Pesantren dan Pendidikan TPQ
Oleh : Tria Aini
Wulandari
Pendidikan
pesantren dan Taman Pendidikan Alqur’an tidak termasuk materi dalam Omnibuslaw
atau undang undang Ciptaker, sehingga yang berlaku dalam perraturan perundang
undangan masalah Pesantren adalah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren yang disahkan tanggal 21 Oktober 2019 sebagai kado istimewa Hari santri Nasional. Pendidikan Pesantren pada umumnya diselenggarakan oleh
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh
sebelum Indonesia merdeka, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren sudah
lebih dahulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, nilai agama
disadari merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan. Secara historis, keberadaan Pesantren menjadi sangat penting
dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena Pesantren bersumber
dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat
sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan dan layanan lainnya.
Pesantren dan pendidikan berciri khas keagamaan sangat besar perannya dalam pendidikan Nasional, terlebih dalam pembentukan karakter sejak dini dengan pendidikan karakter keagamaan yang kuat. Pendidikan karakter dalam pembentukan pola pikir seharusnya dimulai sejak anak usia dini dengan pendidikan agama yang cukup, sebab dengan pendidikan agama yang cukup dan berkesinambungan akan mencegah anak anak untuk berbuat yang dilarang oleh agama, manusia akan berbuat baik bukan sekedar takut dipenjara jika berbuat yang dilarang, namun jika manusia sudah mempunyai karakter agama yang cukup kuat, dengan sendirinya akan takut berbuat dosa jika melakukan tindakan yang dilarang agamanya.
Undang Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sistim
pendidikan di Indonesia di bagi dalam 3 kelompok, yakni Pendidikan Formal,
Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal.
Taman Pendidikan
Al Qur’an yang biasa disingkat dengan TPQ atau TPA adalah salah satu Pendidikan
Informal yang sangat penting peranannya dalam membentuk karakter pribadi yang
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang berakhlak mulia,
mengingat Taman Pendidikan Al Qur’an atau TPQ khusus mengajarkan Pendidikan
Agama dan keagamaan, yang perannya tidak dapat dipandang remeh dalam dunia
pendidikan disamping pesantren. Saat ini TPQ bukan hanya mengajarkan tata cara
membaca Al Qur’an dan tata cara beribadah saja, namun pendidikan di TPQ sudah
lebih mengarah pada pendidikan kepribadian dan karakter anak didik. Sudah ada
beberapa TPQ yang juga mengajarkan Bahasa Inggris dalam materi tambahan
pelajarannya. Disamping pelajaran tata cara
berpidato, Kaligrafi dan lain sebagainya. Dan ketika peserta didik
tersebut mengikuti sebuah event kejuaraan, maka yang bersangkutan tidak membawa
nama TPQ dimana yang bersangkutan dididik, namun lebih membawa nama Sekolah
Formal dimana yang bersangkutan belajar.
Pada umumnya
hanya anak anak di sekolah tingkat dasar saja yang mau datang ke TPQ,
sehingga pendidikan di TPQ harus
dimaksimalkan pada usia ini, namun yang menjadi permasalahan adalah ; Pertama
Tidak ada daya paksa kecuali dari orang tuanya, sehingga anak mau
mengaji di TPQ, berberda dengan di
sekolah umum atau formal dimana kurikulum dan kedisiplinannya terjaga. Tanda
lulus TPQ seakan akan tidak bermakna apa apa kecuali untuk koleksi dan kepuasan
pribadi. Kedua tidak adanya standard
kurikulum baku yang ada di TPQ, sehingga setiap TPQ terkesan menggunakan kurikulum
dan standard pengajaran yang berbeda beda sesuai dengan metode yang
digunakannya.
Pendidikan agama
pada diri siswa sebenarnya dapat terlaksana dengan baik jika ada keterpaduan
antara pendidikan di sekolah dengan pendidikan pada Taman pendidikan al Quran,
sehingga dapat memberikan daya paksa terhadap anak anak usia sekolah tingkat
dasar untuk mengaji di Taman pendidikan al Quran, adanya keterpaduan antara
Pendidikan Agama disekolah dengan Pendidikan di Taman pendidikan al Quran,
sehingga pendidikan agama pada anak anak dapat berjalan seiring sejalan antara
pendidikan disekolah. Dengan demikian maka anak anak akan dapat memperoleh
pendidikan agama dengan baik tanpa harus menambah jam pelajaran disekolah
formal.
Perkembangan Tehnologi yang
begitu cepat menuntut masyarakat untuk mengantisipasi dampak negative dari
tehnologi tersebut. Melarang anak anak untuk mempelajari dan menggunakan
tehnologi adalah tindakan bodoh, namun membiarkan anak anak menggunakan
tehnologi tanpa dasar pengetahuan dan pengawasan adalah tindakan yang juga
sangat bodoh dan ceroboh. Namun yang
menjadi masalah adalah bagaimana memberikan bekal terhadap anak anak, sehingga
anak anak dapat memanfaatkan tehnologi kepada hal hal yang positif, dan menghindari penggunaan tehnologi
pada hal yang merusak. Banyak kasus dari akibat penggunaan handphone dan
perangkat tehnologi lainnya yang salah yang mengakibatkan anak terpaksa harus
putus sekolah karena terpaksa nikah. Meskipun sebenarnya pernikahan bukan
halangan untuk melanjutkan sekolah, namun dibanyak kasus anak akan putus
sekolah setelah menikah, dan banyak sekolah yang mengeluarkan anak didiknya
ketika anak didiknya tersangkut kasus pornografi.
Salah satu cara untuk memberikan bekal bagi
anak anak dalam mengikuti perkambangan tehnologi adalah memberikan pengetahuan
dan pelajaran tentang tehnologi dan pemahaman agama yang kuat, sehingga dalam
perkembangannya anak menjadi manusia yang berkepribadian yang baik, tidak mudah
tergoda untuk berbuat dosa, apalagi menyuap dan korupsi.
Pendidikan Agama
di Sekolah Formal hanya 2 jam pelajaran sangatlah kurang, meskipun materi
pelajaran Agama dapat disisipkan dalam pelajaran lainnya dalam Kurikulum tahun
2013 atau K-13, namun pada kenyataannya sulit untuk diterapkan sepenuhnya,
dengan mengingat tidak semua guru selain guru agama mengenal Ilmu keagamaan
dengan baik. Dengan 2 jam pelajaran tersebut seolah olah peserta didik dipaksa
untuk menerima seluruh materi pelajaran yang sebenarnya membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam Ditambah lagi dengan kurikulum atau buku penunjang yang kurang
tepat, sehingga Pendidikan Agama lebih terkesan lebih sebagai pengetahuan
daripada Pendidikan itu sendiri.
Penulis Guru MI
darul Amien jajag, Ustadzah TPQ Al Falah Sukopuro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar