KAMBING,
CORONAVIRUS, THE REAL QURBAN
BY
: UNU MASNUN
Kambing dan coronavirus mempunyai kesamaan, yaitu sama sama
makhluk yang Allah ciptakan sebagai ujian bagi umat manusia. Baik ujian
kebaikan maupun keburukan. Yang satu mempunyai sisi positif karena ditujukan
sebagai penutup kebutuhan fisik manusia / sebagai makanan dan yang lain dianggap ‘menakutkan’ karena
mengganggu kesehatan manusia hingga berakibat kematian.
Hadirnya
coronavirus bersamaan dengan kambing di masa masa pandemic seperti ini
menimbulkan ‘dilema’ bagi sebagian umat muslim yang notabene terdampak secara
fisik maupun secara mental. Akan tetapi menyimak seruan Allah dalam firman-Nya
“Inna a’thoinaakal kautsar.. fasholli lirobbika wanhar” (QS 108 : 1-2). Sungguh
, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat
karena Tuhanmu , dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah) Al Kautsar ayat 1-2.
Artinya Alloh kembali menyeru kita untuk mengoptimalkan
beragam bentuk ketaatan kepada Nya dengan melaksanakan kewajiban dan
meningkatkan ibadah sunnah kepada-Nya di bulan Dzulhijjah meski dalam masa-masa
sulit seperti sekarang ini. Sudah barang tentu terbersit terbayang di benak
kita seekor kambing (hewan kurban)
sebagai sarana untuk berkurban. Dan akan memaksa kita untuk berkurban, dengan
menyembelih hewan kurban maupun mengorbankan perasaaan kita demi memenuhi
perintah Allah tersebut.
Deni Mardiana, Lc. Mengatakan bahwa berqurban artinya
artinya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Alloh dengan cara
menjalankan perintah Alloh dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. Bertaqarrub
sejatinya tidak mengenal musiman, apalagi hanya sekedar ritual. Tentu sebagai
hamba Alloh yang taat, wajib hukumnya kita terus meningkatkan kualitas dan
kuantitas taqarrub kita kepada-Nya, karena Allohlah pemilik segalanya.
Memang
tidak mudah untuk terus berada di jalan Alloh, apa lagi di masa masa seperti
ini, pandemic yang melanda dunia tanpa kecuali. Sudah barang tentu juga melanda
umat islam .Di mana masyarakat sudah terbebani dengan berbagai macam kebutuhan
baik fisik maupun psikis yang membutuhkan perjuangan luar biasa untuk sekadar
bertahan hidup dan menjaga kesehatan .
Namun
upaya dan optimalisasi taqarrub kita kepada-Nya harus menjadi perhatian utama
dan pertama dalam hidup kita. Kata berqurban di bulan Dzulhijjah selanjutnya
didefinisikan dan diekspresikan dengan melakukan penyembelihan hewan qurban
sesuai petunjuk Alloh dan sunnah Rasulullah saw.
Di antara beberapa beragam bentuk ketaatan kita adalah dengan melaksanakan kewajiban dan
meningkatkan ibadah sunnah kepada-Nya di bulan ini. Seruan Alloh itu tergambar
juga dalam hadits yang artinya, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10
hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di
jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di
jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun
tidak ada yang kembali satu pun. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas amalan utama di bulan ini diantaranya
ialah : Menjalankan ibadah haji (bagi yang mampu), melaksanakan shaum ‘arafah
tanggal 9 Dzulhijjah, Melaksanakan Shalat Idul Adha, menyembelih hewan Qurban,
memperbanyak takbir dan dzikir di hari tasyriq dan meningkatkan amalan ibadah
sunnah.
Dari sekian amalan di atas, yang utama tentu menjalankan
ibadah haji. Namun faktanya tidak semua dari kita diberikan kesempatan untuk
bisa melaksanakan rukun islam yang kelima ini. Bahkan pelaksanaan ibadah haji
tahun ini tampaknya tertunda disebabkan pandemic. Keputusan pembatalan
pemberangkatan jemaah haji Indonesia tahun 1441 Hijriah
dituangkan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494
Tahun 2020. Dalam keputusan itu, Fachrul
menegaskan bahwa pembatalan pemberangkatan ibadah haji tahun
ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Akan tetapi
meskipun begitu, ibadah kurban tentunya tetap akan dilaksanakan.
Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari syari’at
penyembelihan hewan qurban. Dalam kitab Minhajul Muslim (Hal 339-340) karya
Syekh Abu Bakr Al-jazairi Bab tentang Udhiyyah menyebutkan beberapa hikmah
disyariatkannya ibadah qurban yaitu bentuk Taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Alloh SWT, menghidupkan sunnah tokoh revolusi tauhid Nabi Ibrahim as, menghadirkan
kebahagiaan bagi fakir miskin di hari raya, wujud kesyukuran kepada Alloh atas
nikmat hewan yang ditundukkan untuk kita, dan juga kita pun bersepakat bahwa
berqurban menghadirkan upaya mengentaskan kesenjangan hubungan antara si kaya
dan si miskin.
Di samping hal-hal di atas, berbagai tujuan berkurban juga
1) sebagai bentuk syukur atas nikmat hidup
dari Allah SWT.Hidup dengan tubuh
yang sehat dan rezeki yang mencukupi adalah nikmat terbesar yang diberikan oleh
Allah SWT. Dengan berkurban, rasa syukur atas limpahan rezeki yang telah
dilimpahkan oleh Allah SWT dapat mewujud. 2) Berkurban adalah ciri
keislaman seseorang. Ibadah kurban menjadi bentuk ketaqwaan kita
terhadap Allah SWT karena perintah berkurban telah termaktub dalam Al-quran.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah pun menjelaskan hal
tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan
lapang, lalu ia tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat
sholat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Di samping itu berkurban lebih
baik dari sedekah senilai hewan kurban. Ibnu Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu
mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh
karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan
pada manasik tamuttu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai lipat
ganda, tentu tidak bisa menyamai udhiyah. (Shahih Fiqh Sunnah 2 : 379). Menguatkan solidaritas. Berkurban dilakukan oleh orang yang mampu dan akan dinikmati
oleh orang yang kurang mampu. Dengan berkurban, seseorang dapat memupuk rasa
kepedulian terhadap sesama, dan akan terjalin pula sikap solidaritas yang kuat
di antara pemberi dan penerima kurban.(gomuslim.id)
Terjadinya pandemic ini tak hanya berdampak pada kesehatan
fisik, tapi juga dapat memengaruhi kondisi mental setiap orang. Terlebih lagi
saat ini masyarakat dihadapkan pada aturan new normal yang
mendorong masyarakat untuk beradaptasi cepat dengan kebiasaan baru.
Pemerintah Indonesia,
dalam hal ini termasuk pemerintah daerah
maupun provinsi masih mencanangkan protocol kesehatan dalam rangka new normal.
Hal ini tentu berkaitan erat dengan diwajibkannya menggunakan masker, cuci
tangan, dan jaga jarak bagi seluruh individu. Dalam rangka memperoleh ‘rasa
aman’ tersebut akan sangat dibutuhkan kedisiplinan bagi semua kita.
Kondisi tersebut diperparah dengan
dampak sosial ekonomi yakni potensi terkena PHK yang membuat masyarakat risau
masalah finansial, pekerjaan, dan masa depan seusai pandemi berakhir. Jika
tidak segera ditangani, masyarakat dapat mengalami gangguan kesehatan mental
atau penyakit mental. dr. Monika Joy
Reverger, Sp.KJ menguraikan beberapa
tanda gangguan akibat pandemi Perubahan
pola tidur, gangguan pola makan, sulit berkonsentrasi, penyalahgunaan alkohol
dan obat-obatan, timbulnya rasa bosan dan stres, terutama pada remaja dan
anak-anak karena terus berada di rumah dan harus beradaptasi dengan kebiasaan
baru, memburuknya kesehatan fisik, khususnya bagi orang dengan penyakit kronis
seperti diabetes dan hipertensi, rasa takut berlebihan akan keselamatan diri
dan orang-orang terdekat, muncul gangguan psikosomatik.
Berkurban ( fisik,
mental, juga hewan) seperti inilah yang
perlu mendapat perhatian lebih sehingga seakan manjadi kurban yang
sebenar-benarnya di masa sekarang.
Sebagai penutup diharapkan pelaksanaan
ibadah kurban tahun ini tetap terlaksana dengan baik walaupun pandemi
coronavirus belum berakhir. Tentu saja dengan tidak mengurangi sedikitpun dari
hakikat dan tujuan berkurban.
Nama ; Unu
Masnun
Guru Bahasa
Indonesia di MAN 3 Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar