BERTABUR RINDU
Oleh :
Uswatun Hasanah,M.Pd.I
Hari-hari
hanya bisa memandangi kalender.
Menghitung waktu yang tiada pernah menentu.
Hanya melakukan kegiatan yang monoton.
Aktivitas rumah selesai, lanjut
pada aktivitas rutin yang inti, yakni
memegang hp. Memainkan lentiknya jari
jemari. Membuka fitur WA, instagram dan
google drive untuk menulis dan mengirimkan tugas. Semua itu bukan tanpa sebab.
Galau, sedih, bosan dan jenuh dengan keadaan yang ada. Mau
apa, mau kemana serba semrawut. Campur
aduk jadi satu.
Menunggu
siapa yang ditunggu. Menanti siapa juga yang dinanti. Mau diam saja, nyatanya bekerja. Mau bekerja nyatanya butuh
teman butuh rekan yang bisa membantu kerjanya. Mau pergi kemana, nyatanya masih ada tugas yang harus
diselesaikan. Banyak bertanya, banyak berharap, sedangkan tutorial tak jarang
masih mengalami kesulitan. Yang lebih dalam lagi mau menyelesaikan tugas
nyatanya tidak ada petunjuk yang pasti. Jadi Serba salah. Kepastian yang diharapkan tak juga datang. Tarik ulur kebijakan semakin membuat hati tak
karuan.
Berada
di rumah saja. Bekerja dari rumah saja. Beribadah dari rumah saja. Tapi ketika harus memenuhi kebutuhan hidup,
barangnya tidak tersedia di rumah. Barangnya ada di toko, di pasar dan bahkan di tempat kerja atau di
tempat lain yang jauh dari jangkauan. Ada saran bisa online. Tapi tak semua yang dibutuhkan tersedia
jaring online nya. Sungguh membingungkan. Ibarat kata pepatah. Bagai makan buah
simalakama.
Sebagai seorang guru. Yang tempat
kerjanya di sekolah lengkap beserta suasananya.
Ada gedung sekolah, rekan sesama guru,
ruang kelas dan yang paling utama adalah para muridnya sebagai peserta
didiknya. Semua disuruh
menghilangkan. Menggantinya dengan
tatanan baru. Semua harus dilakukan di rumah. Meski menurut para ilmuwan ini
merupakan era milenial. Jaman modern.
Era 4.0 bahkan era digital. Guru
mengajar bisa menggunakan teknologi yang serba canggih. Tak perlu tatap
muka. Cukup menggunakan android. Guru
cukup berada di rumah, sudah bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran Virtual istilahnya. Tapi
hal itu masih tetap dirasakan berbeda.
Sungguh tidaklah sama.
Kadang
terlintas di benak. Apa karena ini sebagai akibat dari belum biasa. Atau karena belum bisa mengubah mindset dari pelaku dunia pendidikan
saat ini. Sehingga masih senantiasa
berpikir secara konvensional. Yang beranggapan bahwa Kegiatan pembelajaran itu
identik dengan kegiatan tatap muka di kelas. Atau memang mayoritas orang yang
belum siap dengan perubahan era ini.
Diakui
atau tidak. Keadaan ini tak dapat disangkal. Membuat kita semua merindukan
suasana indahnya kebersamaan. Dimana ada ada tawa canda para murid. Tangis
gurau dan keriuhan yang khas. Bersalaman
saat berjumpa, sekadar menepuk pundak untuk memberikan penguatan. Ungkapan
bahasa tubuh yang spontanitas. Yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Meskipun harus menggunakan majas personifikasi ataupun hiperbola
sekalipun. Jujur kerinduan mendalam tak
tersampaikan. Tak bisa digantikan. Walau sudah bisa menelpon ataupun
melakukan video call ataupun google meet.
Tapi rasa puas ketika tatap muka dengan menikmati tanya jawab sembari ada
kekonyolan dari beberapa siswa dengan ulah jail dan nakalnya. Itulah yang tak bisa dirasakan ketika
melakukan kegiatan virtual atau google meet.
Sekarang
dalam keadaan yang serba dibatasi. Semua
itu hanya menjadi sebuah cerita yang beraneka ragam sudut pandangnya. Guru -
murid merindukan suasana sekolah. Orang dalam perantauan rindu kampung halaman.
Anak merindukan orang tua begitu juga sebaliknya. Yang lebih tragis lagi seorang
pecinta merindukan kehadiran kekasihnya. Keterbatasan ruang dan gerak serba
menjadi penghalang. Namun pada intinya
semua orang sepakat bahwa kehadiran nyata adalah hal segala-galanya.
Tak
jarang dijumpai dalam media sosial. Rintihan kekalutan hati sang murid yang
mendambakan bisa masuk sekolah seperti semula. Bisa bertemu dengan
gurunya, bisa mendapatkan pujian saat
memperoleh nilai bagus, bisa bertemu
teman-temannya, bermain bersama, membeli
jajanan bersama di kantin sekolah. Dan masih banyak lagi aktivitas lain yang
ingin dilakukan. Di sisi lain curhat manja dari para wali murid yang memiliki
putra putri masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka merasakan begitu beratnya beban hidup
yang ditanggung. Selain harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari masih harus mengajari putra putrinya dalam mengerjakan tugas dari
sekolahnya. Masih ditambah lagi dengan permasalahan krisis kepercayaan yang
dialami. Betapa tidak, tidak jarang para putra putri sendiri di rumah ketika
diajari mengerjakan tugas. Mereka mempertanyakan kebenaran jawaban yang
diajarkan oleh orang tua. Para putra putri kita percayanya lebih besar kepada
bapak dan ibu guru di sekolah. Jadi ketika orang tua yang mengajarinya, mereka tidak percaya meskipun tak jarang
orang tuanya juga berprofesi sebagai guru. Bagi mayoritas anak, pelajaran yang paling manjur adalah pelajaran
yang disampaikan oleh bapak/ibu gurunya di sekolah.
Kalau mengingat hal itu semua, harus
berapa lama lagi semua ini akan berakhir?
Haruskah kita mengorbankan segalanya? Materi, waktu, fisik dan psikis
kita semua. Yang tak kalah pentingnya yang harus jadi pemikiran bersama, yaitu
generasi penerus bangsa ini. Haruskah mereka menjadi korban? Di masa yang
seperti ini, yang menjadi harapan kita
semua adalah Pandemi segera berakhir. Berakhir dan tak akan pernah terulang
lagi.
Oleh : Uswatun
Hasanah,M.Pd.I
Kepala MIS Miftahul
Huda Yosomulyo
E-Mail : agushasansyahputra@gmail.com
No. WA :
081231534111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar