Apel
pagi hari itu tak seperti biasanya, peserta apel yang biasanya cekikian nyaris
membisu meski tak ada hantu. Saya yang biasanya dibarisan paling belakang, pagi
itu nyaris paling depan. Meskipun panas menyengat, namun tetap terlihat
semangat. Terlebih pemimpin apel dengan suara tegas membius nyali kami untuk
bersuara. Dedaunan tak jadi berguguran, mungkin menghormati kami yang sedang
berdiskusi dengan diri sendiri.
Saya
sedang mengingat beberapa nama ujian yang diterapkan di sekolah, beberapa detik
sebelum apel, seorang rekan menanyakan jadwal ujian. Maklumlah anaknya juga
sedang mengikuti ujian ahir dimana rekan saya ini juga ingin mengetahui jadwal
ujian yang saya sendiri juga lupa karena beberapa macam namanya. Tidak seperti
zaman dullu dimana hanya mengenal ujian ahir tanpa ada sekat ujian standar
nasional atau daerah. Bahkan ketika saya di pendidikan dasar, saya tidak
melihat jadwal ujian yang akan saya ikuti. saya hanya masuk kelas dan
mengerjakan kertas soal yang saya terima. Dan itu saya maklumi sendiri karena
saya tidak lancar membaca tulisan saya sendiri. Terlebih saat itu dikelas kami
diwajibkan menulis latin, sebuah tulisan yang harus digandeng.betapa jeleknya
tulisan saya saat itu bahkan diri sendiripun malas untuk membacanya. Saya baru
menulis dengan tulisan yang mudah dibaca ketika saya memasuki bangku
Tsanawiyah, dimana saya sudah mulai mempunyai prinsip dan aliran tersendiri
dalam hal tulis menulis.
Saya
terkejut ketika sebuah tangan menempel dipundak “mas ngapain masih dilapangan,
apelnya sudah selesai”. Ternyata saya larut dalam buaian angan mengikuti apel
ketika masih sekolah. Terlebih ketika di pesantren dimana setiap pagi juga
diadakan apel. Saya pernah terlambat mengikuti apel, memasuki apel ketika
penghormatan bendera. Saya bermaksud lari masuk barisan, namun ada suara
lantang “stop berhenti” dan puluhan batu batu kecil menghujani, beruntung tidak
menyebabkan luka. Seorang ustad kami yang mantan tentara (pejuang) yang
menyuarakan dengan lantang tersebut. Sayapun berhenti dan hormat bendera meski
belum masuk barisan.
Dulu
tidak ada alat komunikasi canggih, namun banyak pengalaman yang didapatkan dari
pendidikan apa adanya tersebut. Terlebih saya mempunyai seorang ustad yang “lebih
tentara daripada tentara” namun kami sangat bangga ketika beliau mengajar
dipesantren tersebut. Meskipun pada akhirnya saya berpindah ke madrasah
formaal, namun sangat merasakan bahwa pendidikan yang saya dapatkan dipesantren
sangatlah berharga.
Saya
mengirimkan jadwal ujian kepada rekan saya yang sebelum apel memintanya,
biarlah dia yang bingung sendiri dengan bermacam istilah ujian yang diterima
putranya. Saya tidak akan menjelaskannya karena saya sendiri juga nggak begitu
memahami. Pokoknya anak anak mengikuti ujian akhir dan nantinya mendapatkan
ijazah, bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalah arti sebuah nama
ujian kalau nilai yang didapatkan juga tidak memuaskan.
Saya
juga mempunyai anak yang masih dalam pendidikan, beberapa kali saya harus
browsing internet agar memahami istilah yang sedang dipakai di sekolahnya. Beberapa
kali saya harus komunikasi dengan Pembimbing Akademik (istilah wali kelas),
yang dengan telaten menjelaskan sistim SKS yang diterapkannya. Saya pernah
menanyakan kepadanya setelah menyelesaikan ujian akhir, sebagai orang tua saya
juga ingin kepo tentang kesulitan yang dia hadapi ketika mengerjakan soal
dengan menggunakan komputer tersebut, dan dia hanya menjawab “dalam ujian itu,
duduk diam, kerjakan, tinggalkan, lupakan”, sebuah jawaban santai yang saya
tidak pernah lagi untuk menanyakan tentang ujiannya. Saya hanya menyiapkan apa
yang dia minta, termasuk “jatah” membelikan satu buku bacaan setiap bulan. Ternyata
hoby saya ini nurun pada anakku. Dulu saya dalam satu bulan minimal harus
membeli sebuah buku. Bahkan saya rela tidak makan demi dapat membeli buku.
Ketika
anak saya masih di Tsanawiyah, saya sering mendampinginya ketika dia
mengerjakan PR melalui Laptopnya, kadang juga dia sibuk membuat powerpoint
karena harus mempresentasikan PR nya tersebut. Saya tidak membantunya sepanjang
dia tidak meminta, beberapa kali juga Theatring karena harus kirim hasil PR
kepada guru pembimbingnya, saya pernah menyampaikan bentuk ujian akhir kepada
anak saya, dan dia hanya menjawab, “ujian kami beda yah, semua secara online”.
Ujian
sekarang memang banyak istilahnya, begitu juga dengan pengisian raport. Saya tidak
dapat membayangkan betapa repotnya administrasi yang harus disiapkan oleh
tenaga pendidik zaman sekarang. Sebagai wali murid saya sangat jarang membaca
deskripsi yang ada pada raport anak saya, padahal para guru tersebut dengan
susah payah mengerjakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar