Penerapan tes kesehatan bagi calon mempelai
secara lengkap yang dilaksanakan di beberapa daerah, mendapat reaksi beragam dari elemen
masyarakat, kelompok yang menolak tes urine tersebut dianggap pemerintah
terlalu jauh masuk kedalam hak privasi publik, mereka beralasan bahwa menikah
dan memperoleh keturunan merupakan hak azasi, karenanya dengan adanya tes urine
tersebut dianggap membatasi hak azasi manusia yang ingin menikah dan
mengembangkan keturunan.
Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana perundang
undangan tersebut memang tidak secara tegas mengatur tentang masalah kesehatan
ini, karenanya beberapa pihak menganggap bahwa tes kesehatan bagi calon
mempelai bukanlah merupakan kewajiban, namun dianggap anjuran saja, terlebih
beberapa aturan tentang kesehatan bagi calon mempelai ini diatur dalam peraturan
daerah (perda), sehingga dianggap tidak mengikat untuk diikuti. Meski demikian
sebenarnya beberapa perundang undangan meskiopun tidak bersentuhan langsung
dengan pencatatan perkawinan, memungkinkan diterapkannya tes kesehatan secara
lengkap tersebut, walaupun berbadan sehat bukan merupakan salah satu persaratan
perkawinan.
Pasal 131 ayat
(2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa : Upaya
pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun. Karena mengetahui
tentang kesehatan bagi calon orang tua sebuah keniscayaan, hal ini sebagai
salah satu upaya untuk peningkatan mutu sumber daya manusia dan pencegahan
terhadap penyakit menular serta pencegahan dan rehabilitasi terhadap penyalah
gunaan narkoba. Begitu juga dengan upaya pendewasaan usia nikah dengan cara
perubahan atas pasal tentang usia minimal untuk menikah bagi seorang perempuan
dimana sebelumnya batas minimal untuk dapatnya menikah adalah 16 tahun.
Ada beberapa
hal terkait dengan tes urina yang dapat dilakukan bagi calon mempelai ini, Pertama
Tes Urine bagi calon mempelai perempuan atau biasa dikenal dengan istilah tes
kehamilan, hal ini dilakukan dengan dua tujuan yang berbeda yakni dari segi
kesehatan dimana dapat diketahui tentang kemungkinan kehamilan yang terjadi
sebelum dilaksanakannya perkawinan berkaitan dengan usia calon mempelai.
Selanjutnya dari segi hukum perkawinan itu sendiri dimana bagi perempuan yang
sedang hamil mempunyai konsekwensi hukum tentang sah tidaknya perkawinan yang
akan dilangsungkannya, hal ini juga terkait dengan hubungan nasab serta
hubungan perdata antara anak dari perempuan hamil sebelum perkawinan tersebut. Kedua,
Tes urine yang dilakukan kepada kedua calon mempelai untuk mengetahui apakah
yang bersangkutan bebas narkoba ataukah tidak.
Dalam ajaran agama Islam, secara tersurat
disebutkan sebagaimana dalam surat annisa ayat 9 bahwa manusia hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah. Karenanya pendewasaan usia perkawinan dan tes kesehatan
secara lengkap merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan dan
kwalitas dari generasi yang akan lahir dari akibat perkawinan tersebut,
meskipun demikian peraturan perundang undangan yang berlaku tidak melarang jika
dalam tes kesehatan tersebut calon mempelai dinyatakan kurang atau tidak sehat,
bahkan jiika dalam pemeriksaan yang bersangkutan positive terkena HIV/AIDS
maupun terkena narkoba.
Penyalahgunaan
penggunaan Narkoba di Indonesia semakin tinggi, karenanya pencegahan dan
rehabilitasi terhadap pengguna penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan, hal ini
mengingat dampak dari penyalahgunaan narkoba tersebut yang sangat merusak.
Meskipun hasil tes narkoba ini tidak menjadi penghalang dilangsungkannya
perkawinan jika hasil dari tes tersebut positif, setidaknya tes kesehatan
lengkap tersebut sebagai salah satu bentuk keterbukaan bagi kedua mempelai
untuk melangsungkan perrkawinan. Hal ini berkaitan denngan tujuan perkawinan sebagaimana
tersebut dalam Undang undang nomor 1 Tahun 1974
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir
maupun batin, karenanya tes kesehatan merupakan salah satu upaya agar kedua
calon mempelai mengetahui kesehatan masing masing pasangannya, sehingga mereka
akan lebih memahami tentang konsekwensi dari perkawinan yang akan dilakukannya.
Beberapa pihak
mengkhawatirkan dampak sosial dari tes urine yang diberlakukan bagi calon
mempelai ini, dimana ada kemungkinan pasangan yang akan melaksanakan perkawinan
mengurungkan niatnya setelah mengetahui kesehatan dan kondisi pasangannya,
namun pihak lainnya mendukung tes kesehatan ini dengan tujuan bahwa dilangsungkannya
perkawinan untuk tujuan selamanya, karenanya mengetahui kondisi kesehatan
pasangan merupakan keniscayaan. Disamping hal tersebut, pencegahan terhadap
penyakit menular dapat dilakukan dengan lebih baik jika masing masing pihak
mengetahui kesehatan pasangannya.
Pasal 47 UU No
29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyetakan bahwa rekam medis harus
dijaga kerahasiaannya, karenanya tes urine dan tes kesehatan yang dilakukan
terhadap calon mempelai ini harus dilakukan dengan komitmen bersama dari para
pihak yang berkepentingan, termasuk pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan
dan pencatatan perkawinan, sehingga dengan adanya tes kesehatan ini tidak menyebabkan
dijauhinya seseorang dari pergaulan masyarakat karena penyakit yang
dideritanya, atau dibukanya aib dari calon mempelai tersebut.
Pencegahan
terhadap penyalahgunaan Narkotika dapat dilakukan secara terpadu dari berbagai
elemen masyarakat, meskipun bebas dari narkoba bukan salah satu persaratan
pencatatan perkawinan, namun tes urine untuk mengetahui seseorang teerken
narkoba atau tidak, merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap meluasnya
pemakaian narkoba ini, setidaknya ada upaya untuk rehabilitasi bagi yang
positive narkoba dimana upaya ini didukung oleh pasangan dan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar