Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi Penggubah Shalawat Badar

KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi Penggubah Shalawat Badar

 

KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi Penggubah Shalawat Badar

Oleh : Syafaat


Raden Muchamad (RM) Ali Mansur, lahir di Jember, Jawa Timut pada 4 Ramadhan 1340 H atau 23 Maret 1921 M. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Manshur bin KH. M. Shiddiq Jember dengan Shofiyah binti KH. Basyar dari Tuban, KH. Ali bin Manshur termasuk dalam keluarga besar as-Shiddiqi. Kakeknya yang bernama KH. M. Shiddiq (Jember), adalah seorang ulama yang menurunkan ulama-ulama besar seperti KH. A. QusyairiKH. Ahmad ShiddiqKH. Mahfuzh Shiddiq, KH. A. Hamid Wijaya, KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid Pasuruan), KH. Yusuf Muhammad, dan lain sebagainya. Beliau masih keturunan Mbah Sambu Lasem (Pangeran sayyid M. Syihabuddin Digdoningrat) bin sayyid M. Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Sultan Mangkunegara III). Dari jalur kakek, nasab Kiai Ali Manshur menyambung ke Pangeran Sayyid M Shihabuddin Digdoningrat atau Mbah Sambu Lasem bin Sayyid M Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban atau Sultan Mangkunegara III. Karena itulah KH Abruddahman Wahid alias Gus Dur menyebut Kiai Ali Manshur dengan habib, panggilan khusus untuk keturunan Rasulullah

Masa kecil KH M. Ali Mansur dihabiskan di Tuban. Setelah tamat belajar di MI Makam Agung Tuban, beliau mondok di beberapa pesantren besar, antara Pesantren Termas Pacitan,Pesantren di Lasem (asuhan Mbah Makshum), lalu Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang. Di Lirboyo ini, beliau kelihatan bakatnya dalam penguasaan ilmu ‘arudh dan qowafi (dasar-dasar ilmu membuat syair berbahasa arab).

Setelah menamatkan pendidikannya di beberapa pesantren dan AMS (setingkat SMA), KH. Ali mansur pada tahun 1945 nmenjadi guru Madrasah Salafiah,kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan Pemuda, Wakil Ketua GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), Kepala Staf Umum Barisan Sabil Komandan DPM Instruksi Pertahanan Rakyat6, anggota DPRDS Kabupaten Tuban dan pembentuk pasukan mujahidin, dan menjadi kepala staf penerangan MPHS Jawa Timur

Mengutip dari konstituante.net, sejak tahun 1950 beliat menjadi Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Kementerian Agama, beberapa jabatan yang pernah di embannya di Jawa Timur antara lain : menjadi klerk Kepala (Pemegang Kas) KAD Besuki, yang dijabatnya selama lenih kurang satu sahun, pada tahun 1951 sampai 1952 menjadi Propandis kl I Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Timur.

Pada tahun 1952 hingga tahun 1954 beliau dipindahkan dan menjabat sebaga Kepala KUA ( Kantor Urusan Agama) di Kabupaten Sumba Provinsi nusa Tenggara. Beliau juga masih aktif di organisasi menjadi konsul NU Nusa Tenggara yang dijabat sejak tahun 1954 hingga tahun 1956. Di jajaran Kementerian Agama, pda kurun waktu tersebut beliau manjabat sebagai Kepala Bahagian Politik dan Aliran Agama pada Kantor Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara, kemudian pindah ke Provinsi Jawa timur dalam jabatan yang sama.

Sejak Tanggal 9 November 1956 bersama beberapa ulama seperti KH. As’ad Samsul Arifin dari Sukorejo Banyuputih Situbondo serta KH. Harun dari Tukangkayu Banyuwangi, beliau diangkat sebagai annggota konstutuante mewakili Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara yang dijabat hingga dibubarkannya Dewan konstituante oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959. Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 dilantik presiden Sukarno di Bandung, 10 November 1956 dengan tugas utama menyusun konstitusi baru bagi Republik Indonesia. Sebelumnya di Indonesia diberlakukan UUD 1945 (1945-1949), Konstitusi RIS 1949 (1949-1950), lalu UUD Sementara yang sejak 1950. Selama sidang Konstituante, hampir semua materi pokok sebenarnya berhasil diselesaikan melalui musyawarah. Semua kubu menyetujui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bendera Merah Putih, Bahasa Nasional Indonesia, Lagu kebangsaan Indonesia Raya, Lembaga-Iembaga kenegaraan, Azas dasar hukum lain-lain. Namun, ketika membicarakan Dasar Negara (4 November 1959) perbedaan tajam muncul dalam tiga konfigurasi usulan ideologi : Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Kubu Islam didukung Masyumi (112 suara), NU (91), PSII (16), Perti (7) dan 4 partai kecil dengan total 230 suara. Kubu Pancasila didukung PNI (116), PKI dan faksi Republik Proklamasi (80), Parkindo (16), Partai Katolik (10), PSI (10), IPKI (8) dan beberapa partai kecil lain, dengan total 273 suara. Sementara kubu Sosial Ekonomi yang ingin mengembangkan sosialisme hanya didukung Partai Buruh (5), Partai Murba (4), dan Acoma/ Angkatan Comunis Muda (1).

Setelah dibubarkannya konstituante, KH. Ali Mansur kembali masuk ke jajaran Kementerian Agama dan menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, yang saat itu berkantor di Masjid Baiturrahman Banyuwangi,hingga akhirnya pindah ke Jalan jaksa Agung Suprapto yang sekarang bagunannya telah di bongkar dan ditempati gedung KUA Kecamatan Banyuwangi.

Disamping menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi. KH. Ali Mansur juga menjabat sebagai Ketua PCNU (Pimpinan Cabang nahdlatul Ulama) Banyuwangi, yang pada masanya pergolakan politik di ujung timur pulau jawa ini tak ubahnya sebagaimana perpolitikan di tanahair pada waktu itu, kekuatan PKI dengan ideologi komunisnya nyaris menguasai semua sendi sosial politik di masyarakat, begitu juga dengan seni dan Budaya.

Dalam berbagai rapat umum yang dilakukan PKI selalu menggunakan seni dan budaya lokal serta lagu-lagu yang sudah merakyat, seperti gandrung dan lain-lain, karenanya nahdlatul Ulama pada saat itu juga sepakat menggunakan seni tari berupa seni Hadrah Kuntulan untuk menarik simpati masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, terutama di acara acara pengajian dan lain-lain. Penggunaan seni hadrah kuntuan ini tadinya juga terjadi tari8k ulur dikalangan ulama Banyuwangi, hal ini dikarnakan adanya perempuan yang ikut menari dalam atraksi tersebut yang dianggap dapat mengundang maksiat, tetapi dengan berbagai pertimbangan maka tari kuntulan ini dapat diterima.  

  Pada tahun 60-an merupakan masa gegap gempita perpolitikan di Indonesia, pergolakan politik ditingkat atas tersebut juga berdampak pada politik di Kabupaten Banyuwagi, perbedaan ideologi politik antara NU dan Pki pada akhirnya juga menjadi akar persaingan yang ketat, kedua belah kubu menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi massa, begitupun dengan penggunaan seni dan budaya.

Partai komunis Indonesia menggunakan lagu genjer genjer yang digubah oleh Muhammad Arif yang juga pencipta lagu dari Banyuwangi, lagu yang diciptakan pada masa penjajahan jepang tersebut sedikit diubah lirikknya yang disesuaikan dengan kepentingan mereka, sehingga pada masa itu lagu genjer genjer identik dengan Paartai Komunis.

Kaum santri (modernis maupun tradisionalis) hakekatnya memang memiliki tujuan bersama pada otentisitas Islam, meskipun dengan Era rejim Nasasom, posisi politik PKI berada di atas angin, baik akibat jumlah pendukungnya yang terus meningkat, maupun karena trend dukungan penguasa yang juga membesar. Namun realitas itu ternyata tidak meruntuhkan, tetapi sebaliknya justru memperkuat, mentalitas kaum Santri. Bahkan, berbekal pentahbisan dari para ulama habaib untuk menjadikan Shalawat Badar sebagai sarana pembangun militansi kaum

Era rejim Nasasom, posisi politik PKI berada di atas angin, baik akibat jumlah pendukungnya yang terus meningkat, maupun karena trend dukungan penguasa yang juga membesar. Namun realitas itu ternyata tidak meruntuhkan, tetapi sebaliknya justru memperkuat, mentalitas kaum Santri. Bahkan, berbekal pentahbisan dari para ulama habaib untuk menjadikan Shalawat Badar sebagai sarana pembangun militansi kaum Santri, hasilnya adalah : kepercayaan diri kaum Santri langsung terakumulasi dalam menghadapi berbagai agitasi dari simpatisan PKI.

Dalam pentas politik nasional PKI sebenarnya sering melontarkan propaganda sebagai tidak anti agama, bersahabat, dan menghormati kebebasan beragama. Mereka hanya membela rakyat untuk melawan kapitalisme – imperialisme. Untuk membuktikan klaim ini PKI bahkan melibatkan beberapa tokoh Islam dalam organisasi, seperti K.H. Misbah dan K.H. Ahmad Dasuki Siroj. Namun, terutama pada level lokal nyatanya PKI melalui berbagai underbownya tetap memusuhi agama di banyak lini, seperti: (1). Lekra melakukan penghinaan agama. Mereka melabeli Santri dengan nuansa menghina, sebagai: Kaum Sarungan atau Kaum Bancik. Bancik adalah batu berjajar untuk pijakan dari tempat wudlu ke masjid atau ke gotakan (kamar) Santri di pesantren. Lekra berhasil menguasai berbagai kesenian rakyat, seperti Ludruk, Ketoprak, Reyog dan lain-lain. Badan Koordinasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) yang berafiliasi ke Lekra, berkeliling memainkan lakon menghina agama dan tokoh agama, seperti: Matine Gusti Allah: Matinya Tuhan”, “Gusti Allah Manten: Tuhan Kawin”, Malaikat Kimpol : Malaikat Bersenggama”, Gusti Allah ngunduh Mantu : Tuhan Menjemput Menantu”. (2). Pemuda Rakyat dan Gerwani melakukan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama, seperti banyak terjadi di Jawa Timur. Pesantren Lirboyo Kediri misalnya, selalu dalam tekanan penduduk Lirboyo yang banyak menjadi pendudukung PKI. (3). Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penyerobotan tanah. Kelambanan pemerintah dalam melaksanakan UU Pokok Agraria (UUPA) yang sudah disahkan tahun 1960, dimanfaatkan pendukung PKI untuk menjalankan agendanya sendiri guna mencari simpati massa. Mereka melakukan aksi sepihak dengan dalih melaksanakan landreform seperti diamanatkan UUPA, dengan sasaran utama tanah erfpacht (tanah milik negara), tanah desa, dan tanah milik tuan tanah yang tinggal di luar daerah tersebut (absentee landlord).

Dikisahkan dalam berbagai media bahwa Shalawat Badar tercipta untuk mengimbangi lagi Genjer-genjer yang digunakan PKI untuk menggalang massa, KH. Mas Mansur yang kebetulan berdinas sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah yang kaya akan seni dan budaya, menginspirasi beliau yang juga genar dengan sastra, membuat karya seni sastra yang dapat digunakan bukan hanya mengumpulkan massa, tetapi menjadi penyemangat dalam perjuangan. Beliau teringat tentang alunan Shalawat Al barjanzi yang kelahirannya juga sebagai penyemangat umat Islam dalam menghadapi perang salib. Maka Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi itu terinspirasi dengan semangat Mujahid Badar yang dengan jumlah yang tidak seimbang, tetapi dapat mengalahkan prajurit kafir Quraish.

Pada malam hari KH Ali Mansur bermimpi melihat para prajurit bersorban hijau yang diyakini setelah ditanyakan kepada Habib Hadi Al-Haddar sebagai prajurit mujahid dalam perang badar, yakni perang terbesar yang pernah dialami umat Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, karena dalam perang ini Mujahid Islam hanya berjumpah 300 orang, harus menghadapi Prajurit Kafir Quraish sejumlah 1.000 orang dengan persenjataan yang lebih lengkap, namun pada akhirnya kaum Muslimin dapat mengalahkannya. Pada malam ketika KH. Ali Mansur bermimpi tentang prajurit Muslim dalam perang Badar, Isteri Beliau juga bermimpi ditemui Rasulullah SAW.

Lebih mengherankan lagi pada keesokan harinya banyak tetangga di rumah kontrakan beliau di Kelurahan Tukangkayu yang datang sambil membawa beras, daging, dan barang barang lain sebagaimana barang yang dibawa ketika orang melakukan hajatan, para tetangga tersebut memasaknya dan merasa bahwa KH Ali Mansur akan kedatangan banyak tamu. Dan benar saja, menjelang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih hijai yang dipimpin Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang Jakarta datang, Habib Ali merupakan habib yang sangat dihormati oleh keluarganya,  dan KH Ali Mansur bersyukur “Alhamdulillah”, dan setelah berbincang agak lama, terutama membahas issu politik saat itu, terutama perkembangan PKI yang terus ndodro (Istilah Bung Karno), Habib Ali Al-Habsyi menanyakan topik lainyang tanpa diduga oleh Kh Ali, “Ya Akhi, mana syair yang ente buat kemarin?” tanyanya

“tolong anda bacakan dan lagukan di hadapan kami” ungkat Habib Ali al_Habsyi kemudian, tentu saja Kyai Ali mansur kaget, sebab ternyata Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam, segera saja Kh Ali mansur Shiddiq mengambil kertas yang berisi catatan syair Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan rombongan Habib Ali al-Habsyi. Dan sejak itulah Shalawat Badar dijadikan sebagai syair menyemangat dalam menghadapi pengaruh komunis di Indonesia.

Peran KH (RM) Ali Mansur Shiddiq bukan hanya menggubah Shalawat badar saja, tetapi juga sangat berperan dalam kancah perpolitikan lokal di Kabupaten Banyuwangi, hal ini dilakukan dengan mengingat peran beliau yang bukan hanya menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, tetapi juga sebagai Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama yang saat itu juga merupakan Partai Polirtik.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog