut getir di wajahnya
Belum sempat aku menanggapi, Victor lebih dulu menjawab “Aku mau, Dharma juga mau, tinggal pilih saja mbak”
“Ah masa sih mas? Sampean jangan bikin hati saya bertanya-tanya?" Nanung menanggapi ucapan Victor
“Benar kata Victor, tapi ada syaratnya”
“Apa mas?” dia bertanya padaku
“Jadi Istri Prajurit itu harus bisa hidup sederhana, tabah, sabar dan jujur. Kenapa kami disebut Prajurit, karena kata Prajurit sendiri berasal dari kata Prasojo, Jujur dan Irit” jawabku
“Omah genteng tak saponi mas. abot enteng tak lakoni!” jawabannya membuatku sedikit tersenyum menangkap sinyal lampu kuning. “Tapi bener sampean ngomong gini mas? Sejujurnya saya masih nggak percaya. Saya kan janda, kenapa mas milih saya?” dia bertanya
“Memang kenapa kalau janda? Jujur, akau juga sudah tidak perjaka karena pernah diperkosa dua gadis saat aku mabuk di pesta perkawinan teman. Kalau nggak percaya, tanya saja Victor” aku menjawab sambil menunjuk Victor.
Setelah itu kami berbincang-bincang sedikit lama sebelum undur diri untuk pulang. Setelah dari rumah Nanung, kami pergi ke pusara ayah di pekuburan Hindu yang ada di Kelurahan Karangrejo Banyuwangi kota.Aku sangat bangga dengan ayahku yang telah mengajariku beladiri pencak silat mulai kecil.Hingga aku menjadi dewasa dan menjadi pribadi yang tegap,tangguh dan percaya diri. Beliaupun menasehatiku agar selalu santun pada siapapun, mengalah, selalu berbuat kebaikan, kendati kita sendiri dalam kekurangan.Cari teman sebanyak-banyaknya,tapi apabila ada musuh juga yang datang pantang untuk dihindari, pakai prinsip 3 ngah: ngalah, ngalih, ngamuk. Cukup lama kami berdua di pusara sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk persiapan kembali ke Markas.
Saat aku sedang membereskan barang yang akan kubawa, kakak sulungku bertanya “Besok naik apa ke Surabaya?”
Aku menoleh Victor dan menjawab “Naik Bus mas, besok nginep dulu satu malam lalu berangkat ke Kupang”
“Jadi kamu hari Senin nggak langsung berangkat ke Kupang, tapi nginap dulu?”
“Iya mas” jawabku
Kakak sulungku terlihat sedikit berfikir “Apa gini saja. Kamu malam ini langsung ku antar ke Bandara?”
“Pakai mobil siapa mas?” tanyaku
“Gampang sudah, biar aku yang atur, kalian hanya perlu siap-siap. Setelah maghrib kita berangkat” jawab kakak sulungku
“Oke mas, jadi berangkatnya habis maghrib ya?” pertanyaanku hanya diangguki olehnya.
Setelah Sholat Maghrib di Musholla Al-Markam kami berpamitan kepada Ibuku. Ibuku ingatkanku agar tidak pernah meninggalkan sholat wajib 5 waktu dan berdoa setiap akan melaksanakan kegiatan. Seperti adat kebiasaan jika aku akan berangkat tugas, aku memposisikan diriku tidur terlentang di depan pintu lalu dilangkahi 3 kali oleh ibuku. Selanjutnya aku bangun dan mencium kaki Ibuku melengkapi restu dan doanya..
Sejenak kemudian, kakakkupun tiba. Aku dan Victor berpamitan kepada tetangga yang sudah terlihat ramai menunggu di depan, Tidak ketinggalan beberapa gadis anak tetanggaku yang ngefans padaku. Mereka terlihat cantik-cantik memang, namun bagiku mereka masihlah anak kecil yang bau kencur dan kuanggap sebagai adiku saja.
Tepat pukul 18.30 WIB, kami berangkat. Sampai di Bandara Surabaya pada pukul 03.45 WIB. Meski langit masih gelap, bandara terlihat sangat sibuk. Kakakku memberiku tiket pesawat Merpati. Setelah menimbang barang bawaan kami, resi dan tiket diberikan kepadaku. Kami bertiga sempat berbincang di café Bandara hingga mendengar panggilan untuk masuk ke ruang tunggu. Aku berpamitan pada kakak dan Victor. Kemudian Victor diantar kakakku ke Terminal Bis Wonokromo untuk pulang ke Malang.
Pukul 06.00 WIB pesawat Merpati berangkat dan transit di Bandara Ngurah Rai selama 15 menit. Tiba di Bandara Eltari Kupang pukul 07.00, aku langsung mencarter Bemo roda empat untuk pulang ke Pangkalan Brimob Pasir Panjang. Kedatanganku disambut rekan-rekan dengan penuh Sukacita. Namun, komandan Kompi dan ayah angkatku kecewa karena aku tidak membawa istri sesuai izin cutiku. Setelah kuceritakan kepada mereka kronologi batalnya pernikahan, baru mereka nampak puas dan tidak lagi pasang wajah kecewa.
Setelah istirahat dua hari, satuan tugas pun dibentuk dengan sandi komando. Aku mendapat tugas sebagai Dam Pos We Massa membawahi dua regu yang notabene mereka adalah seniorku. Di medan tempur hal ini bisa saja terjadi sesuai dengan kemampuan personel atau individu dalam mengatur atau menata penyerangan dan pertahanan. Komandan Kompi sangat percaya padaku, mengingat pada tahun 1975 aku berhasil mengharumkan nama Kompi 34 BS Kupang. Hingga aku dijuluki sebagai Rambo oleh kawan maupun lawan.
Sehari sebelum keberangkatan aku menelpon ibu dan kakak dari penjagaan untuk mohon doa dan Restu. Pada Nanung, aku meminta padanya untuk selalu mendoakanku, karena dalam tugas tempur mati hidup seseorang ada di tangan Sang Maha Pencipta.
“Besok pagi kami akan berangkat dengan kekuatan 1 Kompi, ditambah satu Batalyon 743. Jadi aku berharap Jangan lupa berdoa untuk keselamatan kami semua!” ucapku pada Nanung
Dia menjawab “Aku selalu mendoakanmu Mas. Apapun yang terjadi aku tetap menunggumu karena aku sangat mencintai dan menyayangimu. Saat pertama kali Mas Dharma menyatakan cinta padaku aku tak dapat tidur semalaman, Aku selalu ingat wajahmu yang tampan dan penuh kharisma. Pantas sampeyan dikejar-kejar oleh wanita di Banyuwangi Selatan!”
“Sudah jangan banyak memuji, yang perlu kamu lakukan adalah berdoa terus dan apabila ada jodoh pasti aku kembali dan akan menikahimu” jawabku
“Aamin Allahumma Aamiin!” sebutnya
Aku pun menyudahi pembicaraan karena waktu berkumpul kembali untuk pembagian amunisi dan granat tangan.
Keesokan harinya, kami berkumpul di lapangan Makorem yang sebelumnya diisi dengan acara pelepasan dari para keluarga anggota Brimob yang sudah menikah menambah harunya suasana. Kami berangkat lewat darat, melewati Soe, Kefamenano dan tiba di Atambua menjelang sore. Dan diterima oleh DAMKOTIS, Dandim dan Kapolres. Setelah mendapat pengarahan sebentar kami pun beristirahat untuk persiapan berangkat ke medan tempur sesuai tugas masing-masing.
Keesokan harinya menjelang subuh, kami berangkat ke We Massa dengan mobil Reo milik DAMKOTIS. Tiba di We Massa pukul 12.30 kami pun beristirahat sebentar untuk makan siang. Setelah itu aku mengajak DANRU 1,2 untuk melihat Medan yang ada. We Massa terletak di pinggir laut yang berbatasan dengan Australia, hutannya cukup lebat dengan aneka burung dan monyet. Sekembalinya kami di pos aku memerintahkan untuk membersihkan pos yang sebelumnya dihuni oleh pasukan TNI dan tidak lupa memerintahkan membuat parit perlindungan di depan pos, serta menyusun balok kayu di depan pos sebagai pertahanan. Karena batu tidak ada di We Massa.
Tiga hari bekerja sekuat tenaga hingga pos tersebut menjadi pos yang tangguh untuk menahan setiap serangan lawan. Sebulan aku bertugas di We Massa tidak ada gangguan yang berarti hingga akhirnya dipindahkan ke pos Nunhura karena di wilayah tersebut selalu diganggu oleh sisa-sisa Fretilin. Aku dijemput oleh anggota Kodim lalu dibawa ke Makodim. Kemudian keesokan harinya berangkat ke Nunhura lewat Haekesak. Di Haekesak aku dijemput oleh tiga orang teman dari pos Nunhura dengan kuda, karena mobil tidak bisa menyeberangi perbatasan Haekesak. Komandan Pos Nunhura adalah Bapak Kamilus Baly.
Di Pos Nunhura aku tidak merasa asing karena saat penyerangan benteng Balibo, kita harus membungkam pos Nunhura yang dulu dijaga oleh lima belas orang Tropas. Setelah sehari istirahat, malam harinya aku mulai melaksanakan patroli bersama 5 orang anggota. Namun, hasilnya nihil. Satu bulan lamanya Aku bertugas di pos Nunhura, hingga akhirnya ditarik kembali ke posku Atambua untuk kembali ke Marko Brimob Kupang untuk melatih dan memberikan pembekalan kepada Brimob baru sejumlah 35 orang di tamatan Dodik Lasikode Kupang selama 2 minggu.
Pada kesempatan ini aku bisa berkomunikasi dengan Nanung lewat telepon penjagaan Brimob Apabila ada waktu luang, Dia sangat senang mendengar kabar berita ini. Namun Ia juga bercerita bahwa saat ini dia sedang mengalami godaan dan ejekan oleh orang-orang di Benculuk karena mendapatkan cinta saya.
“Siapa Mereka Nung?” tanyaku
“Orang-orang yang suka dengan sampeyan Mas, mereka mengatakan kalau saya mendapatkan cinta sampeyan karena santet pelet!” Jlentrehnya.
“Sabar saja nung, itu ujian bagimu sebelum menjadi Ibu Bhayangkari. Toh cinta kita tambah bersemi dalam hati, dan kita sendiri juga yang merasakan. Biarlah orang ngomong apa yang penting aku tetap sayang padamu!” ucapku menenangkannya
Dia menjawab,” Iya Mas, aku pegang janjimu.”
Setelah kurasa cukup perbincangan kami aku menyudahi telepon karena waktu latihan segera dimulai kembali.
Setelah selesai pelatihan dan pembekalan maka latihan pun ditutup oleh DANKI 34 BS Brimob dengan penyematan baret dan roda Brimob di saku kiri, acara tersebut berlokasi di Pantai Gembira Loka Pasir Panjang.
Perjuangan memang membutuhkan tidak hanya pengorbanan tenaga, harta dan nyawa. tetapi hati dan fikiran pun kami korbankan sebagai prajurit. Di tahun 1975 itu pula, aku mendengar kabar ibu yang kucintai pergi untuk selama-lamanya. Sebagai prajurit harus kuat dan tegar dalam berbagai kondisi. Sesama teman lah kami saling menguatkan.
Sampai pada masa situasi bisa lebih terkendali, aku pun kembali mengajukan cuti nikah dan hal tersebut disetujui oleh DANKI, serta para petinggi kompi. Sehari sebelum berangkat ke Jawa aku dipanggil oleh DANKI untuk menghadap ke kantornya, ternyata di kantor sudah berkumpul para petinggi kompi seperti WADANKI, Perwira OP, PAMIN dan para DANTON. Mereka sangat berharap aku dapat mengakhiri masa lajang dan tidak lupa pula mereka memberikan sumbangan uang sebesar 1 juta hasil patungan mereka. Hal tersebut membuatku terharu sampai meneteskan air mata atas kebaikan mereka. Karena menurutku baru kali ini terjadi di Kompi 34 BS Brimob Kupang anggota cuti dibantu oleh para petinggi kompi.
Aku berangkat menggunakan kapal P. Singkep yang berlayar selama 6 hari dan bersandar di dermaga Gudang Garam Surabaya. Setibanya di darat aku langsung menyewa taksi Menuju Stasiun bus Wonokromo dan mencari bus jurusan Jember. Saat tiba di Jember aku kembali mencari bus jurusan Banyuwangi. Tiba di Benculuk hari sudah mulai gelap dan kedatanganku tidak diketahui oleh tetanggaku.
Keesokan harinya, aku menyekar ke pusara ibu di Benculuk. Kubacakan Surat Yasin sampai sepuas hatiku memandang pusara ibuku. Selanjutnya aku pamit mohon izin untuk menikahi pujaan hatiku. Sore harinya aku memanggil kedua kakakku untuk membicarakan rencana pernikahanku sesuai surat cuti yang kubawa. Pada awalnya kedua kakakku tidak menyetujuinya dengan berbagai alasan. Akhirnya setelah kukatakan bila aku tidak akan menikah seumur hidup jika tidak dengan Nanung, barulah kedua kakaku menyetujui.
Persiapan lamaran pun dilakukan, hingga akhirnya hari yang kutunggu pun tiba. Aku baru tahu nama panjangnya Nung yakni Siti Nuroniyah. Nung atau Nanung hanyalah nama panggilan saja.
Aku dan Nung menikah dengan acara yang sangat sederhana namun terasa sakral. Hanya mengundang beberapa keluarga dari kedua belah pihak, aparat desa dan aparat kecamatan serta tetangga sekitar rumah Nung. Sehari setelah pernikahan, Nanung yang saat ini sudah menjadi istriku mengajak untuk berangkat ke Kupang. Dia berkata tidak kuat dengan sindiran orang-orang. Kukatakan padanya “Kan ada aku,” Sambil menggoda dengan senyuman.
“Tapi sampeyan kan nggak dengar dan nggak tahu, sudahlah mas bawa aku kemanapun Mas pergi!” katanya sambil merajuk
Akhirnya aku sanggupi permintaannya. Kami pamit kepada kedua kakakku dan adik-adikku. Malam itu, kami berdua langsung berangkat ke Surabaya dengan bus malam.
Kami tiba di Surabaya saat pagi hari dan kami pun menginap di Losmen Singaraja di daerah Bongkaran. Setelah menginap dua hari di losmen tersebut, kami berdua pun mendapatkan informasi dari pemilik losmen bahwa ada sebuah kapal Ratu Rosali milik Pastoran Katolik yang akan berangkat besok pagi ke Kupang. Aku pun bergegas ke Perak untuk mengecek kebenarannya. Ternyata benar informasi tersebut aku pun membeli tiket dan langsung naik kapal pada sore harinya. Pada keesokan harinya setelah pembersihan kepabean selesai, kapal pun berangkat menuju Kupang.
Enam hari kami berlayar hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Teunau Kupang. Begitu aku menginjakkan kaki di Tenau, aku langsung berdoa “Ya Allah Ya Rob, Rahmatilah keluarga kecil kami di Pulau Timor ini, mudahkan urusan kami dan bahagiakan dengan Rahmat dan Nikmat-Mu Ya Rob, Tuhan Yang Maha Suci Aamiin!”
Setelah itu aku mencari taksi untuk berangkat ke Kesatrian Brimob Pasir Panjang Kupang. Kedatangan kami membuat geger seluruh penghuni asrama.Mereka semua tua muda datang menyambut kami. Setelah berbincang sebentar aku berpamit ke barak untuk beristirahat. Setiba di kamarku, adik angkatku Kadek Urip Dana telah membukakan pintu untuk kami sambil mengucapkan “Silakan masuk dan selamat berbahagi!.” Istriku terkejut melihat rumah tetap terjaga dan bersih.
Setelah beristirahat seharian kami pun mandi untuk membeli makan di luar bersama Kadek. Dari sinilah awal aku membangun rumah tangga kecilku bersama istriku yang selalu setia mendampingi dalam suka dan duka. Hari-hari kami lalui bersama penuh dengan aroma cinta kasih hingga tiba suatu saat aku pulang dari tugas jaga di KOMDAK XVII NTT, kudapati Istriku tidur pulas masih lengkap dengan seragam Bhayangkarinya.Mungkin ia kelelahan setelah seharian mendampingi istri komandan kompi rapat di Makodim Kupang. Kudekati dirinya, kulihat wajahnya cantik nan anggun bagaikan Dewi Ratih diselimuti pangestu para dewata, lalu kucium keningnya. Dia terperanjat bangun merapikan seragam bhayangkari seraya membenahi rambutnya.
Kubisiki kata indah di telinganya “Kau manis belahan hati sayangku!”
Dia memeluk dan menciumku sambil berkata “Aku bahagia bersamamu Mas!”
Saat itu hari berganti, aku mempunyai tekad untuk mengajukan pindah ke Bali untuk dapat membahagiakannya. Walaupun seluruh anggota Kompi Brimob Kupang merasa kecewa apabila kutinggalkan. Tapi ini merupakan satu keputusan yang pasti untuk membahagiakan keluarga kecilku.
***
Di atas sajadah panjang di senja sawarwulu di Perumahan Garuda Bonyolangu dalam keheningan khusuk menghadap Illahi Robbi, kumohonkan doa untuk istriku yang tersenyum damai di singgasanaNya.Ya, dua tahun lalu kami dipisahkan dengan wanita dari 4 buah hatiku karena pandemic corona yang melanda dunia. Benar dipisahkan setelah kami berdua diisolasi di Balai Diklat Licin, istri dibantarkan ambulance ke RSI Fatimah untuk ditangani intensif. Tak sampai 17 jam ada telepon dari anakku untuk ikhlas ibunya menghadap Illahi Robbi lebih dulu. Kian sedih ditinggal wanita baik yang menemani perjalanan hidupku, karena aku tak bisa turut serta mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Namun amanahku untuk menempatkan pusara kekasih hatiku Nung, di bawah pohon kamboja yang rindang serta ada lokasi untuk aku bersanding sehidup semati dengannya.
Banyuwangi, April 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar