Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » MENGENAL LEBIH DEKAT PAROKI MARIA RATU PARA RASUL BANYUWANGI

MENGENAL LEBIH DEKAT PAROKI MARIA RATU PARA RASUL BANYUWANGI


Curahjati merupakan dusun kecil di desa Grajagan yang terletak di ujung tenggara Pulau Jawa, dan masuk wilayah Kabupaten Banyuwangi.Berdasarkan SK Keuskupan, Paroki Curahjati resmi sebagai paroki sejak 01 Agustus 1956. Namun memang jauh sebelumnya, Paroki ini telah melalui sejarah yang panjang.Pada tahun 1924, para misionaris pertama dalam diri Romo Linus Henkens dan Romo Gias Wouters, merasa perlu untuk mendirikan Gereja Kecil di Pojok Timur dari Pulau Jawa sebagai tempat persemaian Kabar Gembira.Mereka merasa bahwa tempat tersebut adalah tempat yang dipilih Tuhan, dimana dari tempat tersebut nantinya akan menghasilkan buah-buah keselamatan. Dan dalam kenyataannya memang demikian adanya.Dari tempat ini telah menghasilkan tunas-tunas Gereja yang menyebar ke seluruh Nusantara sampai ke Ujung Timur.Karena semangat kerja kerasnya, mereka benar-benar telah mengalami hidup sejahtera disana.Mereka sukses menjadi petani-petani yang kaya dan maju.
Pada tanggal 06 Mei 1933, berdirilah Gereja di daerah Glagah Agung,Dusun Karetan. Selama berada di Glagah Agung, wilayah ini masih menjadi stasi dari Paroki Santo Yusuf Jember.Selama berada di wilayah tersebut, pernah dibuka Sekolah Rakyat Katolik (SRK) yang konon hancur pada masa pendudukan Jepang.
Namun ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Karena adanya perubahan perencanaan yang dilaksanakan oleh Dinas Perhutani, maka terpaksa Gereja di Galagah Agung ini dipindahkan ke Desa Curahjati pada tahun 1945, seperti yang kita kenal saat ini. Penduduk serta segala yang ada disana juga harus pindah.Umat stasi Glagah Agung awalnya berasal dari orang-orang Jawa pindahan dari daerah Sukoreno, salah satu stasi Jember.Konon mereka adalah pendatang dari Kulon Progo, Kalibawang, Boro, Sendangsono – Jawa Tengah.Inilah sebabnya umat awal dari Gereja Curahjati terdiri dari berbagai macam suku.Sebagian dari tanah yang dulunya digunakan sebagai berdirinya Gereja di Glagah Agung sekarang menjadi SMPK Santo Agustinus, Glagah Agung, yang dikelolah oleh Yayasan Sang Timur. Sebagian lagi dijadikan hutan kembali setelah ditukar dengan tanah yang sekarang digunakan sebagai Susteran Sang Timur, TK dan SDK Sang Timur, serta pastoran Paroki Curahjati saat ini.
Dengan diresmikannya menjadi paroki Curahjati menjadi “induk” Gereja di wilayah antara Jember dan Banyuwangi yang meliputi Paroki Jajag, Paroki Genteng, stasi Kalibaru, Stasi Glenmore, dan lain-lain. Dapat dikatakan Curahjati merupakan cikal bakal Gereja di wilayah ini, karena Curahjatilah Gereja menyebar dan mengakar dan pada tahun 1970 berhasil meningkatkan wilayah Genteng dan sekitarnya menjadi paroki tersendiri.
Sejak ditetapkan sebagai paroki tersendiri, Paroki Curahjati memiliki wilayah yang cukup luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Banyuwangi Selatan. Batas wilayah Paroki Curahjati untuk sebelahUtara berbatasan dengan Kecamatan Rogojampi, untuk bagian Selatan berbatasan dengan Laut Selatan (Pantai Grajagan), sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Siliragung, sedangkan untuk bagian Timur berbatasan dengan Taman Nasional Alas Purwo.
Kini dalam perjalanannya yang panjang, Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul Curahjati telah menampakkan kedewasaannya dan dapat mensejajarkan diri dengan Gereja Paroki yang sudah lama berdiri.Hal ini terjadi karena sikap dan semangat dari umat yang selalu ingin maju untuk dapat membaharui diri.Semangat gotong royong, setia pada tradisi, tanggap, kreatif, dan memiliki orang-orang yang tangguh dalam menghadapi setiap situasi menjadi kekuatan tersendiri dalam diri Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul Curahjati.Semangat gotong royong ini nampak saat perayaan HUT Paroki atau perayaan hari besar keagamaan. Mereka berupaya memberikan persembahan yang terbaik dari apa yang mereka miliki dalam bentuk persembahan hasil panen, karena mata pencaharian sebagian umat dari Paroki ini adalah seorang Petani. Apabila saat mengadakan pesta, Paroki tidak perlu banyak mengeluarkan biaya lagi.Panggung disiapkan dengan aneka atraksi kesenian yang diusung dari stasi dan lingkungan atau anak-anak sekolah.Hal ini dapat dilihat pada saat Perayaan Panca Windu Paroki pada tahun 1996.Perayaan ini dihadiri kurang lebih 1000 umat, tanpa anggaran konsumsi.Kok bisa? Makanan disiapkan dan dibawa oleh masing-masing lingkungan dan stasi, lalu makan  bersama di tempat pesta. Makanan berlimpah sehingga tamu merasa puas dengan sajian yang telah dihidangkan.Suasana hangat dan kekeluargaan menjadi perhatian utama bagi umat Paroki Curahjati.
Perkembangan Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul Curahjati tidak luput juga karena peranan dari para gembala yang senantiasa berusaha untuk dapat memotivasi dan membangkitkan inovasi umat agar mampu berkembang kearah yang lebih baik. Para gembala yang telah bertugas di Paroki Curahjati berupaya untuk memupuk kesadaran iman akan pengharapan dan kasih Yesus. Keberhasilan para gembala ini dapat dilihat dari munculnya biarawan-biarawati (putera-puteri) Paroki Curahjati yang kini telah mengabdikan dirinya dalam hal pelayanan Gereja.
Paroki Curahjati memiliki tradisi yang masih dilestarikan sampai saat ini yakni Safari Patung Bunda Maria.Tradisi ini bermula sejak tahun 2006, untuk memperingati HUT Paroki yang ke 50 tahun.Safari patung Bunda Maria ini dianggap memiliki nilai positif yang dapat dipetik terutama berkaitan dengan keguyuban umat. Setiap tahunnya, safari patung Bunda Maria ini akan dilaksanakan setiap tanggal 31 Mei, dimulai setelah Misa penutupan bulan Maria yang diadakan di Gua Maria Jatiningrum. Patung Bunda Maria ini akan diarak keliling 7 stasi dan pusat paroki, sampai nantinya akan berakhir menjelang GUT Paroki di awal bulan Agustus. Umat dari masing-masing stasi akan melakukan devosi setiap malamnya pada saat patung Bunda Maria ditempatkan pada stasi mereka.
Patung Bunda Maria ini merupakan patung pertama yang diletakkan di Gua Maria Jatiningrum dan memiliki sejarah berdirinya Paroki Curahjati. Romo Borggreve, O.Carm sebagai Pastor pertama di Paroki Curahjati yang mendatangkan Patung BUnda Maria ini secara langsung dari Yogyakarta. Hingga saat ini, patung tersebut masih terawat dengan baik di ruang semedi Gua Maria Jatiningrum. Saat melihat patung tersebut pastinya umat akan teringat tentang sejarah perjuangan paroki Curahjati terutama sejarah pembangunan Gua Maria Jatiningrum, dimana mereka dulunya harus mengumpulkan batu-batu yang ada didekat sungai untuk dibentuk menjadi Gua Maria.
Saat prosesi safari Patung Bunda Maria ini, biasanya bukan hanya mobil pengantar yang dihias seperti kendaraan saat karnaval, akan tetapi biasanya umat dari masing-masing stasi yang melakukan prosesi perarakan patung akan berpakaian unik juga. Tergantung dari kreatifitas dari masing-masing stasi. Inilah yang menjadi tradisi tersendiri bagi umat parok Curahjati dalam melakukan ujud syukur mereka dalam menyongsong HUT Paroki sekaligus upaya untuk tetap menjaga kekompakan antar umat Paroki Curahjati.
Memasuki usia yang ke-63 Tahun, Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul Curahjati berupaya untuk dapat melestarikan budaya setempat. Semangat inkulturasi gereja katolik sesudah Konsili Vatikan II betul-betul membumi di Paroki Curahjati.Secara sosiokultural, sebagian besar umat Curahjati masih sangat taat dan ngugemi budaya nenek moyang leluhurnya.Budaya jawa telah melekat pada diri kebanyakan umat katolik Curahjati.Kenyataan seperti ini merupakan sarana baik bagi pewartaan.Budaya Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang dapat memperkokoh iman umat.Nilai-nilai yang mengandung unsur Kejawen sangat melekat kuat pada diri mereka, kendati mereka juga mengaku sebagai orang Katolik yang ajarannya sangat universal.
Ajaran Sosial Gereja yang bertentangan dengan nilai-nilai budayasetempat memang tidak direaksi tetapi juga tidak dijalankan.Maka dibutuhkan suatu metode pendekatan yang lebih berorientasi pada budaya untuk mewartakan ajaran kebenaran.Pada kurun waktu 1996-2000, Rm. Hugo Susdianto, O.Carm, dengan peralatan yang sederhana berupaya  mengumpulkan dan mengorganisir beberapa umat yang cinta dnegan kesenian jedor, lalu memasukkan grup jedor Katolik “Slaka Cupu Rohani” ke dalam misa. Dan ternyata hal ini dapat diterima oleh umat.Mereka menikmati percampuran antara nilai kebudayaan dengan tata liturgi gereja. Pada tahun 1999, Gereja Paroki pernah menyelenggarakan festival jedor dengan kelompok jedor “Kuntulan” dari umat Islam di Kecamatan Purwoharjo.
Rm. Yustinus Slamet Riyadi, O.Carm yang sudah sejak awal dikenal sebagai seorang dalang yang rohaniawan, pada tahun 2001-2006 sering menggelar peristiwa budaya, utamanya Pagelaran Wayang Kulit dan Karawitan di Lingkungan Gereja Katolik. Umat yang selama itu tidak pernah melibatkan diri dalam kehidupan menggereja, mulai sering datang ke pastoran untuk latihan Karawitan di Sanggar Seni Bodronoyo.Semakin hari semakin meningkat ketertarikan umat dalam kesenian di gereja dan tanpa mereka sadari mereka mulai aktif dalam kegiatan menggereja.Mereka mengajak teman-temannya yang non Katolik untuk berlatih bersama, berinteraksi, dan akhirnya membentuk paguyuban di bawah naungan Gereja Katolik.Disitulah karya pewartaan mulai bisa disentuh sedikit demi sedikit.
Wayang Kulit, Wayang Wahyu, gamelan, alat music campursari sudah tersedia dan terawatt dengan baik, akan tetapi tidak akan lengkap bila hanya digunakan sebagai sarana hiburan. Lagi-lagi Rm. Yus menggelar peristiwa Ruwatan secara Katolik, meski sangat kontroversional, menggabungkannya dengan dunia pewayangan.
Dari tahun ke tahun, permintaan ruwatan, baik dari kalangan umat atau non umat, dalam paroki maupun luar paroki Curahjati makin meningkat.Wayang dengan dalang dan penabuh gamelan lokal juga terlibat dalam ruwatan.Sehingga dalam setiap peristiwa Ruwatan dan pagelaran Wayang, Romo memasukkan nilai-nilai Katolisitas.
Bagaimanapun, bisa dilihat bahwa orang mulai mencintai Gereja, dalam hal ini ajaran Yesus sendiri melalui pintu budaya.Pedekatan melalui Budaya wayang dirasa lebih manjur untuk memobilisasi maupun meningkatkan minat dan kepedulian terhadap gereja.Budaya adalah universal.Maka melalui budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat, Yesus diwartakan kepada semua orang.
Gereja Katolik memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi umat untuk mengembangkan budaya-budaya yang ada di lingkungan atau wilayah Paroki Curahjati.Semua ini dipakai sebagai sarana inkulturasi (memasukan unsur-unsur budaya setempat kedalam tata liturgi). Tidak hanya terpaku dengan kebudayaan jawa saja, namun Paroki Curahjati berupaya untuk dapat melihat nilai-nilai budaya lain yang kiranya masih dapat disatukan dengan tata liturgi gereja. Salah satunya adalah Seni Janger.Karena letak Kabupaten Banyuwangi berdekatan dengan Bali, budayanya pun tidaklah jauh berbeda.Demikian juga dengan kesenian yang dimiliki.
Kesenian Janger yang pada dasarnya merupakan salah satu kesenian dari Pulau Dewata mulai, mulai diperkenalkan di Paroki Curahjati.Kesenian ini mulai dikenalkan sebagai bagian dalam tata liturgy Gereja sejak tahun 2002.Salah seorang umat Paroki Curahjati menanggapi hal ini dengan positif.Beliau adalah Bapak Sarkam, yang mendukung masuknya budaya ini dengan alat musik Janger yang dimilikinya.Karena dianggap dengan masuknya seni janger (dalam segi musiknya) ini dapat memperkaya warna musik liturgi, maka mereka mulai mengembangkan dan dimanfaatkan pula sebagai musik pengiring liturgi Gereja.Musik Janger ini pada umumnya menggunakan lagu-lagu dari buku “Madah bakti” atau juga “Kidung Adi” yang berselaras pelog sehingga tidak sulit untuk disesuaikan dengan iringan Janger ini.Pemusik seni Janger ini sebagian besar juga merupakan pemusik seni Jedor.Seperti halnya para pemusik Jedor, para pemusik Janger ini pun melibatkan mereka yang non Katolik seperti Islam dan Hindu.Hal ini merupakan hal positif yang patut dibanggakan.
Dengan mengembangkan seni ini dalam liturgi Gereja, kita bukan saja mengembangkan seninya melainkan juga mengembangkan relasi harmonis dan persaudaraan yang menyatukan dengan umat beragama non Katolik.Umat Katolik Paroki Curahjati hidup di tengah mayoritas Islam dan juga Hindu.Keadaan seperti ini menjadi tantangan sekaligus peluang.Tantanganya adalah bagaimana umat paroki dapat menyesuaikan diri dalam hal mengembangkan kerukunan anatar umat beragama dan dapat menjalin relasi yang baik dengan orang sekitar. Dan peluang yang dapat diambil adalah dengan adanya perbedaan tersebut menjadikan umat paroki mau untuk belajar akan nilai-nilai dan kebuadayaan yang ada disekitarnya. Pewartaan iman tumbuh berkembang secara tidak langsung. Inilah gambaran Gereja ramah lingkungan melalui dialog budaya.


Sumber:
Buku 50 Tahun Paroki Curahjati “Kesaksian Gereja Pendoa Yang Ramah Lingkungan” Gereja Maria Ratu Para Rasul Curahjati, 2006
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog