Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Dialog lintas perfilman Kab, Banyuwangi

Dialog lintas perfilman Kab, Banyuwangi


             Film bukan hanya dijadikan tontonan dan hiburan, tetapi juga harus mengedapankan sisi pendidikan, dan nilai nilai Agama. Itulah yang disampaikan Syafaat, analis data dan informasi pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemenag Kabupaten Banyuwangi ketikaq diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan dan  pertanyaan dalam kegiatan Dialog lintas Perfilman yang digagal Lembaga Sensor Film di Hall hotel Illira Sukowidi Banyuwangi, Rabu (26/06)
            Dalam diskusi dengan tema Meningkatkan Peran Massyarakat Dalam Budaya Sensor mandiri dengan Nara Sumber Dua orang anggota LSF, Wahyu Tri Hartati dan Dyah Citra menggagas perlunya Sensor Mandiri oleh Masyarakat dalam menikmati film yang ditayangkan, terutama di media Televisi. Menanggapi pertanyaan dari anggota PARFI Kabupaten Banyuwangi mengenai banyaknya Film Mistis yang dianggap hanya mengejar rating, Mbak Citra menyampaikan bahwa LSI sebagai lembaga sensor yang ada di Indonesia sebenarnya sudah berupaya semaksimal mungkin agar Film yang ada diproduksi bukan hanya sebagai tontonan dan hiburan, tetapi juga wahana pendidikan bagi masyarakat.
            Sementara itu Kholiqul Riho, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Banyuwangi sebagai narasumber lokal menyampaikan bahwa Banyuwangi dengan |julukan The Sunrise Of Java menyambut baik kehadiran para produser film yang akan melaksanakan shoting dan mengambil Folklor atau cerita Rakyat yang ada di Kabupaten Banyuwangi, Riho juga menyampaikan bahwa dengan adanya “kulonuwun” tersebut film yang akan diproduksi akan terarah dan tidak akan merugikan kedua belah pihak. “Kita merasa kecolongan dengan salah satu film dengan Judul Perempuan Dari Tanah Jahanan, karena jika film tersebut mengambil alur cerita dari bumi Blambangan, maka akan merugikan Kabupaten Banyuwangi, dimana dalam film tersebut menggambarkan dari wilayah dengan budaya teluh dan santet” ungkapnya.
            Lebih lanjut Ridho menyampaikan bahwa tidak masalah jika produser film mengambil tempat syuting di Banyuwangi, namun jika mengkaitkan cerita film dengan wilayah Banyuwangi, maka hal ini dapat merugikan Banyuwangi. “orang akan takut ke Banyuwangi jika mendengar Banyuwangi sebagai Kota Santet”. Ungkapnya. “Padahal saat ini Santet nyaris tidak ditemukan di Kabupaten Banyuwangi” ungkapnya lagi.
            Sementara itu Wahyu dari LSF menyampaikan bahwa dengan perkembangan media sosial, beberapa produser film sengaja menyebarkan cuplikan film ke media sosial agar masyarakat menjadi penasaran dan ada keinginan kuat untuk menontonnya, padahal Film tersebut belum lolos sensor, dan belum tentu cuplikat film yang sudah beredar tersebut lolos sensor. Lebih lanjut Guru bahasa Indonesia ini menyampaikan bahwa kepentingan produser adalah bagaimana filmnya laku yang kadangkala mengabaikan norma yang berlaku.

            Berkaitan dengan unsur agama yang berada dalam film sebagaimana disampaikan Syafaat, Wahyu menjawab bahwa dalam LSI sudah ada perwakilan dari kementerian Agama, dan masalah ini yang sering disorot paling keras oleh anggota LSI dari kementerian Agama tersebut. “ anggotaq LSI ada perwakilan dari kementerian Agama, namanya Pak Nasrullah, beliau paling keras dalam masalah ini” ungkapnya.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog