Transendensi
Tugas dan Kewajiban, Ikhtiyar untuk Amanah
Oleh
: Agus Novel Mukholis, S.Psi.I (Guru MAN 2 Banyuwangi)
Menjadi seorang
yang amanah dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diemban merupakan kunci
atas keberhasilan sebuah tatanan kehidupan masyarakat. Kalimat itu sangat
relevan jika dilontarkan di iklim politik saat ini. Betapa tidak, saat ini
sedang ramainya pemberitaan disahkannya UU Cipta Kerja atau lebih sering kita
dengar dengan omnibus law. Saya
sendiri tidak terlalu mengikuti perjalanan kabar omnibus law yang di awal masih menjadi RUU Cipta Lapangan Kerja.
Namun dari hasil menyimak di media sosial dan televisi banyak muncul pro dan
kontra terhadap omnibus law yang
digadang-gadang disebut sebagai penyelamat kondisi perekonomian negara kita
karena mempermudah regulasi datangnya investor asing di negara kita. Walaupun
begitu, menurut beberapa pengamat juga terdapat banyak kecerobohan karena
dianggap tidak memihak dan merugikan wong
cilik seperti buruh, petani dan nelayan.
Itu selayang pandang tentang omnibus law. Namun bukan itu
yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Tapi ada garis besar dari beberapa rentetan
peristiwa politik di Indonesia yang mencolok untuk diperbincangkan, yaitu
krisis kepercayaan. Amanah dan krisis kepercayaan adalah dua term atau bahasan
yang saling berlawanan. Akibat dari tidak bisanya menjalankan amanah membuat
seseorang kehilangan image “dapat dipercaya”, sehingga berakhir pada krisis
kepercayaan dari orang-orang disekitarnya. Nah ini sama dengan yang terjadi di
negeri kita tercinta. Dewan Perwakilan Rakyat, tentunya tidak ada
habis-habisnya ketika membahas beliau yang berdasi dan menamakan dirinya wakil
rakyat. Membahas tentang DPR hari ini juga sangat sensitif dan menimbulkan
sentimen politik. Namun sebenarnya bukan hanya soal wakil rakyat saja yang
rentan terhadap “krisis kepercayaan”, namun juga profesi-profesi sosial yang lain
yang mengemban amanah dari orang banyak seperti Kepala Daerah, Kepala Sekolah,
Kepala Dinas, Kepala Desa hingga Kepala Keluarga. Ketidak-mampuan mereka dalam
menjalankan tugas dan kewajiban (amanah) sebagai mana mestinya akan membuat
mereka terperosok ke dalam kehinaan, bukan hanya di mata manusia namun juga di
mata Tuhan. Kehinaan itu dibangun atas citra mereka di mata masyarakat yang
bermula dari kekecewaan. Rakyat, masyarakat, anggota keluarga yang seharusnya
ditunaikan haknya malah diabaikan bahkan dirampas haknya oleh mereka.
Sangat
sulit memimpikan tatanan masyarakat yang adil dan beradab jika masing-masing
pribadi sulit memposisikan diri untuk fokus terhadap tugas dan kewajiban. Hal
ini harus ditarik ulur untuk menemukan sumber keruwetan berfikir, mengapa sih
banyak pemimpin yang lupa akan janji kampanyenya?. Tentu ini sangat erat
kaitannya dengan orientasi, tujuan dan motivasi. Jika motivasi mereka ke arah
pribadi dan materi ya pasti akan membelokkan keluhuran dalam memimpin. Akan dapat apa saya nanti jika melakukan
ini, keuntungan apa yang akan saya peroleh jika saya merealisasikan program
ini, materi apa yang saya dapatkan jika saya merelakan waktu saya untuk
melayani orang lain, dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan materialistik
yang akan menghambat lahirnya keluhuran dalam memimpin.
Jika konsep agama Islam yang Rahmatan Lil Alamin benar-benar direalisasikan tentunya orientasi
kemaslahatan bersama akan menjadi pegangan dalam memimpin. Namun realita yang
terjadi konsep rahmatan lil alamain bergeser
menjadi rahmatan lil agama, rahmatan lil aliran, rahmatan lil kepentingan. Sedikit
mengutip kata-kata Sujiwo Tejo, bahwa negeri ini kebanyakan pagi kekurangan
senja, kebanyakan gairah kurang perenungan. Jika dunia ini telah melenakan kita
dan menggeser arah prinsip kehidupan kita, maka sudah saatnya kita untuk
mentransendensikan tugas dan kewajiban kita sebagai apapun itu di lini sosial
kemasyarakatan. Sudah saatnya kita untuk Fafiruu
Ilallah, yang didengungkan dalam Al Qur’an potongan ayat ke 50 surat Az
Zariyat. Jika saya meminjam penjelasan dari wikipedia, konsep transendensi
adalah kesadaran ke-Tuhanan atau kesadaran vertikal manusia. Itu berarti kita
kembali meluruskan orientasi terhadap Tuhan, tujuan dan motivasi hanyalah
Tuhan, untuk Tuhan, untuk Tuhan dan untuk Tuhan. Jika mata kita tidak melihat
apa-apa kecuali Tuhan, maka hal apapun di dunia ini, tidak ada yang lebih
penting dari Tuhan, hanya Tuhan dan cukup Tuhan.
Sehingga dalam menjalankan aktivitas apapun dalam
kehidupan kita, dalam kesadaran nan jauh di sana hanya semata-mata menjalankan
perintah Allah swt. Hal ini sebagai manifestasi terhadap tugas utama kita
sebagai seorang hamba. Karena sejatinya kita dibuat ada oleh Allah, dibuat
hidup oleh Allah bukan untuk yang lain kecuali beribadah. Pesan tersebut sangat
jelas termaktub di dalam Al Qur’an surat Az Zariyat ayat 56. Logikanya ketika
apapun yang kita lakukan (asalkan tidak melanggar norma agama, sosial dan
hukum) diniatkan hanya untuk menjalankan perintah Allah, hanya sebagai
manifestasi ke-hambaan, maka tidak mungkin kita berani dan rela membuat Allah
kecewa dan marah. Akhirnya yang kita lakukan semata-mata hanya ingin membuat
Allah senang, membuat Allah ridlo terhadap kita. Maka sudah bisa dipastikan
bahwa ha-hal yang diridloi Allah pasti maslahat dan manfaat untuk alam termasuk
manusia, tidak hanya pada lingkup negara saja.
Pertanyaan Sayyidina Muhammad dalam mimpi seseorang yang
Fadh Djibran tulis dalam sebuah novel Seribu Malam Untuk Muhammad, adakah yang
lebih penting dari pada iman? Ialah Ihsan (Kebaikan). Maka sebenarnya buah dari
iman itu adalah ihsan. Jadi bisa dikatakan semakin sempurna imannya seseorang,
maka semakin banyak ia memberikan manfaat untuk sesama. Bukan sebaliknya. Iman
tidak bisa diukur dari anggap sendiri terhadap kebenarannya sendiri. Karena di
dalam term tasawuf, semakin kita tenggelam dalam ke-Esa-an Allah maka semakin
kita merasa tidak ada. Sehingga semakin kita memantabkan keimanan semakin kita
merasa bahwa kebenaran subjektif kita sirna, hancur dan hilang.
Maka jika kita bukan seorang yang ahli ibadah secara
lahiriah, kita bukan seorang yang rajin berdzikir, kita bukan seorang yang mampu bangun malam dan
ibadah sepanjang malam, maka mari kita persembahkan semua aktivitas positif
kita hanya semata-mata untuk mengabdikan diri kita kepada Allah. Apapun yang
sudah menjadi tugas dan kewajiban kita, mari kita laksanakan hanya untuk Allah.
Kita sebagai seoarang guru mari kita laksanakan tugas dan kewajiban kita mengajar
siswa hanya untuk dipersembahkan kepada Allah swt. Kita sebagai kepala keluarga
memberikan nafkah kepada istri dan anak, mari kita niati ini semua hanya karena
Allah bukan karena motivasi-motivasi yang lain selain Allah. Mari kita
mengembangkan karir kita bukan untuk motivasi materi, tapi untuk kita
persembahkan kepada Allah. Sehingga akan muncul nilai kemanfaatn dan
kemaslahatan untuk umat.
Jika hati dan jiwa kita latih untuk mempersembahkan apapun tugas dan kewajiban kita hanya untuk Allah maka tidak mungkin kita khianat. Sifat-sifat Tuhan (Asmaul Husna) dan uswatun hasanah dalam diri Muhammad harus mulai diinternalisasikan dalam diri untuk kemudian terealisasi dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk keimanan kepada sang Maha dan RasulNya.
Mari belajar untuk lebih mengenal
tentang hakikat kita sebagai manusia. Tuhan memberikan dua tugas kepada setiap
manusia yang dilahirkan di dunia. Pertama seperti yang dibahas di atas, yaitu
untuk menyembah mengabdikan diri kita kepada Allah (Surat Az Zariyat Ayat 56).
Kedua sebagai manifestasi dari keberhasilan nilai penghambaan adalah sebagai
wakil Tuhan atau khalifatullah fil Ardh yaitu
memakmurkan bumi, memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk sesama dan untuk
alam (Surat Al Baqarah ayat 30). Jika dua tugas telah kita lakukan maka
transendeni tugas dan kewajiban kita di kehidupan ini pasti akan terwujud yaitu
mendasari semua tugas dan kewajiban kita hanya untuk Allah swt. Sehingga kita
akan bisa menjadi pribadi yang amanah sebagai pemimpin, memimpin diri sendiri
dan memimpin orang lain. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar