Bali Sudah, Kapan Banyuwangi
Tidak bisa disangkal. Bali identik dengan Hindu. Karena umat Hindu menjadi mayoritas di Pulau Dewata.
Sama juga dengan Makkah-Madinah. Haramain (dua kota suci) itu bukan hanya penduduknya mayoritas muslim. Melainkan menjadi tempat lahir-tumbuh-berkembangnya Islam.
Kembali ke Bali. Dalam hal literasi, orang mengenal tradisi naskah di sana hanyalah tradisi lontar bernuansa Hindu.
Itu tidak salah. Memang begitu faktanya. Namun, belakangan, para peneliti ternyata juga menemukan sejumlah naskah keislaman di Bali. Itu menjadi keunikan sendiri bagi pulau surga wisatawan itu. Sebab, tradisi naskah Hindu dan tradisi naskah Islam bisa saling berdampingan. Hidup bersama. Sama-sama menjadi bagian dari sejarah masyarakat Bali. Sejak lama.
Sekitar seabad lalu, para sarjana telah menyinggung keberadaan naskah-naskah keislaman di Bali. Theodore G. Pigeaud (1967) mengatakan, naskah keislaman di Bali muncul berbarengan kemunculan komunitas masyarakat muslim di tetangga Banyuwangi tersebut. Terutama di bagian utara dan barat Bali. Komunitas itu terbentuk dari relasi dagang dan politik.
Komunitas muslim aktif menerjemahkan teks-teks keislaman. Ketika itu. Sejarah tradisional Islam termasuk yang mereka terjemahkan ke dalam teks-teks kesastraan dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka ada sejumlah teks berbahasa Jawa dan Bali yang dipengaruhi ajaran Islam. Seperti Krama Selam. Prosa Jawa-Bali. Mengandung ajaran teologi dan mistisisme Islam. Lalu, ada juga Tuwan Smeru. Puisi-puisi spekluatif dan didaktis Jawa-Bali tentang Islam.
Informasi itu saya peroleh dalam forum ilmiah. Di salah satu aula Hotel Aston Banyuwangi. Pada 21 September 2021. Dalam uji validasi Penyusunan Katalog Naskah Keislaman di Bali. Katalog itu disusun oleh tim peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Tidak tanggung-tanggung. Timnya ada delapan peneliti.
Tentu saja saya senang menjadi bagian dari kegiatan fullday itu. Selain bertemu langsung dengan para peneliti, juga bisa mendengarkan pembahasan dari sejumlah narasumber. Juga para pemilik/ahli waris pemilik naskah. Baik dari Bali maupun Banyuwangi. Hadir juga kalangan kampus dan mereka yang peduli pada naskah kuno. Seperti Drs Suhalik dari Lembaga Masyasrakat Adat Osing dan Barurrohim (Ayung NN) dari Komunitas Pegon Banyuwangi.
Penyusunan Katalog Naskah Keislaman di Bali (KNKB) merupakan pengembangan kegiatan sebelumnya. Pada 2019, peneliti Balai Litbang Agama Semarang telah menginventarisasi dan melakukan digitalisasi naskah-naskah keislaman di Bali. Datanya diambil di kampung-kampung Islam dan sejumlah lembaga. Yang tersebar Kota Denpasar, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Buleleng, dan Kabupaten Jembrana.
Sejak menerima materi (empat buku), saya langsung tertarik pada foto naskah yang menjadi cover buku KNKB. Berupa halaman kitab yang dibuka. Tulisan Arab pegonnya warna hitam. Dalam bingkai warna-warni: hijau-merah-kuning-cokelat-putih. Warna kertas daluangnya sudah mangkak, sudut-sudutnya sudah bores. Dimakan usia.
Secara umum, naskah berkode digitalisasi AQD-17/BALAR-BALI/05/2019 itu cukup baik. Sampul naskah dari kertas daluang agak tebal. Dijilid menggunakan jahitan benang. Naskahnya terdiri dari 15 kuras. Ditulis menggunakan tinta lokal warna hitam dan merah. Dari kolofon (lihat KBBI), tidak diperoleh informasi judul naskah, nama pengarang dan penyalin/penulis, dan juga tahun penulisan/penyalinan naskah.
Tapi, itu naskah sangat penting. Merupakan satu dari 17 naskah kuno aset bangsa. Yang berhasil diselamatkan pihak Bea Cukai Indonesia. Ditengarai naskah itu akan dijual ke luar Indonesia. Kini, naskah tersebut disimpan di Balai Arkeologi Bali.
Peneliti juga menemukan data mengejutkan. Ternyata naskah keislaman di Bali ada yang berbentuk lontar. Ada beberapa yang disebutkan di dalam buku KNKB. Seperti yang tersimpan di Masjid An Nur, Sanglah, Denpasar. Bukan hanya satu. Tapi 11 naskah lontar. Ditulis dengan tinta warna hitam. Oleh orang Bali I Nyoman Degeng. Menggunakan aksara Bali.
Subjek teman naskah dalam buku KNKB cukup lengkap. Meliputi Alquran dan ilmu terkait, hadis dan ilmu terkait, aqaid dan ilmu kalam, fikih, akhlak dan tasawuf, sosial dan budaya, filsafat dan perkembangannya, aliran dan sekte, sejarah, Islam, modernisasi, dan Islam umum.
Menarik yang disampaikan Moch. Ali. Narasumber dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Dia mengatakan, naskah Islam bisa diklasifikasi menjadi dua genre utama: genre kitabi dan genre non-kitabi.
Genre kitabi disebut juga sastra kitab. Merepresentasikan berbagai bidang ilmu keislaman. Misal, tasawuf, fikih, tafsir, dlsb. sedangkan genre non-kitabi merepresentasikan sirah dan tarikh lokal. ”Misal, kitab Hikayat Sri Rama dan kitab Hikayat Muhammad Hanafiyah,” kata Ali. Jelas sekali, naskah-naskah keislaman yang ditembukan di Bali bergenre kitabi dan non-kitabi.
Wa badu. Balai Litbang Agama Semarang begitu intens melakukan penelitian naskah keislaman di Bali. Pertanyaanya besarnya, kenapa Banyuwangi hanya dilewati (bahkan dilompati menggunakan pesawat). Kapan mereka akan meneliti naskah keislaman di Bumi Blambangan. Yang, sebenarnya, tidak kalah banyak jumlahnya. Dibanding Bali.
Harus diakui, Bali memang lebih seksi. Dalam konteks basis keagamaan. Sebab, selama ini orang tahunya Bali ya Hindu. Ketika di Bali ditemukan manuskrip keislaman, itu sesuatu banget. Seperti jurnalis yang menemukan rudal dalam perut kian hiu. Hahaha....
Tapi, nilai naskah keislaman di kota the Sunrise of Java tidak kalah tinggi. Sejumlah sumber menyebut, Kerajaan Blambangan sebagai kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Pasti, di masa-masa menjelang runtuhnya kejaraan Hindu di Jawa itu banyak berserakan naskah-naskah keislaman. Sebagaimana halnya di beberapa tempat lain.
Ketika membumbungkan harapan agar Balai Litbang Agama Semarang melirik Banyuwangi, Kang Syafaat (Bimas Islam) Kemenag Banyuwangi mengatakan kepada saya—di sela-sela acara. Dia dan tim Kemenag akan menyusun dan menerbitkan buku berisi para kiai hebat di Banyuwangi. Kelak, bila buku tersebut sudah terbit, akan memperkaya literasi di Kota Gandrung. Terutama literasi tentang keislaman. Yang saat ini terasa masih belum bergeliat. Melengkapi gerakan Komunitas Pegon Banyuwangi. (Budayawan, Penulis Banyuwangi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar