Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Legenda Buyut Oceng dan Watu Dodol

Legenda Buyut Oceng dan Watu Dodol


Hari sudah menjelang malam, Kang Dede ( panggilan Dr. Dede Burhanudin, Peneliti Litbang) seperti nggak ada capeknya, kami terus menelusuri pantai selat Bali, Patung Gandrung berdiri kokoh diatas tumpukan batu hitam yang tersusun apik secara alami. Gundukan batu tersebut masih tetap seperti yang dulu dimana lebih dari 20 tahun cerita Indah sering saya pentaskan disitu. Baik cinta, kesetiaan maupun persahabatan. Bersama dengan teman teman Aliyah saya juga pernah menjadi saksi betapa kokohnya gundukan batu itu dimana ribuan tahun tetap pada dimensi yang sama.
Masih tersimpan foto dimana saat itu kami masih belasan tahun, bermandi air asin, bersenda bersama tanpa beban. Kami berjalan beberapa kilometer untuk sampai ketempat ini, menyusuri pantai sambil ngobrol bercerita tentang banyak hal. Masih kuingat ketika saya dan Witri memisahkan diri dari rombongan, sengaja kami berdua berjalan agak lambat sehingga agak jauh dengan rombongan. Kami duduk berdua memandang Pulau Bali, didepan kami ombak selat Bali beriak nyaris tak terdengar. Pulau Bali terlihat Jelas yang menandakan selat tersebut tidak terlalu lebar. Arus laut bergantian dari utara keselatan ataupun sebaliknya. Air tenang tersebut sebenarnya sangat membahayakan, karena pertemuan dua arus yang berbeda membuat arus berputar. Sudah beberapa orang yang menjadi korban keganasan arus yang terlihat tenang tersebut.
Saya masih bersama Witri, perempuan berambut Ikal yang terlihat lebih manis bila tersenyum ini lebih banyak bercerita. Kami duduk dibawah batu yang menjulang kurang lebih 8 Meter, orang orang menyebutnya dengan Nama Watu Dodol. Ada mata air yang keluar dari bawah batu yang juga sebagai pembatas antara jalan raya dengan pantai tersebut. Witri membasuh mukanya dengan air bening dari bawah batu tersebut. Pipinya terlihat lebih ranum, bibir mungilnya terlihat lebih mempesona, namun tetap saja saya tidak berani menyampaikan kata cinta.

Hari ini air dibawah watu dodol tersebut sudah tidak ada lagi, sudah tergerus dengan sejarah baru dimana tempat aku duduk berdua dengan Witri sudah menjadi Jalan Raya, Watu dodol tersebut bukan lagi sebagai pembatas antara jalan raya dengan bibir pantai, namun menjadi pembatas dua lajur jalan searah. Kang Dede duduk memandang batu tegar didepannya, bercengkerama dengan Juru Kunci Watu Dodol (Sayiat) yang sudah berdinas sejak Bupati Turiyono Purnomo Sidik. Usianya yang sudah sepuh tidak menyurutkan semangat juru kunci tersebut untuk membersihkan batu besar yang konon tidak dapat dipindahkan tersebut.
Konon Watu Dodol tersebut adalah peninggalan Buyut Oceng, dimana beliau adalah pedagang Dodol (Jenang) yang memperdagangkan dodolnya ke Pulau Bali, dimana saat itu dagangannya dipikul dengan pikulan bambu yang menurut istilah jawa lebih  popoler dengan istilah engkek. Jalanan masih berbatu, karenanya Buyut Oceng yang mempunyai Ilmu linuwih tersebut harus menyusuti jalanan sulit tersebut, dan ketika sampai di daerah dipinggir pantai, pikulan atau ongkek Buyut Oceng Patah, maka jatuhlah dodol yang dibawanya, dan dengan rasa kecewa Buyut Oceng mengatakan “dadio watu baen wes dodol iki” dan terjadilan doa dari Buyut oceng tersebut dimana dodol yang satu Pikul menjadi Batu yang menjulang, dan satu pikulan yang lain dimakan sebagian sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali.
Juru Kunci yang masih terlihat tegar seperti tegarnya Watu Dodol tersebut masih bercerita bahwa ketika berada di Pulau Bali tepatnya di Singaraja, dodol ki Buyut Oceng masih tersisa, dan ki Buyut Oceng juga meninggalkan dodol tersebut di sana, dan nasib dodol tersebut juga sama, yakni menjadi batu, namun batu yang di singaraja lebih kecil dibandingkan dengan yang di Watu dodol, maklumlah sebagian sudah menjadi bekal perjalanan ki BuyutOceng.  Kang Dede mengamati Watu dodol, tubuhnya yang kecil nyaris tak terlihat ketika melongok kebawah dimana watu dodol tersebut sepertinya tidak tertanam dalam tanah, sepertinya hanya berdidi diatas batu dibawahnya. Sementara Erlan, rekan Kang Dede sibuk mengambil beberapa foto dari kameranya. Dia menjepretkan kamera menunggu ada mobil melintas agar lampun sorot mobil tersebut membanntu penyinaran obyek.
Konon Watu Dodol tersebut pada zaman Belanda pernah ditarik dengan Kapal laut untuk diceburkan ke laut, atau setidak tidaknya dapat digeser agar tidak menghalangi proyek jalan Anyer Panarukan sampai Banyuwangi. Menurut sang juru kunci dimana dia dapat cerita dari leluhurnya, bahwa Watu dodol tersebut pada Jam Lima sore berhasil ditarik dengan Kapal dan Watu Dodol tersebut rubuh, namun keesoka harinya sekitar jam lima pagi ketika para pekerja ingin meneruskan pekerjaannya, watu dodol tersebut terlihat berdiri lagi dengan kokok ditempatnya. Begitu juga pada zaman Jepang dimana pemerintah Jepang pada waktu itu juga ingin memindahkan watu dodol tersebut dengan cara yang sama pada zaman Belanda, yakni ditarik dengan Kapal, namun juga tidak berhasil, Batu tersebut tetap kokoh tidak bergeser, rantai yang digunakan untuk menarik batu tersebut putus yang mengakibatkan kapal penarik tenggelam. Watu Dodol memiliki bentuk yang unik, bagian atasnya lebih besar daripada dasarnya, namun kokoh berdiri selama ratusan tahun. Dulu daya tarik Watu Dodol karena keangkerannya, namun seiring dengan perkembangan zaman, Watu Dodol kini menjadi asri dan tidak terlihat angker lagi, termasuk dibagunnya patung selamat datang berbentuk patung Gandrung diatas batu yang kokok yang tak lekang diterjang ombak. Menurut Juru Kunci , jika membicarakan tentang keangkeran dan tempat paling angker di Watu Dodol, kalau mau angker harus naik ke bukit, di sisi Barat  dan disana terdapat makam tua Syekh Maulana Ishak dan Putri Sekardadu dari Kerajaan Blambangan dulu yang dikeramatkan, sehingga sering digunakan tempat bertapa.


Juru kunci watu dodol terus bercerita tentang perkembangan watu dodol, dimana dulu dibawah watu dodol tersebut ada mata air, disebelahnya ada Pura dan tempat Ibadah kecil, banyak orang orang dari berbagai agama yang dating ke watu dodol, melakukan ritual menurut keyakinannya.
 
 
 
 
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog