Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Ujian Zaman Sekarang Memang Beda

Ujian Zaman Sekarang Memang Beda


Apel pagi hari itu tak seperti biasanya, peserta apel yang biasanya cekikian nyaris membisu meski tak ada hantu. Saya yang biasanya dibarisan paling belakang, pagi itu nyaris paling depan. Meskipun panas menyengat, namun tetap terlihat semangat. Terlebih pemimpin apel dengan suara tegas membius nyali kami untuk bersuara. Dedaunan tak jadi berguguran, mungkin menghormati kami yang sedang berdiskusi dengan diri sendiri.
Saya sedang mengingat beberapa nama ujian yang diterapkan di sekolah, beberapa detik sebelum apel, seorang rekan menanyakan jadwal ujian. Maklumlah anaknya juga sedang mengikuti ujian ahir dimana rekan saya ini juga ingin mengetahui jadwal ujian yang saya sendiri juga lupa karena beberapa macam namanya. Tidak seperti zaman dullu dimana hanya mengenal ujian ahir tanpa ada sekat ujian standar nasional atau daerah. Bahkan ketika saya di pendidikan dasar, saya tidak melihat jadwal ujian yang akan saya ikuti. saya hanya masuk kelas dan mengerjakan kertas soal yang saya terima. Dan itu saya maklumi sendiri karena saya tidak lancar membaca tulisan saya sendiri. Terlebih saat itu dikelas kami diwajibkan menulis latin, sebuah tulisan yang harus digandeng.betapa jeleknya tulisan saya saat itu bahkan diri sendiripun malas untuk membacanya. Saya baru menulis dengan tulisan yang mudah dibaca ketika saya memasuki bangku Tsanawiyah, dimana saya sudah mulai mempunyai prinsip dan aliran tersendiri dalam hal tulis menulis.
Saya terkejut ketika sebuah tangan menempel dipundak “mas ngapain masih dilapangan, apelnya sudah selesai”. Ternyata saya larut dalam buaian angan mengikuti apel ketika masih sekolah. Terlebih ketika di pesantren dimana setiap pagi juga diadakan apel. Saya pernah terlambat mengikuti apel, memasuki apel ketika penghormatan bendera. Saya bermaksud lari masuk barisan, namun ada suara lantang “stop berhenti” dan puluhan batu batu kecil menghujani, beruntung tidak menyebabkan luka. Seorang ustad kami yang mantan tentara (pejuang) yang menyuarakan dengan lantang tersebut. Sayapun berhenti dan hormat bendera meski belum masuk barisan.
Dulu tidak ada alat komunikasi canggih, namun banyak pengalaman yang didapatkan dari pendidikan apa adanya tersebut. Terlebih saya mempunyai seorang ustad yang “lebih tentara daripada tentara” namun kami sangat bangga ketika beliau mengajar dipesantren tersebut. Meskipun pada akhirnya saya berpindah ke madrasah formaal, namun sangat merasakan bahwa pendidikan yang saya dapatkan dipesantren sangatlah berharga.
Saya mengirimkan jadwal ujian kepada rekan saya yang sebelum apel memintanya, biarlah dia yang bingung sendiri dengan bermacam istilah ujian yang diterima putranya. Saya tidak akan menjelaskannya karena saya sendiri juga nggak begitu memahami. Pokoknya anak anak mengikuti ujian akhir dan nantinya mendapatkan ijazah, bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalah arti sebuah nama ujian kalau nilai yang didapatkan juga tidak memuaskan.
Saya juga mempunyai anak yang masih dalam pendidikan, beberapa kali saya harus browsing internet agar memahami istilah yang sedang dipakai di sekolahnya. Beberapa kali saya harus komunikasi dengan Pembimbing Akademik (istilah wali kelas), yang dengan telaten menjelaskan sistim SKS yang diterapkannya. Saya pernah menanyakan kepadanya setelah menyelesaikan ujian akhir, sebagai orang tua saya juga ingin kepo tentang kesulitan yang dia hadapi ketika mengerjakan soal dengan menggunakan komputer tersebut, dan dia hanya menjawab “dalam ujian itu, duduk diam, kerjakan, tinggalkan, lupakan”, sebuah jawaban santai yang saya tidak pernah lagi untuk menanyakan tentang ujiannya. Saya hanya menyiapkan apa yang dia minta, termasuk “jatah” membelikan satu buku bacaan setiap bulan. Ternyata hoby saya ini nurun pada anakku. Dulu saya dalam satu bulan minimal harus membeli sebuah buku. Bahkan saya rela tidak makan demi dapat membeli buku.
Ketika anak saya masih di Tsanawiyah, saya sering mendampinginya ketika dia mengerjakan PR melalui Laptopnya, kadang juga dia sibuk membuat powerpoint karena harus mempresentasikan PR nya tersebut. Saya tidak membantunya sepanjang dia tidak meminta, beberapa kali juga Theatring karena harus kirim hasil PR kepada guru pembimbingnya, saya pernah menyampaikan bentuk ujian akhir kepada anak saya, dan dia hanya menjawab, “ujian kami beda yah, semua secara online”.
Ujian sekarang memang banyak istilahnya, begitu juga dengan pengisian raport. Saya tidak dapat membayangkan betapa repotnya administrasi yang harus disiapkan oleh tenaga pendidik zaman sekarang. Sebagai wali murid saya sangat jarang membaca deskripsi yang ada pada raport anak saya, padahal para guru tersebut dengan susah payah mengerjakannya.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog