Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Banyuwangi, Jabatan Strategis Masa
Revolusi
Oleh : Syafaat
Berdirinya Kementerian
Agama pada 3 Januari 1946, sekitar lima bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan
kecuali berakar dari sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia tersebut di
atas juga sekaligus sebagai realisasi dan penjabaran ideologi pancasila dan UUD
1945. ketentuan juridis tentang agama tertuang dalam UUD 1945 BAB XI pasal 29
tentang Agama ayat (1) dan (2). Berbunyi (1) Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Khususnya di
Kabupaten Banyuwangi, maka urusan pemerintahan dibidang agama tentu setelah
adanya pembentukan Kabupaten Banyuwangi Dengan diterbitkanya UU No. 2 tahun
1950. Tentang pembentukan Provinsi Jawa Timur, instansi ini merupakan jawatan
Agama yang secara terus menerus mengalami perubahan nama sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku yaitu
Kantor Urusan Agama Kabupaten atau Kantor Kenaiban, Inspeksi Urusan
Agama / Insura, sedang bidang kependidikan yaitu Inspeksi
Pendidikan Agama / Inspendag. Kemudian
berubah nama menjadi, Dinas Urusan Agama / Dinura, untuk bidang
kependidikan yaitu Dinas Pendidikan Agama / Dipenda dan kemudian berubah lagi, Kantor
Pendidikan Agama / Kapendag, berubah
menjadi Kantor Departemen Agama / Kandepag hingga
Kantor Kementerian Agama./ Kankemenag Kabupaten Banyuwangi.
Pada awalnya gedung Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi berada
bersebelahan dengan Masjid Agung Baiturrahman (Dulu Masjid Jami Baiturrahman),
pada awal berdirinya, Jawatan Agama yang juga terdapat Kantor Urusan Agama
serta Pengadilan Agama berada di utara Masjid, setelah tahun 1955 berada di
sebelah selatan Masjid hingga tahun 1975, bersebelahan dengan gedung bioskop
Srikandi,yang juga tutup pada pertengahan tahun 1970-an. Pada tahun tersebut
kawasan Masjid Jami merupakan salah satu kawasan titik keramaian pusat kota diantara dua kawasan titik
keramaian lainnya seperti kawasan simpang lima dan pecinan (China Town) di
Timur Stasiun Kereta Api (lama) di Karangrejo. Tidak berlebihan jika pusat
keramaian berada disekitar Taman Sritanjung sekarang, hal ini dengan mengingat
kawasan tersebut dijadikan pusat pemerintahan, sebagaimana konsep perkotaan
dengan konsep jawa kuno, yakni di depan pendopo sebagai rumah Adipati, kemudian
di sebelah kiri merupakan pusat keamanan (Kantor Polisi) dan penjara,,
sedangkan di sebelah kanan Tempat Ibadan, den di depannya adalah pasar, terlebi
di depat Masjid Jami saat itu merupakan terminal.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pada masa revolusi
mempunyai peran yang sangat strategis, hal ini dibuktikan dengan ditempatkanya
Raden Mas (RM) Ali Manshur yang lebih dikenal dengan nama KH Ali Manshur yang
sebelumnya menjabat sebagai anggota konstitunte, ditugaskan sebagai Inspeksi
Urusan Agama (Djawatan Agama) Kabupaten Banyuwangi dari tahun 1959 hingga tahun
1965. Wilayah ujung timur pulau Jawa ini dianggap mempunyai peran yang sangat
strategis dalam perkembangan politik di Indonesia. Terlebih diwilayah ini
kekuatan politik berimbang antara yang berhaluan kiri (komunis) dengan yang
berhaluan kanan (Religius). Hal ini dapat kita lihat dari komposisi keanggotaan
DPRD Kabupaten Banyuwangi pada era Revolusi yakni DPRD Kabupaten
Banyuwang dari partai besar, NU mendapatkan kursi 15, disusul degan PKI 12
kursi, PNI 9 kursi.
Konstituante adalah sebuah lembaga yang pernah ada di Indonesia masa
demokrasi liberal. Lembaga ini didirikan pada tanggal 09 November 1956 dan
dibubarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Lembaga yang berisi 514 orang anggota ini
dipilih melalui pemilihan umum 1955 (pemilu 1955) yang pada tanggal 15 Desember
1955. Lembaga Konstituante sendiri merupakan lembaga
yang sudah diamanatkan oleh UUDS 1950. Pasalnya, UUDS 1950 itu sendiri disusun
dalam waktu yang sangat mendadak untuk memenuhi tuntutan pergolakan dalam
negeri atas penyatuan kembali Indonesia. Para daerah yang ingin segera kembali
bersatu dalam negara kesatuan menyadari bahwa mereka masih memerlukan
undang-undang dasar yang mereka sepakati bersama, namun waktu hanya cukup untuk
menciptakan dasar hukum yang bisa menggabungkan mereka kembali kepada negara
kesatuan. Untuk itulah, dalam pasal 134 UUDS 1950 itu sendiri terdapat amanat
agar di kemudian hari, perlu dibentuk sebuah lembaga bernama Konstituante dalam
rangka menyusun undang-undang dasar yang baru bagi Republik Indonesia. RM Ali Manshur menjadi anggota Konsituante mewakili wilayah
Nusa Tenggara dari Nahdlatul Ulama. Beliau kembali ke Kementerian Agama setelah
Konstituante dibubarkan dengan Dekrit presiden.
Yang menarik dari
pergolakan politik di Kabupaten Banyuwangi, yang sebelumnya tidak ada
tanda-tanda penggunaan kekerasan dalam penyelesaian maupun mempengaruhi massa
hingga pertengahan tahun 1960-an. Proses saling mempengaruhi massa dengan
menggunakan pendekatan seni dan budaya yang hidup dalam masyarakat Banyuwangi
yang dikenal dengan keaneragaman seni dan budayanya. Penggunaan seni dan budaya
dalam pertarungan memperebutkan pengaruh politik ini mengakibatan seni dan
budaya seakan terbelah dan menjadi identitas partai maupun golongan tertentu.
Proses
terciptanya Shalawat Badar, sebagaimana disampaikan KH. Siddik Ali (Putra
keempat KH. Ali Mansur), penuh dengan misteri dan teka-teki. Konon, pada suatu
malam, KH. Ali Mansur yang gemar menulis ini tidak bisa tidur. Hatinya merasa
gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak
menguntungkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi yang ia pimpin selain
menjabat sebagai Kepalkla Djawatan Agama Kabupaten Banyuwangi. Orang-orang Partai
Komunis Indonesia (PKI) semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani
membunuh kiai-kiai di pedesaan. Sebagai pesaing utama PKI saat itu. Sambil
merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis
syair-syair dalam bahasa arab. Beliau menulis di banyak kertas dan membuangnya
ketempat sampah dari beberapa tulisan yang dianggap kurang pas. Dia memang
dikenal mahir membuatsyair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo,
Kediri.
Kegelisahan
Kiai Ali Mansur yang beberapa kali dipanggil KH. Idham Kholid di Jakarta ini berbaur
dengan rasa heran, karena pada malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib
berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama,
menurut penuturan Putra keempatnya yang saat ini berdomisili di Kelurahan
Gombengsari, bahwa uminya (istri KH. Ali
Manshur) bermimpi melihat KH. Ali Manshur dipeluk oleh Rasulullah SAW. Keheranan
muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangganya di Kelurahan Karangrejo,
tempat kediaman beliau saat itu yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging,
dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat
mantu. Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi
orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada
kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan
kemampuannya.
Yang
mengherankan adalah, siapa orang berjubah putih yang mendatangi tetangganya
itu, memang sebelumnya KH. Ali Manshur mendatangi Habib Hadi Al-Haddar
Banyuwangi perihal mimpinya didatangi para habib berjubah putih-putih. Habib
Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara
bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal
dengan Shalawat Badar. malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut
kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk
apa.? Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih- hijau
dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang
kerumah Kia Ali Mansur.
“Alhamdulillah………,” ucap
kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang
sangat dihormati keluaganya.
Setelah berbincang
basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik
nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang
tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur: “ Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat
kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!” Tentu saja
Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam.
Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya.
Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan
perlu dicurigai. Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi
Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka.
Secara kebetulan Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus. Ditengah alunan
suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk.
K.H.
Ali manshur menjabat di Kabupaten Banyuwangi hingga tahun 1965, atau setahun
setelah beliau menulis syair Shalawat Badar untuk kemudian ditugaskan di
Mojokerjo. Meskipun beliau pindah tugas, namun di Kabupaten Banyuwangi,
terutama di Kelurahan Karangrejo, Shalawat Badar tetap dilantunkan oleh
kelompok pengajian diwilayah tersebut, terutama oleh keluarga KH. Ali manshur
sendiri.
Diangkatnya
KH Ali Mansur Kepala Kantor Kementerian Agama (Djawatan Agama) Kabupaten
Banyuwangi di masa pergolakan politik tahun 1960-an di bumi bekas Kerajaan
Blambangan ini menunjukkan bahwa wilayah yang saat ini berjuluk The Sunrise of
Java ini mempunyai peran penting dalam pemerintahan di Nusantara sejak dulu
kala. Karenanya tidak berlebiohan jika saat itu mantan anggota konstituante
yang merupakan jabatan politik yang bertugas membentuk Undang-Undang Dasar,
ditunjuk menjadi orang nomor satu di jajaran kementerian Agama Kabupaten
Banyuwangi, selain jabatan belliau dalam Oeganisasi nahdlatul Ulama.
*Penulis adalah ASN
pada Seksi Bimas Islam Kemenag Kabupaten Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar