Dibawa Cinta Wulandari
Oleh : Syafaat
Pipinya nyempluk meski usianya tak lagi muda,
senyumnya dibawa kemana mana seakan tak pernah tutup pabriknya. Dua kali kirim
Jaringan Pribadi (Japri), belum sempat aku membalas dari nomor tak dikenal,
hingga pemilik nomor tersebut datang dengan senyum dan sedikit rasa kecewa. Tak
kusangka, betapa manis senyum yang dibawanya cinta sang rembulan seakan dibawa
semua nyaris tak tersisa. Ruang sunyi sejak kehadirannya, jari jari berhenti
menari diatas keyboard menyambut kehadirannya. Kuambil otak yang sejak tadi
bersemayam dalam kotak Personal Computer untuk fokus memandang wajahnya.
Senyum itu telah membiusku hingga ke ulu nadi.
Entah dimana pernah menikmatinya, gambarannya sangat jelas meski samar dan
mengerahkan segenap rasa, namun tetap saja tidak mengingatnya. Aku tak sanggup
menatap mata elang dibalik kacatamanya, takut tertembak senyum merekah dibalik
bibir mawar merah itu. Bahkan tangan diatas mouse yang sedari tadi bergerilya
pada aplikasi simpatika seakan kram mengikuti pemiliknya. perlahan dia memperkenalkan
diri bahwa dia sudah dua kali Japri dan belum mendapatkan balasan apa apa.
Kulihat sorot matanya memberikan benih cinta yang harus kutanam dalam dalam.
Entahlah aku tidak mendengar perkataan setelahnya, aku sibuk menelusuri jalan
panjang ingatan, dimana aku pertama kali melihatya.
Kertas kerja masih berserakan di meja,
beberapa buku juga belum sempat dirapikan. Pemilik senyum merekah diantara pipi
tembem sorot matanya tertuju pada sebuah buku yang baru saja kubaca, aku tidak
tahu apa menariknya buku tersebut. Mungkin karena akulah penulisnya sehingga
kuanggap biasa. “boleh dipinjam bukunya?”, tanpa menunggu jawaban, jari
lentiknya telah mengambi buku bersampul merah jambu tersebut, mengamati tanpa
membukanya, lalu ditaruh begitu saja. Aku harus menghabiskan segelas air
sebelum melanjutkan bicara, mata elang dibalik kacamata bukan hanya membius
lunglai, namun menumpas tuntas semua kata yang seharusnya kuucapkan untuknya.
“apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Iya, sepertinya saya pernah bertemu, dan saya
juga diberi Buku ini oleh Bapak” jawabnya sambil menyuguhkan senyum.
Kutaruh semua kertas kerja menjelang senja. Kugandeng
tangan mungilnya menyusuri Jiwa Jawa Terakota. Mencari cinta lama terucap
tertunda, menelusuri jiwa yang sedang kosong. Menyerahkan diri pada takdir yang
membawa.
Senja sebentar lagi menyapa, kubawa bersama
sorot elang cintanya mengikuti irama gamelan di Taman gandrung terakota. Aku
menikmatinya dalam bisu, hanya menikmati sayup rindu tanpa tarianya. Dalam satu
hitungan, dia berhasil menghitung patung gandrung yang berendam di kolam. Tidak
banyak yang bisa melakukannya, kadang butuh dua sampai tiga kali untuk
menghitung dengan tepat. Tapi dia beda, mungkin karena dia guru matematika. Konon
bagi mereka yang dengan tepat menghitung patung gandrung tersebut adalah mereka
yang masih dalam konsentrasi tingkat tinggi. Senyum merekah patung
gandrung menyambut kedatangan kami yang sedang dirundung asmara. Tanpa kata
kata, para gandrung masih asyik berendam tanpa menanggalkan selendang dan
busana.
“ayolah berendam bersamaku, bersama gandrung
secantik dirimu”
Para gandrung tetap membisu, kurendamkan diri
dalam kolam cinta bersama. “jangan !!!, cintakan membunuhmu”. Aku terkejut
mendengar ucapannya, namun tetap saja kutenggelamkan dalam rendamannya.
Tak apalah ikut berendam bersamanya, sebelum
senja beranjak pergi. Wulandari mulai menyapa, para gandrung membiarkanku
merendamkan diri bersamanya. Aku tak tahu mereka pria atau wanita. Sekilas
terlihat lekuk tubuhnya, namun belum membuktikan jenis kelaminnya. Ompyok
gandrung turut timbul tenggelang dalam kolam, aku sudah tidak tertarik lagi
memeriksa jenis kelaminnya, sebelum benar benar hanyut dalam
lembah sastra. Kukecup pipi tembem nyempluk diantara para penari
gandrung yang tak kenal lelah meski senja telah beranjak ke peraduan. Penari
gandrung timbul tenggelam mengikuti irama masa, dipematang sawah dari irama
diatas paglak mereka menari, menyambut berkah panen padi tiba.
Hari beranjak malam, patung
gandrung masih berdiri kokoh tak beranjak, didepannya Nampak induk
ayam melindungi keempat anaknya dari terpaan dingin dan hujan, wulandari
menunjukkan pesonanya. Dibawah sinarnya para gandrung tersenyum menyapa, alunan
nada dari paglak malam tak henti mengiringi. Para gandrung mengajakku menari. pajuan
jiwa terbalut cinta membawaku hanyut dalam lirikannya, tariannya teratur dn
terukur, pernah dentuman mesiu tak menyurutkan nyali untuk tetap menari dibawah
sinar cinta wulandari. Pemilik pipi nyempluk hanyut dalam tarian malam. Para
bidadari menyaksikan tarian kami, semalaman tanpa henti, seperti malam
pengantin dilembah serpihan surgawi. Selendang merah telah siap dibahunya “ayo
kita terus menari, melambung tinggi dalam tarian mimpi”. Aku tetap memajunya dengan sisa tenaga yang
ada. “ayo nona, kita pacu nafsu paling jalang mala mini”
Sambil menari, pemilik pipi tembem terus
menghujamkan belati, tepat di ulu nadi. Aku terus melambai rindu dalam
pajuannya. Tarian itu terlanjur membius jiwa yang sedang kosong, dari mulutnya
keluar nada cinta tanpa kata. Belatinya terlalu tajam untuk dilawan, para
penari terus menonton tarian jiwa berbalut asmara dibawah gerimis malam merindu
purnama. Wulandari Tersenyum dalam kepongahan dengan perasaan menang ketika
belati cinta terlanjur menancap dijiwa. “aku jadi pemenangnya”. Aku terdiam,
lemas dalam dekapannya. Sinarnya terlalu tajam, wajahnya cerah, hanya wulandari
tanpa awan yang sanggup menawarnya. “ambilah jiwaku, tanamkan dibalik belahan
dadamu”. Kita ditakdirkan dalam satu cinta.
Patung gandrung tetap berdiri menunggu larut,
mereka tetap membisu, hanya bayangannya menemaniku menerima ucapan cinta
darinya. “aku juga menyerah kalah, hujamkanlah belatimu dirongga cintaku, aku
akan tersenyum menerimanya”. Kuikuti cinta yang terbimbing nafsu serakahku “Biarlah
para gandrung menjadi saksi tanpa bukti” bisiknya ditelingaku..
Aku tak lagi menungu di pojok pendma, tempat pertamakali kutaruh separuh
jiwa untuknya. Tak lagi merindu dalam sendu, dia terus menari mengajakku
menjadi pemajunya. Pemilik pipi tembem yang selalu tersenyum masih tetap menyimpan
buku kenangan yang enam tahun lalu kuberikan dikampusnya, memadu janji diteluk
pampang melihat perahu nelayan mencari ikan, tanpa mengabaikan dua penari yang
tertidur di semenanjung sembulungan. Menunggunya mengajakku bergandengan tangan
menuju pelaminan, meskipun selalu diingat dua japri pertama yang kuabaikan
2 komentar:
Mantap yg lagi jatuh cinta,wk wk wk
Menjalani takdir
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar