Kata
orang Jawa, aku dan anak lelakiku dilahirkan dengan weton yang sama yakni
Minggu Pahing, aku sendiri tidak tahu
darimana perhitungan neton berdasarkan hari pasaran ini dimana ada tujuh hari
dan lima pasaran. Dimana weton Minggu adalah 5 sedangkan Pahing 9, jadi jika
dijumlahkan ada 14. Aku tidak mengerti maksud hitungan tersebut, katanya
semakin tinggi hitungan weton semakin baik, aku tidak mempercayai sepenuhnya
dengan hitungan seperti ini, namun faktanya banyak orang yang mempercayainnya. Tidak
salah jika beberapa orang dengan perkembangan tehnologi melakukan rekayasa agar
dapat melahirkan anaknya pada hitungan hari yang menurutnya baik. Aku tidak
tahu apakah melahirkan dengan rekayasa ini juga masih berpengaruh dengan
hitungan weton dan hari baik tersebut.
Aku hanya
menghamparkan doa agar anak pertamaku laki-laki, dan Alhamdulillah doaku
dikabulkan ketika menjelang subuh anak lelakiku lahir, kulitnya putih, kata
orang mirip denganku ketika waktu kecil. Lahirnyapun pada hari minggu dimana
aku sedang libur sehingga aku dapat menungguinya detik detik dia untuk pertama
kalinya menikmati udara dunia. Sudah saya siapkan nama untuknya sebelum dia
dilahirkan, meskipun beberapa bulan sebelumnya pernah aku periksakan ketika
masih dalam kandungan untuk mengetahui jebbis kelaminnya, namun aku masih
mempersiapkan nama untuk laki laki dan perempuan untuk anak pertamaku. Karena aku
tidak mau mendahului takdir. Aku tahu bahwa alat tehnologi sudah canggih,
perkembangan pengetahuan terus berkembang. Kita dapat mengupayakan untuk
mendapatkan anak laki laki maupun perempuan, dunia kedokteran bisa memprediksi
anak dalam kandungan akan lahir laki laki ataukah perempuan. Namun aku harus
mempersiapkan dan menerima segalanya, karenanya meskipun doa dan keinginanku
adalah anak laki laki, hasil pemeriksaan juga laki laki, namun selain nama laki
laki, aku juga mempersiapkan nama perempuan.
Aku menyadari
bahwa karakter anakku tidak jauh berbeda denganku, karenanya aku
memperlakukannya sebagaimana aku ingin diperlakukan. Ketika kecil seringkali
ketika aku menanyakan sesuatu padanya, aku mmendapatkan jawaban yang tidak saya
duga sebelumnya. Menurut bapakku, aku dulu juga seperti itu, ketika kecil
pinter diplomasi ala jendral kancil. Aku tidak mau menjadikan dia sebagai edisi
kedua dariku, aku membiarkan dia tumbuh dan berkembang sesuai dengan
liminasinya, karena bagaimanapun miripnya aku dengannya, atau miripnya dia
denganku, namun sidik jarinya tetaplah berbeda, dan Tuhan memang membuat sidik
jari yang berbeda dari milyaran manusia yang hidup di Bumi.
Anakkku
tidak menonjol saat sekolah, kecuali dia dianggap jajaran laki laki ganteng di
sekolahnya, sama dengan bapaknya. Kemampuan akademik tidaklah menonjol meskipun
tidak terlalu rendah. Ketika anakku duduk di bangku MTs, aku selalu duduk paling
belakang ketika rapat wali murid untuk penerimaan raport. Dan memang biasanya
aku dipanggil paling akhir atau mendekati akhir dalam penerimaan raport
tersebut, karena penerimaan raport berdasarkan peringkat dalam kelas. Dan beberapa
kali aku harus pulang paling akhir ketika penerimaan raport tersebut. Aku hanya
tersenyum ketika wali kelas atau pembimbing akademik menitipkan salam agar aku
menasehati anakku agar belajar lebih giat lagi. Biasanya aku hanya tersenyum
tanpa berkomentar, karena menurutku sekolah bukan hanya untuk mendapatkan
deretan nilai nilai bagus, namun sekolah untuk mengembangan diri. Aku tidak
melarang anakku aktif di kegiatan Intra mauoun ekstra sekolah, karena hal
tersebut meskipun mengakibatkan nilai akademiknya turun, namun ada pengalaman
lain yang akan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya.
Anakku
remaja ketika aku sudah dewasa, dan ketika aku remaja, anakku belum ada. Karenanya
kami adalah generasi yang berbeda, meskipun sama gantengnya, kalaupun anakku
lebih ganteng dariku, juga harus disadari bahwa gizi anak sekarang lebih baik
dari generasi sebelumnya dimana dulu sebuah telur dadar harus dibagi lima agar
cukup untuk satu keluarga. Begitulah nasib kita dimana dulu kita tidak dapat
makan enak karena kondisi orang tua yang masih kekurangan, dan ketika kita
sudah berumah tangga, kita harus berhemat agar dapat memberikan gizi yang cukup
untuk anak anak nan nantinya ketika anak anak kita sudah dapat hidup mandiri,
ketika kita bisa membeli makanan enak, mungkin kesehatan kita yang menghalangi
kita untuk makan enak.
Aku
memberikan kebebasan anakku untuk memeilih tempat menuntuk ilmu selepas MTs,
karena itulah janjiku dulu, memberikan kebebasan kepadanya untuk menentukan
pilihaan SLTA maupun perguruan tinggi. Karenanya aku mengiyakan saja ketika
anakku ingin ke SMAN tertua di Kabupaten Banyuwangi. Aku berharap mungkin
dengan sekolah pada pilihannya sendiri, dia akan lebih giat belajar, namun
begitulah yang terjadi, suatu hari anakku bercerita bahwa dia dan teamnya menang
dalam pertandingan tingkat Kabupaten, aku tersenyum padanya, mungkin seumur
hidup baru kali ini aku mendengar kabar bahagia tersebut, dalam hati aku
bertanya pertandingan akademik apa yang dimenangkan anak lelakiku tersebut. Dan
aku masih tetap bangga ketika anakku menyampaikan bahwa pertandingan yang
diikutinya adalah pertandingan Game Online, atau mungkin yang sekarang disebut
e-Spot.
Mengenai
peringkat akademik, masih tetap seperti pada jenjang sebelumnya, mendekati
peringkat akhir, syukur bukan peringkat terakhir seperti pada jenjang
sebelumnya. Aku juga tidak marah, tidak juga menasehati anak lelakiku untuk
meninggalkan kebiasaannya main game, aku hanya nerpesan padanya bagaimana
caranya dia bisa diterima di PTN. Bagiku masa anak anak atau remaja adalah
dunia permainan, karenanya jika kita menjauhkan anak anak dari permainan, mana
kita menjauhkan dia dari dunianya.
Masih
kuingat ketika dia minta izin untuk pindah dari Fakultas Syariah UIN malang
dengan alasan dia tidak bisa membaca kitab kuning, aku mengizinkannya karena
sekarang aku juga nggak bisa membaca kitab tanpa harokat tersebut. Dia masuk
UIN Malang juga bukan sepenuhnya kehendaknya, ketika itu dia diterima di
Fakultas Tahnik Sipil sebuah PTN dan juga diterima di UIN Malang, dan ketika
anak lelakiku menyerahkan pilihannya padaku untuk memilihkannya, aku memilihnya
untuk belajar di UIN Malang, meskipun aku tahu bahwa dia akan berat kuliah
disana, maklumlah dia dari SMA. Aku tahu betapa sulitnya bagi lulusan SMA
jurusan IPA untuk belajar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits maupun membaca kitab kuning.
Saat itu aku tidak memberitahukannya bahwa di Fakultas Syariah nantinya seperti
itu, karena aku yang mendaftarkannya di UIN, anakku baru aku beritahu sehari
sebelum tes.
Aku
menangis ketika bersimpuh Di Raudloh Masjid Nabawi, anakku Pantukir di IPDN,
dia berangkat sehari setelah aku berangkat Tugas di Saudi Arabia memandu jamaah
haji, aku hanya bersimbah doa untuk anak lelakiku yang berjuang meraih cita
citanya, dia hanya ingin lebih baik dari ayahnya, meskipun terbukti dia lebih
ganteng dari ayahnya. Aku tidak sanggup membayangkan jika dia harus gagal dari
pantukir sedangkan ayahnya tidak berada dirumah, bagaimana kecewanya dia jika
harus gagal, sementara dua PTN yang ditinggalkannya belum tentu mau menerimanya
kembali. Aku sangat bahagia ketika berada di Kota makkah, aku melihat
pengumuman bahwa anakku yang selama ini berada di peringkat di sekolahnya, dapat
diterima sebagai praja IPDN.(Jumat, 20-09-2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar