Siang
itu sebagaimana biasa, saya memesan segelas kopi dengan sedikit gula di warung
B. Dian, kebetulan saya juga janjian dengan B. Ida, Kepala Sekolah yang sedang
galau, problem siswanya karena perebutan hak asuh orang tua. B. Ida takut
mengambil langkah, karena dia merasa tidak memahami aturan tentang hak asuh
anak jika kedua orang tuanya bercerai. Terlebih B Guru cantik ini belum juga
menikah, dan baru kali ini dia terbenturkan dengan kasus seperti ini.
Saya
masih membaca koran tentang Guru yang dilaporkan polisi karena cukur
paksa yang dilakukannya dari siswa yang dianggap melanggar aturan
sekolah, sementara B Ida memesan segelas teh untuk menemani beberapa gorengan
yang tersaji. Saya belum melihat senyum B. Ida siang itu, tak seperti
sebelumnya dimana B guru cantik ini mengawali pertemuan dengan senyum khasnya. Berita
tentang guru yang dilaporkan ke polisi karena cukur paksa menambah
berat beban para guru untuk melangkah dan menegakkan disiplin para guru, dimana
dulu merupakan hal yang biasa dimana bagi siswa gondrong akan diberikan
peringatan segera mencukur dengan rapi, dan jika bandel keesokan harinya akan
diberi hadiah dipotong sendiri oleh gurunya, dengan potongan seadanya.
Beberapa
bulan yang lalu saya harus mengantarkan anak dari adik perempuan saya yang
melarikan diri dari pesantren karena mendapatkan hukuman cukur gundul. Kami mengantar
anak dari adik perempuan saya tersebut dan menyerahkan kepada Ustad untuk cukur
gundul. Kami tidak minta dispensasi apapun atas hukuman tersebut, meskipun saya
sudah akrab dengan pengasuh pesantren, meskipun adik perempuan saya juga salah
satu Ustadzah di pesantren tersebut, karena jika saya meminta dispensasi dan
dikabulkan, maka akan merusak tatanan dalam pesantren, juga berdampak kurang
baik bagi perkembangan kemandirian anak.
Undang
undang perlindungan anak sering menjerat para guru yang berusaha menegakkan
disiplin bagi peserta didiknya, karenanya pemahaman terhadap undang undang ini
sangat diperlukan pagi guru dan tenaga kependidikan, sehingga dalam menegakan
didiplin bagi para siswanya. Guru tidak melanggar perundang undangan tentang
perlindungan anak tersebut, termasuk hak asuh seorang anak, dimana dalam kasus
seorang anak tidak dalam asuhan atau perwalian kedua orang tua, seorang guru
harus lebih hati hati untuk menyerahkan tanggung jawab yang berkaaitan dengan
administrasi kependidikan.
Saya
memahami rasa galau yang dialami B. Ida, karena dia blas sama sekali belum
pernah membaca tentang undang undang perlindungan anak, dia juga tidak berani
memberikan rekomendasi pindah sekolah atas permintaan Ibu dari peserta didiknya
dimana dulu ayah kandungnya yang memasukkan ke sekolahnya, dan sekarang Ibu
Kandungnya yang menginginkan anaknya pindah sekolah, dengan alasan anak yang
belum berumur 12 tahun adalah hak asuh ibunya, sebagaimana diatur dalam pasal
105 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B.
Ida juga menyampaikan bahwa selain permohonan dari Ibu Kandungnya, sekolah yang
mau dituju juga telah memberikan surat bahwa sekolahnya siap menerima siswa
kelas enam tersebut, bahkan beberapa hari ini anak tersebut tekah masuk ke
sekolah yang baru, dimana sekolah yang baru lebih dekat dengan rumah Ibunya.
Saya
menjelaskan permasalahan hukum dari problem yang dihadapinya, seteguk kopi
terasa lebih manis dari sebelumnya, mungkin beum teraduk dengsan sempurna, atau
mungkin karena senyum B Ida ketika meneguk sedikit teh ditangannya. Mungkin dia
merasa lega dengan jawaban saya, karena ibu dari siswa yang mau pindah tersebut
pandai menyampaikan berbagai argumen dimana bisa menjebak secara hukum bahkan
bisa berujung pidana jika tidak berhati hati mensikapinya.
Dalam
hal kasus perceraian, untuk menentukan hak perwalian dari seorang siswa, dapat
dilihat dari Bukti Formil yang dimilikinya, karenanya pemeriksaan dokumen
ketika penerimaan peserta didik baru pada pendidikan dasar formal sangat
penting agar tidak terjadi masalah hukum. Meskipun perundang undangan
menyerahkan hak perwalian bagi anak usia dibawah 12 tahun kepada Ibunya dan
keluarga Ibunya, namun pada kasus tertentu berdasarkan putusan pengadilan, bisa
jadi hak perwalian tersebut jatuh ketangan ayah kandungnya, karenanya dalam
kasus perebutan hak perwalian pada siswa jika tidak ada kesepakatan, harus dibuktikan dengan legalitas formal yang
dimiliki kedua orang tua, dimana legalitas tersebut disamping dapat dilihat
dari Kartu Keluarga yang dimilikinya, juga pada sallinan putusan pengadilan
ketika perceraian berlangsung.
Undang
uindang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana juga telah
dirubah dengan Undang undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur tentang perlindungan
anak dimana dalam undang undang ini pada intinya seorang anak yang definisinya
adalah yang berusia dibawah 18 tahun, harus dilindungi secara khusus, dimana
tidak diperkenankan adanya kekerasan baik fisik maupun mental, baik oleh orang
tuanya maupung lingkungannya. Dalam Undang undang ini juga diatur mengenai hak
asuh seorang dimana dalam kondisi tertentu Hak asuh seorang anak bisa jadi
dicabut dari kedua orang tuanya, atau diberikan kepada saya satu orang tuanya
dengan putusan pengadilan. Karenanya kelengkapan administrasi pendidikan dalam
penerimaan peserta didik sangat diperlukan baik peserta didik baru maupun
pindahan, hal ini untuk menghindari konflik kepentingan ketika hak asuh anak
ada pada salah satu kedua orang tua akibat dari perceraian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar