Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » YANG PALING MAWAR

YANG PALING MAWAR

 YANG PALING MAWAR

 Oleh : Vieva

Dalam mengekspresikan sesuatu  yang tersirat dalam benak pemuisi  atau penyair acap mereka memanipulasi media  bahasa. Tata bahasa ditabrak seturut dengan kata hati.  Penikungan itu terkadang berupa susunan kalimat, penyingkatan kata, bentuk kata, dan/atau frasa. Frasa “yang paling”, misalnya, mestinya tidak diikuti verba (kata kerja)  atau nomina (kata benda), tetapi adjektiva (kata sifat). Namun, dalam kenyataannya  ada penyair yang menulis frasa “yang paling” disandingkan dengan  nomina seperti dalam “yang paling mawar”. Benar atau bolehkah? Bukan masalah boleh, tetapi harus punya alasan kuat. Jadi, jawabnya, “Siapa takut, boleh saja!” Jika demikian halnya,  seberapa jauhkah penyimpangan  itu boleh dilakukan oleh sang penyair? 


Bahasa penyair dalam karya kreatif tidak ada keharusan untuk menaati  norma kaidah  baku. Lain  halnya dengan bahasa para ilmuwan, mesti tertib dan benar!  Kreasi bahasa yang ditukangi oleh penyair seperti itu   adalah sesuatu yang dilazimkan, teristimewa dalam cipta  puisi/sajak. Namun, perlu diingat, kiat modifikasi yang dimainkannya tidak dalam arti bebas lepas, tetapi dengan tujuan atau untuk memunculkan efek tertentu. 


Dalam prinsip _licentia poetica_ penyimpangan kaidah bahasa yang dilakukan secara sengaja oleh penyair tidak sekadar menarik perhatian pembaca. Tujuannya adalah untuk  menghadirkan greget dan daya kejut tertentu:  tampil beda! _Licentia poetica_ diperlukan  untuk menimbulkan keindahan, mencuatkan makna suatu kata,  dan/atau menggoda  perhatian khalayak pembaca.


Siapa yang tidak kenal Sutardji Calzoum Bachri, penyair yang mengheboh pada  zamannya. Ia lihai dan piawai berkata-kata, bahkan tak sungkan  mendobrak tatanan berbahasa. Sutardji  menggunakan ungkapan “yang paling mawar”, “yang paling duri”, dan “yang paling pisau” untuk menyatakan makna ‘sangat indah’, ‘sangat sakit (pedih)’, dan ‘sangat kejam’. Bukankah dalam kaidah bahasa Indonesia frasa “yang paling”  mestinya  diikuti kata  adjektiva, bukan nomina?  Sutardji tahu dan mafhum, tetapi ogah! Di situlah letak kelincahan  dan keterampilan penyair dalam memunculkan sesuatu yang unik, sekaligus membedakannya dengan penyair lain. Mau tahu? Ia adalah rajawali di langit dan paus di laut dalam perjalanan  sastra  genre puisi Indonesia modern  setakat ini. Semoga bermanfaat!


Stg/2.ii.19

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog