Sore Itu Tim Peneliti Khazanah
Keagamaan dari Litbang Kementerian Agama yang dipimpin Dr. Dede Burhanuddin
bersilaturakhmi ke lingkungan Makam Den Daris, bersama dua rekannya Kang Dede
Ngobrol dengan Ketua Takmir Masjid selepas Sholat Ashar Berjamaah. Tema diskusi
tanpa rokok dan kopi seputar legenda den Daris yang makamnya tepat disebelah
barat Masjid, ada beberapa jenazah yang disemayamkan disana, namun makam
tersebut bukanlah makam umum.
Masyarakat sekitar mengenal dengan
nama Den Daris,
seorang kyai kampong
yang tidak mempunyai pesantren, namun anehnya ketika beliau wafat, banyak
santri dari Pondok pesantren lain yang melayat hingga jenazah dri rumah
peristirahatan terahir sampai makam yang jaraknya beberapa ratus meter penuh
dengan peziarah. Keranda jenazah seakan berjalan sendiri daiatas tangan tangan
para santri tersebut.
Kyai Raden Darus Salam atau K.R. Dares Salam atau Kyai
R. Daris Salam bukanlah ulama besar pada zamannya, menurut warga sekitar yang
terletak di Dusun Kedungdandang Desa Tapanrejo Kecamatan Muncar Kabupaten
Banyuwangi, beliau adalah kyai asal Magelang yang datang Ke Banyuwangi dan
menikah dapat orang Banyuwangii. Bertempat tinggal di dusun kecil yang belum
banyak penduduknya dengan membangun gubung kecil disamping sebuah Masjid,
bahkan suatu kecika gukuk kecil tersebut tersapu banjir yang mengakibatkan
beliau harus pindah ketempat lain dan membangun musholla kecil dipekarangan
penduduk yang kemudian diambil menantu oleh pemilik lahan tersebut.
Menurut Mulyorejo Musriatmojo, tokok setempat
menyampaikan bahwa Den Daris mempunyai karimah atau linuwih, suatu ketika
beliatu silaturakhmi ke Pesantren yang ada di Blogagung tepatnya di kediamana
KH Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur dan menginap disana. Ketika adzan subuh beliau
dibangunkan untuk diajak Jamaah, namun beliau menolak tanpa alas an yang jelas.
Ketika KH Mukhtas Syafaat selesai Sholat Subuh, beliau mendapati Den Daris
barusaja Sholat dan dzikjir diatas pelepah pisang. Karenanya Kh Mukhtar Syafaat
Takdzim kepada Den Daris. Entah cerita ini ada kaitannya dengan Nama pondok
Pesantren Darus Salam yang menjadi Pondok Pesantre terbesar di Kabupaten
Banyuwangi atau tidak, namun cerita ini melegenda dikalangan masyarakat sekitar
makam den Daris.
Banyak kisah yang patut diteladani dari den Daris yang
dianggap mempunyai Ilmu linuwih tersebut yang salah satunya adalah beliau
selalu memberikan uang yang didapatkannya kepada mertuanya disamping sebagian
untuk kebutuhan istrinya, beliau tidak mengambil sisa uang yang
didapatkannya untuk keperluan pribadinya. Hidup yang sederhana dan selalu
menolong sesame ini yang mungkin mendatangkan karomah bagi beliau. Ketika
penduduk sekitar sakit, maka beliau menjenguk dan menolong dengan memberikan
pengobatan meski tanpa permintaan dan pemberitahuan adanya tetanggga yang sakit
tersebut. Mata batinnya seakan tahu jika ada tetangganya yang sedang sakit.
Mbah Mul (Panggilan akrak Mulyorejo) menyampaikan
bahwa Den Daris yang makamnya satu lokasi dengan Mi Darus SHolah tersebut
pernah pulang ke Magelang dengan berjalan kaki, kebetulan mertua Mbah Mul yang
menemani. Perjalanan pulang tersebut dilakukan dengan sangat cepat dan tidak
wajar, karena kecepatan berjalan seakan terbang diatas pepohonan dimana
kecepatannya nyaris seperti kereta. Mertua mbah Mul yang saat itu digendong
seperti masuk angin. Bahkan ketika pulang kembali ke Kedungdandang nyaris nggak
disapa oleh isterinya karena ada keanehan dari wajah mertua Mbah Mul tersebut.
Mbah Mul juga bercerita bahwa
menjelang wafatya beliau yang didahului dengan sakitnya beliau di tahun 1977,
Mbah Mul yang mengabarkan wafatnya Den Daris kepada Keluarega blohagung yang
jaraknya puluhan kilometer dari kediaman Den Daris di Desa Tapanrejo. Keluarga
Blokagung seperti nggak percaya dengan wafatnya Den Daris tersebut, karena Mbah
Mul yang menyampaikan bahwa Den Daris sudah 40 hari berbaring karena sakit
tersebut dan tidak dapat kemana mana, namun keluarga Blokagung merasa bahwa
beberapa hari Den Daris berkunjung dan menginap di Blokagung.
4 komentar:
Apiik pak de lanjutkan!
Saya sebagai salah satu kerabat Beliau yang saat ini tinggal di Bogor sangat bangga dengan kesederhanaan beliau berdasarkan cerita orangtua saya.
Saat saya mudik ke Banyuwangi, saya sering berziarah ke makam beliau sekedar mengunjungi makam dan masjid yang beliau bangun di Kedungdandang.
Saya masih umur 17 th nan bermimpi di sebelah persil Blambangan ada makam wali tapi tidak tau mkam siapa dan saya sekarang 32 th baru kemarin berkunjung ke makam tersebut letak dan posisinya sama didalam mimpi saya.
Alhamdulillah. Insya Alloh beliau adalah seorang Waliyulloh keturunan Darah Biru/Ningrat tetapi ingin hidup menjadi orang biasa dab berkumpul dengan masyarakat umum biasa, dan saya sering berziarah ke makam beliau. Dan patut menjadi contoh bagi pemimpin2 sekarang dan dimasa yang akan datang sehingga dapat membedakan antara yang baik dan benar serta yang batil dan salah sehingga mensejahterakan rakyat adalah kewajiban bagi seorang pemimpin bukan sebaliknya. matur nuwun wass.wr.wb.
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar