Setiap
menatap bola mata dibalik kacamatanya, ada sesuatu yang mesti saya ingat,
meskipun dia juga mempersembahkan senyum manis sebagai pengganti ketika dia
menyapa sebelum mengucapkan salam. Saya merasa senyum itu sudah terlalu cukup
untuk menggantikan kata manis yang keluar dari mulut mungilnya ketika menjawab
salam sapa yang sempat kuberikan. Entahlah dimana saya mengenal Guru ini
sebelumnya, namun saya sepertinya tak asing dengan wajah ayunya. Terlebih
ketika dia menggendong anak kecil yang tidak kalah cantiknya dengan uminya.
Saya
meraih anak yang digendongnya. Usianya sekira enam belas bulan, masih lucu
lucunya. Saya paling senang menggendong batita. Mungkin efek dari anak anak saya
yang sudah menginjak dewasa, dan anak kecil yang kuraih dari guru berkaca mata
tersebut seakan sudah akrab ketika berada dalam pelukanku.mungkin buah hatiku
seusia ini jika tak mendahuluiku ke surga. Lama saya menggendongnya tanpa membayangkan
bagaimana wajah uminya. Saya ingat betul bahwa dulu ketika merawat anak anak
masih bayi, saya yang memandikannya. Beberapa tetangga dan saudara sempat
bertanya “kok bisa seorang laki laki memandikan bayi yang baru lahir”. Bagi
saya merawat bayi atau memasak bukanlah hal yang tabu dilakukan seorang laki
laki, sebagaimana mencari nafkah yang juga tidak dilarang dilakukan oleh
seorang perempuan.
Saya
bertemu kembali dengan guru ini dalam sebuah pertemuan kemarin, dia diantar
suaminya, namun tidak membawa bayi mungilnya. Dia bercerita tentang usaha degan
jelly yang biasa kami beli. Saya penasaran juga dengan proses pembuatan degan
jelly tersebut, terlebih ketika bu guru dengan senyum manis ini bercerita bahwa
semuanya dikerjakan sendiri tanpa bantuan mesin, bahkan dia sendiri yang kadang
ikut mengupas kelapa muda, memproses degan tersebut sehingga tampil trendy. Saya
tidak dapat membayangkan bagaimana tangan halus buguru ini ketika ikut
memproses degan dengan mengunakan pisau stenless tanpa bantuan alat modern.
Saya ikut kerumahnya, minmal membunuh rasa penasaran bagaimana Bu Guru ini tetap
tampil anggun meski kerja keras dilakukannya.
Saya
duduk diruang tamu sendirian. sesaat kemudian Ibu Guru yang terlihat masih muda
seperti usia belasan tahun tersebut keluar tanpa suaminya membawa dua buah
degan jelly. Saya berharap suaminya segera muncul agar saya tidak grogi duduk
berdua saja dikediamannya. Namun entah mengapa sampai Bu Guru ini nyumanggaaken
untuk menikmati degan jellly, yang kuharapkan belum juga mecungul. “monggo pak
dinikmati degannya, rasanya akan semakin nikmat jika ditambah susu”. Saya diam
saja, seakan mulut terkunci dengan senyum dan sapanya. Segera saya meraih susu
sachet dan memplethet kedalam degan ranum putih mulus seperti gunung
impian, manikmatinya sambil mendengarkan cerita Bu Guru cantik ini bagaimana
dia memulai usahanya.
Rumah
megah dan sebuah mobil keluarga yang ada di garasi sudah membuat saya percaya
bahwa Bu Guru dan suaminya ini orang yang sangat ulet dalam berusaha. Saya
yakin bahwa kesuksesan usahanya tidak terlepas dari berkah dia mengajar di
Madrasah yang tidak seberapa honornya. Sebagaimana pepatah bahwa usaha tidak
akan menghianati hasil. Sebuah berkah dari usaha tidak selalu ada pada usaha
tersebut, namun kadangkala ada pada usaha lain yang secara akal tidak ada
sangkut pautnya dengan usaha tersebut. Kadangkala ada suami yang berusaha,
namun rizki ada pada istrinya, kadang orang tua yang bersusah susah, dan rizki
tersebut dilewatkan anaknya, dan begitu juga sebaliknya.
Belum
setengahnya saya menikmati degan jelly yang disuguhkan, saya benar benar
kerasakan bahwa air kelapa muda yang sudah dimasak dengan jelly dan dituangkan
kedalam kelapa muda tersebut benar benar nikmat dan pas resepnya. Saya seperti
nggak percaya bahwa dia memasak sendiri untuk memenuhi permintaan pelanggan
yang setiap harinya bisa mencapai lebih dari seratus degan. Belum lagi harus
mengajar dan mengurus keluarga. Sungguh saya melihat dia benar benar luar
biasa. Pernah dia mempekerjakan orang untuk memasak jellynya, namun banyak
komplain dari para pembeli, karena memasak bukan hanya resep yang harus
dikuasai, namun juga harus menjiwai. Bu Guru ini juga bercerita bahwa dia
pernah mengajari seseorang yang ingin berusaha sama dengannya. Dan Bu Guru
murah senyum ini menyanggupinya, membelikan alat alat dan memberi resep dan
mengajarinya. Baginya mengajari orang lain untuk melakukan usaha yang sama
dengannya bukanlah hal yang tabu, toh rizky sudah diatur oleh-Nya.
Saya diajak melihat
freser miliknya yang mempu menampung ratusan degan sebelum dipasarkan, lumayan
besar, jika dua orang tidur didalamnyapun masih sangat longgar. Saya hanya
berdua saja diruangan tersebut. Rasa penasaran masih menyelimuti, dimana suaminya
??? dan dimana juga bayinya ??. saya tidak berani menanyakannya. Toh saya
datang kerumah ini bukan untuk investigasi, namun untuk bersilaturahmi dan
belajar bagaimana mengupas degan dengan pisau sebagaimana diceritakannya. Dan
ternyata saya bisa meski dengan keringat bercucuran karena belum terbiasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar