Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Satya

Satya

SATYA

Wajahnya manis menggoda, senyum manis tanpa lipstick menyapa, serempang sampur merah mengiringi langkah menuju arena. Api unggun masih menyala, banyak hati yang ikut berkobar karenanya. Senyumnya seakan meminta izin kakinya memainkan tarian mantra.

“Ayo kutunggu di arena.”

Berpuluh pasang mata pandega tak bekedip karenanya. Rambut Niken terbiarkan terurai, tali rumput pengikat  lepas tanpa permisi. Suara gamelan terdengar lirih dari sound system kecil panitia, separuh suaranya terbawa angin entah ke mana, mataku terpejam ketika terbentur sorot matanya tembus bagai panah ke ulu hati.

“Silahkan menari, aku akan mengiringi.”

Aku kenal tarian itu, tarian Mantra Jaran Goyang.

“Ayo Kak, iringi aku memainkan tarianku” pintanya.

“Aku tak pandai menari”

Aku hanya berdiri kaku di pinggir arena, menikmati  dan larut dalam tariannya. Tarian jaran goyang tanpa mantra mencapai puncak tengah malam, matanya masih berbinar, tempik sorak melawan sepoi dingin malam. Jiwa ini terus mengiringi tariannya, membakar dinding cinta, mengitari api unggun yang terus menyalak, seakan ada suara ”ikuti tarianku meski dalam lamunanmu, meski tanpa tirakat dan mantra.” Beberapa orang berkalung narakarya mondar-mandir ditenda panitia.

Semua terdiam membisu, suara gamelan tak lagi lirih, dia terus menari mengitari api unggun, kalung merah putih masih tersemat di leher jenjangnya yang bening. Ketika minum, seakan terlihar air mengalir dari tenggorokannya, mungkin dia bidadari surga yang sedang berlibur di bumi, ribuan bintang tersenyum, mereka bertaruh tentang siapa yang akan menang, siapa pemburu dan yang diburu. Kulihat kembang kanthil terselit di sela jemarinya.

 “Tangkap kanthilku Kak.” Mataku tak berkedip menatap kanthil yang dilemparkan ke langit, baunya harum memikat, kanthil itu tak turun ke bumi, entah terbang ke mana. Niken terus menari, aku terhanyut dalam bayangnya.

Aku masih mengitari api unggun yang mulai redup, sayup-sayup kudengar  mazmur malam dalam bayangan. 

”Dalam kasih tidak ada ketakutan. Kasih yang sempurna menghilangkan segala rasa takut karena ketakutan ada kaitan dengan hukuman. Dengan demikian, orang yang takut belum mengenal kasih yang semnpura”. 

Masih kuingat alunan deresannya, meski itu kudengar setahun yang lalu, pertama kali kuikmati tatapan matanya. Malam ini tak ada purnama, gemerlap bintang menyibak awan, memberikan kesempatan kobaran api cinta penawar kecewa, tak terdengar lagi mantra dari kitab suci. Dia seakan terus melantunkan sayup mantra di sela bayang tariannya, melati di atas daun telinganya masih jangkep, tak terlihat layu meski sedari pagi dipetik dari tangkainya, pertanda kesucian jiwa masih terjaga. “Teruslah menari hingga habis mantra mantra itu terurai.”

Sun matek ajiku si jaran goyang, sun goyang ring tengah latar, sun sabetaken gunung gugur, sun sabetken lemah bengkah, sun sabetaken segoro asat, sun sabetaken ombak sirap, Pet sabetake ati si jabang bayine penari, Cep sido cep edan ketresnan. Yen dudu aku sing nambani”. 

Kucoba rapalkan mantra tanpa puasa tanpa suara, Kubuang melati ke arahnya, seperti halnya nelayan membuang sauh, kembang terbakar sebelum menyentuh bumi.  Sampur merah ngiwi-iwi lamunanku. Tangan Niken masih gemulai melanjutkan tariannya. Begitu lihainya gadis manis itu menarikan tarian Jaran Goyang meski tak terdengar mantra. Kanthil dan melati sama-sama tak menyentuh bumi, tak ada yang lebih hebat antara tarian dan mantra, para pandega masih tetap bersorak menikmati, mereka tidak menyadari yang terjadi pada dua hati di antara kobaran api.


Mantramu tak kauucapkan dari mulut mungilmu, selembar bibir itu cukup tersenyum menatapku. Mantra-mantra itu telah menyatu dalam tarian jiwa. Aku bagaikan pemburu yang tak jelas siapa yang diburu, tirakatku ambyar sebelum mantra itu kuucapkan. Mantra pada tarianmu telah membius dan menghapus hafalanku pada rapal yang sudah kusiapkan. Tak seperti engkau yang telah hafal dengan ayat-ayat mazmurmu, yang kau deres dengan merdu mendayu. Aku lelah dan harus pasrah terkena mantra tarianmu, engkau kembali ke pangkalan diiringi sorai pandega yang juga pengagummu. 

“Bagaimana tarian Niken Kak?” tanyanya sambil meneguk segelas air mineral yang kusodorkan. Ingin aku menyeka buliran keringat di wajahnya. Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengacungan jempol kepadanya.

Engkau terbangun ketika azan Subuh kukumandangkan. Engkau sabar menungguku melakukan sembahyang pagi sebelum senam dimulai. Mungkin engkau akan menceritakan kepadaku isi buku Scouting For Boys atau kita bersama mengurai tali simpul yang terlanjur menjerat hati tak terluka. Aku akan tetap setia pada satya yang akan kudarmakan dan akan terus  menebar darma dengan cinta yang terus menyala meski tanpa tarianmu. Kita terikat pada satya dan mungkin cinta tanpa asmara dan cemburu. Satya telah terpatri tanpa harus merapalkan mantra, satya yang harus tertebar ke mana-mana. 

Haruskah cerita itu berhenti di sini? 

“Ayo Kak, sarapan” suaranya lirih mengaburkan lamunan, aku tidak menjawabnya, segera melangkahkan kaki untuk sarapan bersama.

Kulihat Wall Facebook, foto gadis berbaju Pramuka memegang Jargon di tangannya. Bukan Mantra Jaran goyang seperti yang pernah kurapalkan. Atau sederet ayat-ayat pada Mazmur yang pernah dideresnya. Senyum manis masih menghiasi setiap kutatap wajahnya, senyum yang sama ketika gadis manis itu menari mengitari api menyala, memegang erat pamflet yang telah lama ingin dibuangnya, namun di masih sanggup tersenyum bahagia, “Biar jomblo asal pramuka”. Aku tak sempat lagi melempar jiwa melati kepadanya, memegang hati, dan cinta tanpa bara. Senyumnya tetap bertebaran, menghiasi Facebook dan Instagram, tak ada picture tarian.

Kita mengitari kembang buah naga yang sedang bermekaran semalam, benang sari menunggu uluran tangan untuk menyatukan asmara dengan putik cantik merinu yang dari perkawinannya akan muncul buah hati yang dapat dinikmati. Aku mengejarmu meski engkau tak lagi menari, lampu neon mempercepat pubertas, buah naga tersebut dapat bercinta di luar musim yang dikehendaki, entah dengan kita. Sekat yang memisahkan kita seakan tak akan pernah tertembus meski belati cinta berkali-kali kautancapkan di dada. Kita masih sibuk mengawinkan buah naga, hanya bisa meraih bayang. Tatapan matamu menembus pilu hati yang sedang merasakan perana, kita tabur cinta untuk hinggap ke mana dia suka, dan kita tetap bahagia.

“Kenapa kembang ini harus dikawinkan?” tanyaku.

“Kalau nggak dikawinkan nggak akan jadi besar Kak.”

”Kok harus malam hari?”

“Ketika matahari beranjak sepenggalah, kembang-kembang ini layu Kak.”

Langit cerah, rembulan pun memberikan kesempurnaan sinarnya, ada yang terjatuh dari langit, baunya harum semerbak, hafal betul aku dengan baunya, ini bukan harum kembang buah naga, harumnya seperti kembang kanthil atau melati. Kutangkap pelan benda dari langit tersebut.

“Lihat Kak, aku menangkap bunga melati yang jatuh entah dari mana.” Niken menunjukkan kembang di tangannya dan tanpa kusadari Kanthil itu sudah ada di tanganku.

 “Iya, aku juga menangkap kembang kanthil yang jatuh dari langit.”

Kami saling menatap, tidak tahu kenapa ada kembang kanthil dan melati ada di tangan. Mungkinkah ini kembang yang lenyap ketika Niken menari dan aku merapalkan mantra dulu? Bukankah itu hanya permainan sesaat? Imajinasiku semakin liar, tarian Niken di antara api unggun seakan kembali hadir. Bau kembang semakin harum, kanthil, melati, berdekapan erat. Tak terasa keringat dingin keluar dari kuduk, masih ada sepasang kembang yang perlu dikawinkan.

Tirakatku, mantra-mantramu belum benar menyatu, masih kuingat pesanmu “Lakukankah apa yang ingin Kakak lakukan.”

Aku bukan ingin mendengarkan deresan mazmurmu atau tarian Jaran goyang tengah malam yang telah membakar melatiku, karena aku tak tahu apa yang kuinginkan darimu. 

“Ayolah kita menyanyi lagi, mengitari api unggun bersama kembali.”

Kaujawab ajakanku ini dengan senyum manismu. Senyum yang kaubawa kemana pun engkau pergi.

Tarian itu telah menebarkan benih cinta tak sengaja, sebuah tarian dan mantra  yang seharusnya tidak dipermainkkan. Kami duduk di beranda, secangkir kopi telah kuteguk setengahnya, menyesali tarian dan mantra yang pernah dimainkannya.

“Sudahlah Kak, tarian jaran goyang adalah tarian takdir, seperti halnya mantranya,” ucapnya tanpa menghidangkan senyum manisnya.

“Iya, kita sudah terjebak dalam permainan tarian dan mantra, menapaki garis takdir”

Aku tak menunggu nya, Kami terduduk beradu senyum yang tidak diketahui maknya dari padanya, hanya satya yang menyatukan dua jika, entah dengan rindu dan cinta

 

Syafaat

Anggota Terminal Literasi Pegawai Kementerian Agama (Lentera Sastra)

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog