Creative Collaboration, Wajah Baru Gotong Royong
Oleh : Agus Novel Mukholis (Guru MAN 2 Banyuwangi)
Saat membaca tagar “10 Tahun Banyuwangi Penuh Inovasi”, saya jadi percaya dengan berubahnya tampilan wajah Banyuwangi sekarang ini di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia. Saya memang bukan asli Banyuwangi. Berdomisili di Banyuwangi baru dua tahun berjalan karena tugas negara. Dua belas jam perjalanan dari Tulungagung, kota asal saya menuju ke Banyuwangi, namun terbayarkan dengan tampilan cantik nan indah panorama alam dan budayanya. Sebelum saya menginjakkan kaki di Bumi Blambangan ini, memang image Banyuwangi sebagai Kota magis masih melekat di fikiran saya. Namun setelah merasakan langsung bagaimana hidup di Bumi Kesenian ini, lalu membaur dan merasakan iklim budayanya, saya usir itu image “kota magis” dari fikiran ini.
Singkat cerita ada e-mail masuk dari Radar Banyuwangi, tentang lomba esai yang bertemakan “10 Tahun Banyuwangi Penuh Inovasi”. Brosur itu bagi saya adalah undangan untuk menulis. Saya menemukan satu konsep yang sangat cerdas sebagai Grand Design dari pembangunan Kabupaten Banyuwangi selama 10 tahun ini. Bapak Abdullah Azwar Annas bahkan menuangkannya dalam sebuah buku yang berjudul, “Creative Collaboration: 10 Tahun Perjalanan Transformasi Banyuwangi”. Walaupun belum membaca sampai khatam buku itu, namun saya berani menyatakan kalau konsep beliau adalah kearifan lokal yang dikemas secara modern, sistematis dan transformatif.
Pertama, konsep itu merupakan suatu gerakan yang artinya terus-menerus mengusahakan perbaikan. Gerakan itu mengajak kembali masyarakat dan seluruh elemen yang bersinggungan dengan Kabupaten Banyuwangi untuk kembali membudayakan gotong royong dan bebrayan. Budaya luhur nenek moyang kita yang sempat terkikis oleh zaman dan kecanggihan teknologi. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk bersama-sama menumbuhkan kembali rasa memiliki Banyuwangi, mencintainya, nguri-nguri menjaga dan mengharumkan namanya. Sehingga sang Bupati merangkul semua masyarakat untuk membangun Banyuwangi sebagai Kabupaten surganya kesenian, kebudayaan, perekonomian, pendidikan, pariwisata dan segala bidang dalam kehidupan bermasyarakat.
Warna yang begitu mempesona dari gerakan Creative Collaboation ini ada di beberapa bidang. Di bidang pariwisata ditandai dengan munculnya homestay yang memanfaatkan rumah warga untuk wisatawan. Ini gerakan perekonomian rakyat. Di bidang kesehatan ada Gancang-Aron, kolaborasi antara pemkab dengan Gojek untuk mengantarkan obat bagi warga yang sakit. Di bidang pendidikan gerakan ini membantu memunculkan kecerdasan sosial bagi anak-anak Bangsa. Program ini dikenal dengan Siswa Asuh Sebaya. Bagaimana siswa dilatih dan dididik untuk saling membantu teman-temannya yang kurang beruntung dalam segi ekonomi agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Bahkan Rhenald Kasali, founder Rumah Perubahan dan Penulis buku best seller #MO mengapresiasi gerakan Creative Collaboration tersebut. Menurut beliau gerakan ini bisa ditiru oleh Kabupaten/Kota yang lain. Jelas, memang budaya ini harus diterapkan oleh seluruh masyarakat Nusantara dalam segala bidang kehidupan, apalagi bidang pemerintahan dan pengelolaan sebuah negara, wilayah maupun daerah. Karena ini warisan yang sangat berharga dari nenek moyang kita. Gerakan ini mengikis egoisme, egosentrisme, ego-sektoral dan ego-ego yang lain yang berpotensi memupuskan kebersamaan, kerukunan dan persatuan dalam masyarakat.
Yang kedua, terdapat penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan dari gerakan ini. Creative Collaboration berarti gotong royong kreatif. Maka pencetus gerakan ini memandang semua orang, individu, personal dari berbagai lapisan masyarakat adalah pribadi yang mempunyai potensi, kehendak bahkan kreativitas. Sehingga kebijakan ini sangat humanis jika dikembangkan dan diperdalam dalam dimensi dan kultur yang lebih luas. Hulunya dan puncaknya ada pada konsep memanusiakan manusia dan menghapus diskriminasi. Sederhananya rakyat diajak bekerja-sama, bahu-membahu, bersama-sama membangun Banyuwangi. Kentara sekali nuansa dan iklim dari gotong royong ini saat pandemi. Bagaimana masyarakat saling menolong, membantu, memotivasi dalam segala bidang. Para warga diajak untuk bergotong royong menyediakan rumah dan kamar kosong mereka sebagai ruang isolasi bagi pasien dalam perawatan ataupun orang dalam pantauan, begitupun wisma pemkab dan gedung lain milik pemerintah.
Jika masyarakat merasa dirangkul dan digandeng tangannya untuk bersama-sama membangun kota tercintanya. Maka tanpa ada seruan, instruksi dan bahkan perda sekalipun dari pemerintah, masyarakat akan berbondong-bondong urun rembug, urun gawe, dan mengerahkan seluruh fikiran dan tenaganya membantu pemerintah dalam menjalankan program-programnya.
Ketiga, gerakan gotong royong ini menurut saya bukan sebagai sebab. Namun gerakan ini adalah akibat. Jika kita mengaca pada konsep sebab-akibat, maka gerakan gotong royong ini merupakan buah, akibat atau hasil dari kondisi sosial-masyarakat serta budaya yang kondusif dan merdeka. Ini berkaitan dengan alasan kedua yang saya utarakan di atas. Jika masyarakat dan kondisi sosialnya telah merdeka maka gotong royong ini adalah akibat yang ditimbulkan dari kemerdekaan masyarakat. Gotong royong ini merupakan akibat dari adanya rasa aman, rasa percaya satu sama lain serta adanya keadilan.
Jadi jika selama ini para pemangku kebijakan, para pemerintah, para pemimpin, para koordinator, dan semua manusia yang diberi wewenang mengatur masyarakat atau orang banyak masih merasa kesulitan mengupayakan budaya gotong royong, maka evaluasi terhadap sebabnya dulu. Mungkin kita selama ini salah identifikasi. Mungkin kita salah alur. Mereka beranggapan bahwa mengupayakan gotong royong dulu baru masyarakat akan damai, aman, tenteram, saling percaya, rukun dan sejahtera. Padahal aman, adil, damai yang tercipta dalam masyarakat itu adalah sebab yang akibatnya adalah tumbuhnya budaya gotong royong. Saya pun sebagai guru juga merasa seperti itu, saat semua siswa susah diatur, susah dikondisikan, susah kompak maka saya perlu berkaca dan mengoreksi perlakuan saya kepada mereka. Mungkin mereka merasa kurang mendapatkan keadilan, mereka merasa kurang mendapatkan rasa aman, mungkin mereka kurang merasa dihargai dan lain-lain.
Maka melalui ulasan sederhana ini, mari kita deklarasikan diri kita untuk tidak pernah berhenti belajar. Creative Collaboration yang digagas Bapak Abdullah Azwar Anas membuka jendela pustaka dalam fikiran kita bahwa se-modern apapun zaman, secanggih apapun teknologi dan secepat apapun informasi dan komunikasi saat ini, jangan sampai kita meninggalkan budaya luhur nenek moyang kita. Gotong royong adalah keniscayaan dan fitrah umat manusia sebagai makhluk sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar