Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

GM FKPPI Banyuwangi “Ledakkan” Spirit Kebangsaan! Empat Hari Penuh Pancasila Dibumikan dengan Aksi Nyata

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini tidak lagi sekadar upacara khidmat dan sambutan seremonial. GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi hadir dengan gebrakan dahsyat: delapan agenda kolaboratif dalam empat hari penuh inspirasi, membakar semangat gotong royong dari generasi muda untuk Negeri! Dimulai dari Kamis hingga Minggu, 29 Mei–1 Juni 2025, Banyuwangi bersiap jadi medan juang baru untuk membumikan Pancasila secara konkret!



Dengan mengusung tema nasional “Pancasila dalam Tindakan: Semangat Gotong Royong GM FKPPI Membangun Negeri”, kegiatan ini menjadi sinyal kuat bahwa Pancasila bukan tinggal slogan, melainkan urat nadi kehidupan bangsa yang harus terus mengalir di tengah gelombang zaman digital yang terus berubah.


Ketua GM FKPPI Banyuwangi, KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H., menyatakan dengan lantang bahwa kegiatan ini adalah bentuk perlawanan elegan terhadap pelunturan nilai kebangsaan.


> “Kami tidak sedang mengulang sejarah, kami sedang menciptakannya! Ini bukan seremoni, ini adalah gerakan ideologis, reflektif, dan menyentuh semua lapisan masyarakat—dari balita hingga kaum cendekia!” tegasnya, Sabtu (24/05/2025).




Dari puisi hingga pidato, dari keyboard hingga dzikir, semua diramu dalam semangat nasionalisme dan kolaborasi tanpa batas. Berikut delapan ‘amunisi kebangsaan’ GM FKPPI Banyuwangi:


1. Lomba Puisi Pancasila (29–30 Mei)

Denting kata-kata menyuarakan nurani bangsa! Pemuda dan pelajar akan adu rasa dan makna dalam rangkaian puisi tentang nilai luhur Pancasila.



2. Lomba Lagu Perjuangan (30 Mei)

Nada-nada patriotik akan menggetarkan panggung Banyuwangi! Komunitas musik lokal akan memanaskan panggung dengan semangat cinta Tanah Air.



3. Lomba Pidato Kebangsaan (31 Mei)

Generasi muda diasah bukan hanya pikirannya, tapi juga lidahnya. Inilah momen gladi retorika kebangsaan para siswa SMP dan MTs se-Banyuwangi.



4. Lomba Mewarnai untuk TK/PAUD (31 Mei)

Pelangi kebhinekaan dimulai sejak dini! Anak-anak kecil akan menggenggam krayon, namun di dalamnya tertanam bibit nasionalisme masa depan.



5. Diskusi Publik “Membumikan Pancasila di Era Digital” (31 Mei)

Bukan sekadar bincang, ini medan tempur intelektual! Para ahli dan aktivis akan membedah tantangan aktualisasi Pancasila di dunia digital yang sarat disrupsi.



6. Dzikir & Ngaji Kebangsaan: “Pancasila dalam Perspektif Al-Qur’an” (1 Juni)

Di tengah doa dan lantunan ayat suci, nilai-nilai kebangsaan dirangkai dalam harmoni spiritual. Menyatukan langit dan bumi dalam satu tarikan nafas Pancasila.



7. Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila (1 Juni)

Momentum sakral yang dirancang penuh simbolik, bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk menghidupkan kembali semangat para pendiri bangsa.



8. Inagurasi Malam Puncak: Kolaborasi Keyboard & Suara Emas Banyuwangi (1 Juni)

Tarian nada, ledakan suara emas, dan permainan harmoni jadi penutup spektakuler dalam panggung kolaborasi lintas generasi!




Ir. Achmad Wahyudi menyerukan keterlibatan total masyarakat:


> “Tidak ada sekat. Tidak ada ‘kami dan mereka’. Semua warga Banyuwangi adalah keluarga besar GM FKPPI hari ini! Ini panggilan sejarah: satukan energi, wujudkan Indonesia dengan nafas Pancasila!” ujarnya menggugah.




Dengan orkestra kegiatan yang menyentuh seluruh sisi kehidupan—pendidikan, seni, agama, dan wacana kebangsaan—GM FKPPI Banyuwangi benar-benar membuktikan bahwa Pancasila bukan doktrin masa lalu, melainkan suluh masa depan.


Banyuwangi tidak hanya akan merayakan Hari Lahir Pancasila. Banyuwangi akan menghidupkannya, menggetarkannya, menggemakannya!


Bangkitlah, semangat juang Pancasila! Dari ujung Genteng hingga Wongsorejo, dari anak TK hingga para tokoh—semua menyatu dalam denyut Merah Putih!


(Sumber: Biro Publikasi dan Dokumentasi GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi)


Rapat Konsolidasi PW ISNU Provinsi Jawa Timur di Gedung DPRD Kabupaten Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dari wilayah eks-Karesidenan Besuki dan Probolinggo menggelar rapat konsolidasi di Ruang Sidang Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (24/5). Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antar pengurus cabang ISNU di kawasan tapal kuda Jawa Timur.



Panitia pelaksana, Fajar Isnaini, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas kehadiran para peserta, meski acara terbilang mendadak. “Alhamdulillah, meskipun dirancang dalam waktu singkat, acara ini dapat berjalan dengan baik. Ini berkat semangat dan komitmen kita bersama untuk memajukan ISNU,” ujarnya.


Sementara itu, Ketua PC ISNU Banyuwangi, Abdul Aziz, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada Banyuwangi sebagai tuan rumah. “Kami merasa terhormat dan siap menjadi bagian dari penguatan jaringan intelektual Nahdlatul Ulama di kawasan timur Jawa Timur,” tuturnya.


Plt. Ketua PW ISNU Jawa Timur, Prof. Dr. H. Afif Hasbullah, hadir langsung memimpin konsolidasi. Dalam arahannya, beliau menekankan pentingnya membangun pola berorganisasi yang nyaman dan berbasis intelektualitas. “ISNU merupakan badan otonom Nahdlatul Ulama yang lahir pada 19 November 1999 di Surabaya. Meskipun relatif baru, ISNU sudah menunjukkan perkembangan yang membanggakan,” ungkapnya.


Ia menjelaskan bahwa ISNU baru resmi ditetapkan sebagai Banom NU dalam Muktamar ke-32 di Makassar tahun 2010, dan dilembagakan pada tahun 2012. “Sebagai Banom, anggota ISNU adalah kaum terdidik, minimal sarjana. Maka pendekatan kita dalam dakwah dan penguatan masyarakat NU juga berbasis intelektual,” tegas Prof. Afif.


Lebih lanjut, ia menyampaikan apresiasinya terhadap kemajuan Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir. “Kita juga melihat bahwa perkembangan Banyuwangi tidak lepas dari kontribusi ormas-ormas, termasuk dari kalangan Nahdliyin. Ini adalah contoh konkret bagaimana masyarakat NU bisa maju bersama lewat kerja kolaboratif,” imbuhnya.


Rapat konsolidasi ini dihadiri oleh pengurus ISNU dari sejumlah kabupaten/kota, antara lain Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo. Acara ditutup dengan dialog terbuka mengenai strategi penguatan peran ISNU dalam kehidupan sosial-keagamaan dan pemba

ngunan daerah.

Menumbuhkan Etos dan Etika: Refleksi Ilmiah atas Pelatihan Keluarga Sakinah di Banyuwangi

Banyuwangi – (Warta Blambangan) Dalam lanskap pengabdian yang senantiasa bergerak antara tanggung jawab struktural dan panggilan spiritual, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan sebuah inisiatif yang tidak hanya bersifat teknokratik, tetapi juga menyentuh ranah etik dan kultural. Pelatihan Di Wilayah Kerja (PDWK) bertajuk Keluarga Sakinah ini digelar dengan pendekatan blended learning, suatu model pembelajaran hibrida yang menggabungkan medium digital dan tatap muka.

Tahap daring berlangsung pada 14–18 Mei 2025 di ruang virtual yang disiarkan dari Aula Bawah, sedangkan sesi luring dilangsungkan pada 22–24 Mei 2025. Sebanyak 35 penyuluh agama Islam dari unsur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengikuti kegiatan ini dengan semangat yang mencerminkan kesungguhan menghayati amanah sebagai penyambung nilai dan cahaya dalam masyarakat. 

Pelatihan ini tidak sekadar forum peningkatan kapasitas teknis, melainkan sebuah forum pembentukan karakter dan pemurnian orientasi kerja. Tujuan utamanya adalah untuk meneguhkan integritas dan memperkuat fondasi nilai bagi sumber daya manusia Kementerian Agama yang menjadi garda terdepan dalam program pembangunan keluarga sakinah—sebuah entitas sosial yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai simpul ketahanan bangsa.

Salah satu momen penting dalam pelatihan ini adalah penyampaian materi oleh Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayah. Dengan tema Nilai-Nilai Dasar Sumber Daya Manusia Kementerian Agama, beliau tidak hanya mentransfer gagasan, tetapi juga membangkitkan kesadaran akan makna kehadiran seorang aparatur negara di tengah masyarakat.

Dalam pandangan Dr. Chaironi, aparatur Kementerian Agama bukan semata entitas birokratik, melainkan pribadi strategis yang menentukan arah dan wibawa pelayanan publik. Maka nilai-nilai dasar SDM Kemenag bukanlah dokumen mati atau jargon kosong, tetapi etika hidup yang menjadi kompas dalam mengarungi kompleksitas kerja pelayanan.


Enam nilai yang dijabarkan—integritas, profesionalisme, tanggung jawab, keadilan, transparansi, dan kepedulian—diposisikan sebagai unsur organik dari budaya kerja. Integritas, misalnya, bukan hanya kejujuran administratif, tetapi keberanian moral dalam menolak manipulasi. Profesionalisme tidak berhenti pada kecakapan teknis, tetapi menuntut keluhuran niat dan ketekunan inovatif. Tanggung jawab melampaui batas prosedural, menjadi kesanggupan menanggung risiko atas nama kebenaran. Keadilan tidak sekadar distribusi yang merata, tetapi pemuliaan terhadap keragaman. Transparansi adalah bentuk kematangan institusional, dan kepedulian, pada dasarnya, adalah wujud kasih sayang yang terstruktur.

“Nilai-nilai ini harus menjadi roh dalam setiap tindak kerja. Bila diterapkan dengan konsisten dan ikhlas, maka akan tercipta pelayanan yang membangun kepercayaan, dan birokrasi yang menyejukkan,” tutur Dr. Chaironi, dalam nada yang lebih menyerupai seruan batin ketimbang sekadar pengantar pelatihan.

Pernyataan tersebut mencerminkan harapan akan transformasi: dari sekadar pelaksana tugas menjadi pelayan nilai. Dari rutinitas prosedural menuju praksis yang berjiwa.

Pelatihan ini mendapatkan apresiasi tinggi dari peserta, yang merasa terhubung secara intelektual dan emosional dengan materi yang disampaikan. Tidak sedikit yang menyebut kegiatan ini sebagai proses refleksi kolektif, di mana para penyuluh agama merumuskan kembali jati diri profesinya dalam konteks kehidupan masyarakat yang terus berubah.

Sebagaimana yang dirumuskan dalam berbagai kajian sosial dan teologi, keluarga sakinah bukanlah unit biologis semata, tetapi medan tafsir atas kehendak ilahi tentang kedamaian, keadilan, dan keberlanjutan. Maka para penyuluh agama, sebagai pemantik nilai di akar rumput, harus lebih dahulu hidup dalam ruang nilai yang mereka sebarkan.

Dengan ditutupnya pelatihan ini, bukan berarti proses pembelajaran selesai. Justru sebaliknya, kini para peserta memanggul tanggung jawab baru: menerjemahkan nilai-nilai dasar Kementerian Agama ke dalam praktik kerja yang jernih, adil, dan berempati. Karena pada akhirnya, ketahanan bangsa tidak dibangun oleh kekuasaan atau proyek-proyek besar, melainkan oleh keluarga-keluarga yang sakinah, dan oleh aparatur yang jujur serta penuh kasih.

Dan Banyuwangi, dalam harmoni embus angin Laut Selatan dan gema doa para penyuluhnya, menjadi saksi bahwa nilai tidak hanya bisa diajarkan, tetapi bisa pula ditanamkan dan dihidupi.

Siswa MI Islamiyah Rogojampi Raih Juara I Lomba Bertutur Tingkat Kabupaten


Banyuwangi (Warta Blambangan) Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh siswa madrasah. Avilla Fikratus Putri Yuwono, siswi kelas 4 MI Islamiyah Rogojampi, berhasil meraih juara pertama dalam ajang Lomba Bertutur yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi. Final lomba ini berlangsung pada Rabu, 22 Mei 2025. 


Lomba yang diikuti oleh siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) se-Kabupaten Banyuwangi ini berlangsung dengan persaingan yang ketat. Para peserta tampil dengan membawa kisah-kisah inspiratif dari berbagai daerah, menyampaikan dengan artikulasi, ekspresi, dan penjiwaan yang dinilai oleh dewan juri. 

Kepala MI Islamiyah Rogojampi, Nur Hariri, mengungkapkan rasa syukur dan bangganya atas capaian yang diraih oleh siswinya tersebut.

“Alhamdulillah, siswa kami berhasil meraih juara pertama di tengah persaingan yang sangat ketat. Kami memang memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan bakat siswa dalam seni suara dan bertutur. Hasil ini adalah buah dari latihan dan bimbingan yang berkesinambungan,” ujarnya.


Nur Hariri juga menambahkan bahwa madrasah berkomitmen untuk terus mendorong siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya, baik di bidang akademik maupun non-akademik.


Sementara itu, prestasi lain juga datang dari siswa madrasah. Afina Alana Qolbi, siswi MI Darunnajah 2, turut mencatatkan namanya sebagai juara keempat dalam kompetisi yang sama.

Kegiatan lomba bertutur ini merupakan salah satu upaya Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi dalam menumbuhkan minat baca serta kecintaan terhadap budaya literasi di kalangan siswa sejak usia dini. Selain itu, lomba ini juga bertujuan untuk melestarikan cerita rakyat serta membentuk karakter siswa yang percaya diri dan komunikatif.

Dengan prestasi ini, madrasah kembali membuktikan eksistensinya dalam mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga terampil dalam bidang seni dan budaya.


Suasana Haru Warnai Pemberangkatan Tambahan Jamaah Haji Kloter SUB-72 Asal Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) – Suasana penuh haru menyelimuti halaman Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Rabu malam (21/5), saat sebanyak 11 calon jamaah haji dari kelompok terbang (kloter) SUB-72 secara resmi diberangkatkan menuju Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Kloter ini merupakan bagian dari kuota tambahan haji tahun 2025 yang dialokasikan untuk Kabupaten Banyuwangi. Adapun 4 jamaah lainnya telah lebih dahulu berada di Surabaya karena kini berdomisili di kota tersebut.



Prosesi pemberangkatan dimulai selepas Salat Isya dan dihadiri oleh para keluarga jamaah serta sejumlah pejabat daerah. Dalam laporan resminya, Pelaksana Harian Kasi Penyelenggara Haji dan Umrah, H. Moh. Jali, menjelaskan bahwa pemberangkatan ini merupakan lanjutan dari keberangkatan sebelumnya yang telah mencakup kloter 42, 43, 44, sebagian kloter 46, dan kloter 48.


“Malam ini, total ada 15 jamaah yang tergabung dalam kloter SUB-72. Sebanyak 11 orang hadir secara fisik dalam prosesi ini, dua orang telah lebih dahulu berada di Asrama Haji Surabaya, dan dua lainnya berdomisili di Surabaya. Enam jamaah tambahan akan diberangkatkan pada tanggal 25 Mei mendatang dalam kloter SUB-85,” paparnya.


H. Moh. Jali juga memberikan edukasi dan imbauan kepada keluarga jamaah untuk melepaskan dengan penuh keikhlasan, serta terus mendoakan kelancaran proses ibadah haji para kerabat mereka. “Kami harap keluarga dapat memasrahkan keberangkatan ini dengan tulus. Ibadah haji adalah misi suci menunaikan rukun Islam kelima. Semoga semua proses ibadah berjalan lancar dan jamaah senantiasa dalam kondisi sehat,” tambahnya.


Kegiatan ini juga dihadiri oleh Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda Banyuwangi, H. Yusdi Irawan, yang hadir mewakili Bupati Banyuwangi, serta Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, yang turut menyampaikan arahan dan doa pelepasan.



Dalam sambutannya, Dr. Chaironi menyampaikan apresiasi atas dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, khususnya dalam hal logistik dan fasilitasi transportasi jamaah haji. Ia juga menggarisbawahi perbedaan signifikan dalam sistem keberangkatan tahun ini, sebagai dampak dari regulasi baru Pemerintah Arab Saudi melalui sistem syarikah.


"Skema ini menimbulkan sebaran jadwal keberangkatan yang lebih variatif dan tidak lagi terpusat. Meski bukan sistem ideal bagi semua pihak, sebagai tamu negara, kita berkewajiban mematuhi ketentuan yang berlaku. Kami mohon maaf atas keterbatasan ini, namun tetap berkomitmen memberikan pelayanan terbaik,” jelasnya.


Dr. Chaironi turut menekankan pentingnya dukungan moril dan spiritual dari para keluarga. Ia menyampaikan bahwa dimensi spiritual haji kerap membawa mukjizat. “Ada jamaah yang dari sini berangkat dengan kursi roda, lalu pulang dalam keadaan sehat dan tidak lagi membutuhkannya. Inilah kekuatan spiritual yang hanya bisa dijelaskan oleh keajaiban Allah,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.


Menjelang akhir acara, suasana semakin emosional. Para jamaah satu per satu berpamitan kepada keluarga. Tangis haru dan pelukan mengiringi prosesi ini, menandai betapa besar cinta dan doa yang mengantar keberangkatan mereka ke Tanah Suci.


Prosesi pemberangkatan ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama setempat, diikuti penghormatan terakhir kepada para calon tamu Allah sebelum diberangkatkan menuju Asrama Haji Sukolilo pada Kamis pagi (22/5) pukul 06.00 WIB.

Semoga seluruh jamaah haji asal Kabupaten Banyuwangi diberikan kekuatan fisik dan mental, kelancaran dalam menjalani seluruh rangkaian ibadah haji, serta kembali ke tanah air dengan selamat dan membawa predikat haji yang mabrur.

Penguatan Majelis Taklim Banyuwangi: Dorong Peran Strategis dalam Masyarakat

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam upaya memperkuat peran majelis taklim sebagai pranata sosial keagamaan yang strategis, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menggelar kegiatan Penguatan Majelis Taklim Kabupaten Banyuwangi, yang dilangsungkan di aula MAN 1 Banyuwangi, Selasa (20/5/2025).

Kegiatan ini dihadiri oleh para pengurus Kelompok Kerja Majelis Taklim (KKMT) Kabupaten Banyuwangi serta perwakilan majelis taklim dari berbagai kecamatan yang telah terdaftar secara resmi. Dalam sambutannya, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi yang diwakili oleh Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, H. Mastur, S.Ag., M.Pd.I., menegaskan bahwa majelis taklim memiliki posisi penting dalam membentuk karakter masyarakat yang religius dan harmonis.

“Majelis taklim adalah salah satu pranata sosial keagamaan yang diorganisir melalui Peraturan Menteri Agama. Kegiatan hari ini bertujuan untuk memperkuat peran tersebut agar kebermanfaatannya semakin terasa di tengah masyarakat,” ujarnya. 


Ia juga mengimbau agar seluruh majelis taklim yang belum terdaftar segera melakukan pendaftaran melalui Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan masing-masing. “Di setiap KUA sudah ada penyuluh agama Islam yang siap memandu proses pendaftaran dan pembinaan,” tambah Mastur.

Diskusi dan penguatan dalam kegiatan ini dimoderatori oleh Syafaat, S.H., M.H.I. dari Seksi Bimas Islam. Adapun narasumber pertama adalah Dr. H. Lukman Hakim, S.Ag., M.H.I., Rektor Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB) Genteng. Dalam pemaparannya, ia menyoroti pentingnya pengelolaan majelis taklim yang baik dan terstruktur.

“Program-program yang terstruktur akan lebih efektif dalam menjangkau lebih banyak orang, terutama generasi muda, dalam memperkuat iman, akhlak, dan kepedulian sosial,” ungkap Dr. Lukman. Ia menekankan bahwa efisiensi sumber daya, sinergi antar komunitas, dan pengelolaan kelembagaan yang profesional akan membawa dampak positif yang signifikan.

Namun, ia juga mencatat tantangan yang dihadapi majelis taklim saat ini, seperti kurangnya minat generasi muda terhadap kegiatan keagamaan dan keterbatasan sumber daya di beberapa majelis.

Narasumber kedua, Agus Baehaqi, S.Ag., M.I.Kom., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Universitas Islam Mukhtar Syafaat (UIMSYA) Blokagung, menyoroti dinamika dakwah di era digital. 


“Perkembangan teknologi dan media sosial menjadi tantangan sekaligus peluang. Majelis taklim perlu beradaptasi dengan cara dakwah yang lebih kreatif dan relevan agar tetap menarik bagi generasi muda,” jelasnya.

Melalui kegiatan ini, diharapkan seluruh pengurus majelis taklim di Banyuwangi semakin memahami urgensi legalitas, manajemen kelembagaan, serta penguatan konten dakwah yang adaptif terhadap perubahan zaman. Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pun berkomitmen untuk terus mendampingi dan membina majelis taklim sebagai mitra strategis dalam membangun masyarakat yang religius, cerdas, dan damai.

Pengukuhan Kelompok Kerja Majelis Taklim Kabupaten Banyuwangi: Menebar Kedamaian, Menyatukan Misi Dakwah

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. H. Chaironi Hidayat, secara resmi mengukuhkan kepengurusan Kelompok Kerja (Pokja) Majelis Taklim Kabupaten Banyuwangi, dalam sebuah prosesi yang berlangsung khidmat di aula Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Banyuwangi, Selasa siang (20/05/2025).



Acara ini turut dihadiri oleh Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, para pengurus majelis taklim dari berbagai kecamatan di Banyuwangi. Dalam sambutannya, Dr. Chaironi menyampaikan pentingnya kehadiran Pokja Majelis Taklim sebagai garda terdepan dakwah yang membawa nuansa kedamaian di tengah masyarakat.


 “Alhamdulillah, siang ini kita baru saja menyaksikan pengukuhan pengurus Pokja Majelis Taklim Kabupaten Banyuwangi. Saya berharap keberadaan Pokja ini bukan sekadar formalitas, melainkan wadah koordinasi, validasi, dan kolaborasi dakwah yang memberi dampak nyata di masyarakat,” ungkap Chaironi.

Lebih lanjut, Chaironi menyampaikan fenomena meningkatnya permohonan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Majelis Taklim beberapa waktu terakhir. Ia mengingatkan agar pengurus tidak menjadikan fasilitas pemerintah sebagai tujuan utama, tetapi tetap menjaga orientasi utama majelis taklim sebagai ruang pencerahan dan keteladanan umat.

“Tujuan Majelis Taklim adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat—baik melalui sholawat, dzikir, maupun kajian keislaman. Jangan sampai keberadaan majelis taklim malah menimbulkan keresahan,” tegasnya.

Chaironi juga mengajak seluruh pengurus Pokja agar menjadi jembatan komunikasi antar majelis, bukan sekadar pengurus administratif. Ia menekankan pentingnya teori dakwah yang santun, koordinasi rutin, dan semangat saling belajar antar sesama majelis taklim.

“Kalau ada dua kelompok majelis saling bersaing hingga bermusuhan, kita perlu bertanya, apa sebenarnya visinya? Pokja harus hadir sebagai penengah—sebagai kekuatan moral yang menyatukan, bukan memecah.”

Chaironi mengisahkan bagaimana umat Islam di masa lalu dikenal karena membawa keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan sebaliknya. Bahkan dalam kondisi duka mendalam saat wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tetap mendahulukan ketenangan masyarakat daripada kesedihan pribadi.

“Lihat bagaimana Sayyidina Abu Bakar menahan dukanya, dan justru menjadi penyejuk bagi umat yang panik. Itu contoh nyata bagaimana kepentingan pribadi dikorbankan demi maslahat umat,” tuturnya haru.

Ia juga mengingatkan agar pengurus Pokja segera mengadakan rapat kerja untuk menyusun program, termasuk pertemuan rutin minimal setahun sekali, serta menyusun materi dakwah yang menyentuh sisi kemanusiaan dan kebhinekaan.

Menutup sambutannya, Chaironi menitipkan pesan kepada seluruh pengurus agar tetap menjaga semangat dakwah yang rahmatan lil alamin, menjauhi kepentingan pribadi, dan merawat ukhuwah Islamiyah di bumi Blambangan.

“Mari berdakwah dengan kasih sayang. Jangan sampai ada pribadi-pribadi yang menyusup membawa agenda di luar misi dakwah. Kalau semua bersatu, insyaallah majelis taklim kita akan menjadi benteng akidah sekaligus perekat persaudaraan,” pungkasnya.


Dengan dikukuhkannya kepengurusan Pokja Majelis Taklim ini, diharapkan semangat dakwah yang sejuk, santun, dan bersinergi akan terus berkembang di seluruh pelosok Kabupaten Banyuwangi. (syaf)

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap

 

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap
(Ditulis oleh Syafaat)

Pagi tanggal 20 Mei 2025, sebuah ruang sunyi di Banyuwangi mendadak penuh kata-kata. Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten itu, biasanya hanya untuk pertemuan biasa, hari itu seperti menjadi tempat kelahiran kembali. Bukan kelahiran tokoh atau revolusi besar, tapi kelahiran nama-nama yang pelan-pelan tenggelam dari ingatan: dusun, desa, kelurahan, dan lingkungan yang barangkali hanya disebut ketika surat datang, atau ketika seseorang mengisi alamat di formulir.

Ada seratus penulis. Sebagian mahasiswa, sebagian lagi sudah lama menggantungkan hidup pada huruf dan paragraf. Mereka datang tidak untuk menulis resensi atau cerpen cinta. Mereka datang membawa satu tujuan yang sederhana tapi dalam: menulis toponimi Banyuwangi. Menuliskan kembali asal mula nama tempat. Menemani sejarah yang malas dicatat oleh negara. 


Pertemuan itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Dan entah siapa yang mula-mula sadar, betapa sepadan peristiwa itu dengan niat para penulis: membangkitkan kembali hal-hal yang nyaris ditelan pembangunan dan papan nama toko swalayan.

Di salah satu deret kursi, seorang gadis muda dan cantik menyimak dengan wajah yang tidak terburu-buru. Namanya panjang: Imtiyaza Syifa Ramadhani Risdayanti. Ia mahasiswa Universitas Jember. Tapi jauh sebelum itu, ia pernah menjadi anak cerdas istimewa di MTs Negeri 3 Banyuwangi—sebuah fakta kecil yang tampak di balik cara ia menyusun kalimat saat bicara.

Ia memilih menulis tentang Desa Sumberberas. Sebuah desa yang terdengar seperti nama sungai dan gabah di saat yang sama. “Banyak ilmu yang saya dapat,” katanya, pelan, seperti takut mengganggu kalimat narasumber yang sedang berbicara di depan. Tapi dari tatapannya, tampak bahwa ilmu itu bukan sekadar catatan, melainkan pemahaman akan pentingnya mencatat.

Syifa berharap akan ada lebih banyak pelatihan semacam ini. Pelatihan yang tidak menyuruh orang menulis tentang dunia, tapi menulis tentang tempat mereka berdiri. Tentang tukang kayu yang dahulu membangun rumah-rumah di Kelurahan Tukangkayu yang disana ada pesantren yang didirikan oleh seorang tokoh yang pernah duduk menjadi anggota konstituante pada masanya. Tentang rumah penyanyi Farel Prayoga di Desa Kepundungan yang oleh publik dikenal sebagai tempat tinggal bocah bernyanyi yang pernah tampil memukau di istana negara, tapi oleh penulis dikenal sebagai desa yang menyimpan lapisan-lapisan cerita yang lebih dalam dari sekadar panggung hiburan.

Juga tentang Dusun Jalen, yang oleh sebagian orang hanya dikenang sebagai titik kecil di Google Maps, padahal di sana berdiri salah satu pondok pesantren tertua di Banyuwangi yang santri-santrinya menjadi cikal bakal beberapa pesantren besar di Banyuwangi. Di tempat seperti itu, sejarah sering kali dibacakan tanpa teks, dan ilmu berpindah dari mulut ke telinga, dari ketelatenan ke keteladanan.

Narasumber hari itu tidak semuanya mengenakan batik resmi, mereka memakai kaos yang sama dengan peserta. Seorang wartawan senior yang juga sastrawan datang membawa tumpukan kisah dari masa lalu, membagikan bagaimana satu tema tulisan bisa hidup tiga dekade bila ditulis dengan jujur. Seorang dosen sejarah yang, konon, belum menikah dan karena itu dianggap punya waktu lebih banyak untuk membaca manuskrip kuno berbicara dengan cara yang membuat nama tempat terdengar seperti puisi. Seorang budayawan menyampaikan bahwa tiap nama dusun adalah mantra; jika kita berhenti menyebutnya, ia akan hilang.

Bimbingan teknis ini, kata sebagian orang, hanyalah pelatihan. Tapi bagi sebagian lain, ini adalah cara menghidupkan kembali hal-hal kecil yang telah lama dipinggirkan oleh ambisi besar pembangunan. Ini adalah cara untuk tidak kehilangan jejak ketika nanti anak-anak bertanya: “Mengapa namanya Tukangkayu? Siapa yang dulu tinggal di Sumberberas?”

Dan para penulis itu, dalam diam dan kerja sunyi mereka, sedang berusaha menyiapkan jawabannya. Tanpa tergesa. Tanpa gemuruh. Tapi dengan sepenuh cinta kepada tempat di mana mereka berpijak.

Ego Sektoral vs Inklusivitas: Tantangan yang Dihadapi Difabel Banyuwangi

 


Banyuwangi, (19/05/2025) – Tim konsultan dari Liliane Fonds, yayasan internasional asal Hertogenbosch, Belanda, yang fokus pada tumbuh kembang anak dan masyarakat inklusif, mengunjungi basecamp Yayasan Aura Lentera di Jl. Letnan Sanyoto No. 8, Banyuwangi, hari ini.

Kedatangan tiga konsultan—Endah Mirareta, Indah Sundari, dan Priyo Budi Asmoro—disambut oleh pengurus dan relawan Aura Lentera. Mereka berdiskusi tentang upaya membangun masyarakat inklusif di Banyuwangi. Tujuan kunjungan ini adalah mengumpulkan data dan informasi mengenai aktivitas pendampingan dan advokasi yang dilakukan Aura Lentera bagi penyandang disabilitas.

Windoyo, Ketua Yayasan Aura Lentera, menyatakan bahwa selama ini yayasannya aktif berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi dan  komunitas difabel. Namun, ia mengakui masih ada kendala, seperti ego sektoral kelompok tertentu serta stigma negatif masyarakat yang menghambat kemajuan penyandang disabilitas.

"Mental rendah diri di kalangan difabel juga menjadi tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan," ujar Windoyo.

Agus Wahyu Nuryadi (Bung Aguk), seorang sosialpreneur, menceritakan pengalamannya mendorong lembaga seperti Forum Banyuwangi Sehat, Puskesmas, dan dunia pendidikan untuk lebih ramah terhadap penyandang disabilitas. "Peran pemerintah sangat dibutuhkan melalui kebijakan yang mendukung anak berkebutuhan khusus dan masyarakat inklusif," tegasnya.


Sementara itu, Febrianto (Robin), aktivis UMKM, menyoroti upaya relawan dalam membuka lapangan kerja bagi difabel. "Kami mendorong instansi pemerintah dan swasta memberi kuota kerja, serta memastikan pelaku UMKM difabel mendapat kesempatan berjualan di stand-stand pameran," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Andre Waluyo, relawan IT sekaligus founder Aplikasi Gata, memperkenalkan fitur ramah tunanetra yang dikembangkan bersama Aura Lentera untuk mempromosikan bisnis dan komunitas difabel.

Endah Mirareta dari Liliane Fonds mengapresiasi diskusi ini. "Hampir semua aspek penting dari tujuh pilar inklusi telah dijalankan Aura Lentera. Data ini akan kami analisis untuk potensi kerja sama ke depan," ujarnya.

Diharapkan, kolaborasi antara Aura Lentera dan Liliane Fonds dapat memperkuat upaya mewujudkan masyarakat inklusif di Banyuwangi. (AW)



Sosialisasi Pengelolaan Keuangan Haji oleh BPKH: Komisi VIII DPR RI dan Kemenag Tegaskan Transparansi dan Perlindungan Jamaah

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Sosialisasi pengelolaan dana haji digelar oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bekerja sama dengan Komisi VIII DPR RI di Hallroom Aston Banyuwangi Hotel & Conference Center pada Senin (19/5). Kegiatan ini diikuti oleh para pengurus Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), pimpinan pondok pesantren, anggota Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), serta perwakilan majelis taklim dari seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi.v


Dalam sambutannya, Anggota Komisi VIII DPR RI, Ina Ammania, menekankan urgensi transparansi dan literasi publik dalam hal pengelolaan dana haji. Ia menyatakan bahwa informasi yang valid dan terverifikasi menjadi kunci menjaga kepercayaan masyarakat. “Saya ingin informasi yang benar tentang dana haji sampai ke masyarakat. Jangan sampai ada kabar yang tidak jelas sumbernya, karena ini menyangkut kepercayaan umat,” tuturnya.

Ina juga mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya hoaks yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya terkait isu penggunaan dana haji. Ia turut menyoroti kasus jamaah haji ilegal, termasuk keberadaan rombongan liar (Romli) yang dilaporkan menyusup ke tenda-tenda jamaah resmi di Mina pada musim haji tahun 2024. Ia menegaskan bahwa pemerintah Arab Saudi telah memperketat regulasi perhajian, sehingga mereka yang tidak memiliki visa haji resmi tidak diizinkan masuk ke Masjidil Haram.

Lebih lanjut, Ina menyinggung persoalan daftar tunggu haji yang semakin panjang. Ia mengambil contoh di Embarkasi Makassar, di mana antrean keberangkatan jamaah telah mencapai 40 tahun. Dalam konteks ini, ia mendukung upaya reformasi sistem penyelenggaraan ibadah haji, termasuk rencana pengalihan sebagian besar operasional haji ke Badan Pelaksana Haji yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2026.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. H. Chaironi Hidayat, turut memberikan pernyataan dalam forum tersebut. Ia mengimbau seluruh elemen masyarakat agar lebih kritis dan selektif dalam menerima serta menyebarkan informasi yang berkaitan dengan dana haji. Menurutnya, KBIHU, pesantren, dan majelis taklim memiliki peran strategis sebagai agen edukasi yang bisa memperkuat literasi keagamaan sekaligus literasi keuangan publik.

Materi inti sosialisasi disampaikan oleh Fani Sufiyandi selaku perwakilan dari BPKH. Ia menjelaskan bahwa pengelolaan dana haji dilaksanakan secara profesional, berbasis prinsip nirlaba, dan semata-mata untuk kepentingan penyelenggaraan ibadah haji. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 serta fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara eksplisit melarang penggunaan dana setoran awal haji untuk keperluan non-haji, termasuk proyek infrastruktur yang tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan haji.

“Dana haji bukan untuk mencari keuntungan, melainkan diarahkan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas layanan. Mulai dari transportasi, akomodasi, hingga penyediaan konsumsi jamaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina,” ujar Fani.

Dalam sesi dialog, muncul sejumlah tanggapan kritis dari peserta. Ustaz Muporrobin dari Pesantren Nur Cahaya, misalnya, mempertanyakan efektivitas pemanfaatan dana haji. Sementara itu, Muhammadun dari Pesantren Darussalam mengeluhkan tingginya biaya haji untuk tahun 2025, khususnya di Embarkasi Surabaya.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Ina Ammania menjelaskan bahwa terdapat skema dana abadi umat yang berasal dari selisih biaya penyelenggaraan haji sebelumnya. Dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kemaslahatan umat, dengan catatan penggunaannya tetap dalam koridor prinsip syariah dan sesuai ketentuan regulasi yang berlaku.

Melalui sosialisasi ini, penyelenggara berharap akan tercipta pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif di kalangan masyarakat terhadap sistem pengelolaan dana haji. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk meminimalisasi penyebaran informasi yang keliru atau menyesatkan, yang selama ini kerap menjadi sumber keresahan umat.


.

Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus


*Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus*


 


Pinus-pinus menjuntai tangannya perlahan, seolah ingin menyentuh langit sore yang sedang memudar. Sejak siang, matahari tak muncul. Barangkali ia sedang lelah menjadi pusat segalanya. Atau mungkin, ia ingin memberi ruang pada warna-warna lain untuk tumbuh tanpa bayangannya. Di antara batang-batang pinus yang diam, seekor burung kecil melintas cepat, melawan arah angin. Sungai kecil yang biasa dipakai rafting mengalir pelan, sesekali memantulkan bayang-bayang ranting yang melengkung seperti jemari patah.


Di sinilah kita berdiri.  Berjalan. Duduk. Tertawa sedikit. Diam agak lama. Lalu berjalan lagi. Kadang berpegangan tangan, kadang hanya saling memandang sambil tersenyum seperti dua anak kecil yang baru saja tahu bahwa hidup tidak sesederhana kata “iya” dan “tidak”.


Hutan pinus ini bukan Eropa. Bukan Swiss. Tapi barangkali tidak terlalu penting. Sebab kita tak sedang mengejar label, kita hanya sedang menyelami pelan-pelan rasa yang muncul tiba-tiba seperti bunga yang tumbuh di musim kemarau. Tidak seharusnya ia mekar, tapi kenyataan tidak selalu tunduk pada musim. Begitulah rasa ini, yang tiba-tiba tumbuh—tak tahu malu, tak tahu takut.


Kita duduk di sebuah batang pinus tumbang, basah sedikit. Tak apa. Ada matamu yang bening, menatapku seperti seseorang yang sedang mendengarkan lagu sedih di penghujung hujan. Gerimis turun. Pelan. Seolah ragu. Lalu hujan datang, membawa aroma tanah basah yang entah mengapa mengingatkanku pada rumah, masa kecil, dan suara ibu yang memanggil dari dapur. Tapi suara itu menjauh, dan yang tersisa hanya kamu.


"Aku suka caramu diam," kataku waktu itu.

"Kamu suka banyak hal aneh," jawabmu.

Dan kita tertawa. Bukan tawa keras, bukan tawa ringan. Tapi tawa yang lahir dari kenyataan bahwa kita sedang ada di antara ragu dan pasti, antara keinginan dan kenyataan.

Hujan mulai deras. Tapi kita belum mau pulang. Kita tahu tubuh bisa basah, tapi kita juga tahu tubuh akan kering. Tapi waktu? Ia tidak bisa kembali kering setelah diguyur hujan seperti ini. Kita punya satu sore ini, dan entah kapan lagi kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita buka payung. Payung kecil, seperti cinta yang baru saja berani muncul ke permukaan setelah lama tersembunyi di bawah lapisan akal sehat.

Tepi sungai menjadi tempat kita bersandar. Air melintas seperti perasaan: kadang deras, kadang tenang. Suatu waktu, aku lupa bagaimana awalnya, aku mendekat. Matamu tak menolak. Dan saat bibirku menyentuh pipimu, detak jantungku seperti pelari maraton yang tiba-tiba disuruh berhenti. Tak tahu harus bagaimana, tapi tubuh mengikuti apa yang diyakini oleh hati: bahwa kamu adalah rumah dari semua lelahku.

Beberapa orang menyebut perasaan seperti itu birahi. Tapi kita tahu, itu hanya cara dunia menamai sesuatu yang tak bisa mereka pahami. Bagi kita, itu adalah bahasa tubuh yang diterjemahkan oleh rindu yang lama tertahan. Bukan soal keinginan untuk memiliki, tapi kebutuhan untuk menyatu. Sekaligus sadar bahwa kita bisa saja hanyut dalam hasrat, namun masih bisa menemukan jalan pulang ke dalam dada masing-masing.

"Apakah ini cinta?" tanyamu, pelan.

Aku menoleh. Di matamu ada kabut. Bukan karena embun, tapi karena pertanyaan itu sendiri.

"Cinta tak perlu ditanya," jawabku. "Ia datang seperti hujan sore ini. Tak bertanya, tak minta izin."

Di tempat lain, mungkin di negara-negara empat musim, cinta perlu aturan. Perlu status. Perlu janji. Tapi di sini, di sudut Banyuwangi ini, cinta cukup berjalan berdua di bawah hujan, menyeduh kopi yang tak terlalu manis, lalu bercerita tentang masa lalu yang tidak terlalu menyakitkan dan masa depan yang tak perlu dipaksakan.

Di hadapan hutan pinus, kita belajar bahwa cinta bisa hadir dalam diam. Dalam pelan. Dalam sederhana.

Senja mendekat. Kabut mulai turun dari atas bukit. Tapi kita belum juga beranjak. Rasanya kita sedang menunda sesuatu yang sulit dihadapi: pulang. Sebab pulang berarti kembali ke dunia di mana kita harus berpura-pura. Pura-pura tidak jatuh cinta. Pura-pura tidak rindu. Pura-pura tidak ingin menyebut nama satu sama lain setiap saat.

Aku tahu besok kamu akan kembali ke kota. Kembali jadi orang penting yang banyak rapat. Aku juga tahu, aku akan kembali ke meja kerja, menatap layar, mengetik sesuatu yang tidak membuat jantungku berdegup seperti ketika menyentuh pipimu tadi. Dunia menunggu kita kembali. Tapi dunia tidak tahu bahwa sore ini, di tengah hujan dan pinus, ada dua manusia yang sedang belajar untuk ikhlas.

"Aku ingin berhenti waktu," katamu.

"Kalau waktu berhenti, kita akan kehilangan kenangan," jawabku.

"Kenangan bisa menyakitkan," balasmu.

"Tapi tanpanya, kita tak akan pernah tahu bahwa kita pernah bahagia."

Di tengah percakapan itu, aku menyadari bahwa cinta tidak butuh definisi. Ia hanya perlu dihidupi. Diselami. Dirayakan. Bahkan jika suatu hari ia harus pergi, setidaknya ia pernah ada. Seperti hujan sore ini yang barangkali akan berhenti, tapi aromanya akan tinggal di jaket kita sampai esok hari.

Dan kamu, tetap duduk di sana. Menatapku. Seolah-olah kamu tahu bahwa aku tak akan pernah bisa melupakan sorot matamu yang sendu. Kita bukan siapa-siapa. Tapi bagi semesta kecil di hutan pinus ini, kita adalah sepasang manusia yang sedang menulis puisi dengan tubuh dan perasaan. Dan puisi itu tidak perlu dibacakan. Ia cukup hidup di antara gerimis dan napas yang kita hembuskan bersama.

Kita bukan benar-benar di Swiss. Tapi siapa bilang cinta hanya bisa tumbuh di negeri bersalju? Di lereng Banyuwangi ini, cinta bisa tumbuh dari payung kecil, dari tangan yang saling menggenggam, dari pelukan pelan yang tak ingin terburu-buru.

Kita tahu, dunia tak selalu adil. Kita juga tahu, waktu tak bisa diajak kompromi. Tapi selama kita masih bisa menatap langit yang sama, selama payung ini masih bisa menutupi dua orang, dan selama senyummu masih bisa memantul di mataku, maka aku akan percaya bahwa cinta tidak pernah salah alamat.

Malam datang. Hujan reda. Kita mulai berjalan turun. Pelan. Meninggalkan aroma pinus dan suara air yang mengalir seperti lagu lama yang baru saja didengar ulang. Dan dalam hati, aku tahu: tak peduli ke mana kaki melangkah nanti, aku pernah punya satu sore yang membuatku merasa utuh.

Di tengah dunia yang kerap membuat manusia merasa kehilangan, kita telah menemukan diri kita sendiri—di balik payung kecil itu, di bawah pinus yang menjuntai tangan ke langit, di tepi sungai kecil yang menyimpan bisik-bisik rahasia.

Dan semua itu, terjadi bukan di Swiss. Tapi di salah satu puncak kecil di Banyuwangi, yang oleh sebagian orang disebut biasa saja. Tapi bagi kita, ia adalah tempat di mana cinta akhirnya berani menyebut dirinya sendiri: hadir.

Songgon, 18-05-2025

Seni yang Resah di Padepokan Tua: Dari Kopi, Kata, dan Kegelisahan Budaya

Lemahbang Dewo, (Warta Blambangan) Sabtu Sore (17/05/2025)  menyelinap pelan di desa Lemahbang Dewo. Langit seperti kanvas senja yang digores lembayung. Di antara rindang bonsai tua yang seolah menyimpan rahasia zaman, sebuah padepokan milik Profesor Jaenuri menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan.

Tidak ada panggung resmi. Tidak ada meja panel atau mikrofon. Gesah sore itu berlangsung tanpa moderator, mengalir sekenanya, seperti sungai kecil yang mengikuti lekuk tanah. Di tempat yang oleh warga sekitar dijuluki “palagan seni” atau “tempat orang-orang bersila dalam diam,” berkumpullah para pengangguran, penyair, dan budayawan Banyuwangi. Mereka datang tak berseragam, tak bertata protokoler. Mereka hadir seperti daun yang tahu arah angin. Dengan secangkir kopi dan hati yang tersulut, mereka bicara: tentang budaya, tentang luka, dan tentang jalan pulang. 

Diskusi dimulai pelan. Di hadapan gelas kaca yang mulai berembun dan kue pisang yang tak sempat dipilih, Aekanu Hariyono dari Killing Osing membuka suara. Pria yang dikenal menyulap panggung-panggung musik menjadi altar kesadaran budaya itu berkata lirih tapi tegas,

“Seni itu bukan wilayah liar. Ia punya pakem. Sejak zaman keraton, sampai zaman kemerdekaan, ada garis-garis yang tak boleh dilanggar. Kita boleh kreatif, tapi tak bisa liar tanpa arah.”

Sejenak hening. Angin sore membawa aroma kopi dari dapur kayu. Lalu, suara Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, memecah diam. Wajahnya seperti sedang membaca kitab tua yang isinya retak di tengah.

“Pakem itu roh,” katanya, “tapi agar roh itu tidak membeku, ia harus disiram sentuhan religi. Ruh yang ditinggal nilai-nilai langit akan hanyut di sungai gemerlap yang membawa kita pada pamer tubuh dan goyangan tak layak.”

Diskusi itu bukan seminar. Ia seperti zikir diam-diam. Sebuah sembahyang tanpa sajadah. Hadir pula Fatah Yasin Nor, penyair yang menulis dari patahan sejarah, dan Ribut Kalembuan, budayawan yang biasa menyampaikan sindiran lewat parikan dan celetuk. Tapi sore itu, Ribut lebih banyak diam. Mungkin terlalu pedih untuk diucapkan.

KRT Ilham, lelaki abdi negara yang dikenal sebagai ahli keris dan pawang hujan dalam upacara Proklamasi di Ibu Kota Nusantara, hanya mengangguk dan berkata pendek,

“Dulu, hujan pun tahu malu saat hendak turun di waktu sakral. Tapi sekarang, manusia malah bersorak saat seni kehilangan pakaiannya.”

Sementara itu, Moh. Husen, penulis yang menjadikan tiap lembah dan gang kampung sebagai aksara hidup, mencatat. Entah esok catatan itu menjelma sajak atau esai pedih tentang zaman yang menertawakan dirinya sendiri.

Topik utama sore itu adalah pertunjukan seni yang belum lama ini digelar, dan menuai kehebohan karena menghadirkan atraksi yang menjurus ke pornografi. Tubuh yang dipamerkan di panggung bukan untuk memuliakan rasa, melainkan untuk dijual pada mata yang lapar dan mulut yang bersorak. Seni ditarik ke lembah murahan. Budaya Banyuwangi, yang semestinya harum oleh dupa dan kidung, justru berbau kosmetik murahan dan parfum panggung.

Tak ada nama yang disebut. Tak ada personal yang disalahkan. Yang mereka persoalkan adalah arah. Bahwa arah seni telah bergeser. Bahwa kompas budaya kehilangan utara. Bahwa “kreativitas” kini menjadi dalih untuk segala hal, termasuk yang menjatuhkan marwah dan mencoreng warisan luhur.

Sore merambat ke malam. Lampu minyak dinyalakan. Tak ada resolusi resmi. Tak ada notulensi. Tapi diskusi itu menyisakan bara. Mereka pulang dengan dada yang masih hangat oleh kopi dan kata. Budaya belum mati, pikir mereka. Selama masih ada yang resah. Selama masih ada yang berani bicara, meski panggungnya hanya bale bambu di tengah desa.

Dan Padepokan Jaenuri, di tengah sunyi Lemahbang Dewo, kembali menjadi altar. Tempat doa-doa kebudayaan dinaikkan. Dengan bahasa. Dengan cinta. Dengan harapan, bahwa anak cucu kita kelak tidak sekadar menonton tubuh, tapi merasakan ruh.

— Redaksi Lentera Budaya Banyuwangi

Polresta Banyuwangi Implementasikan Program Humanis “Mayur Kamtibmas” sebagai Strategi Pendekatan Sosial dan Edukasi Keamanan

 

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyuwangi kembali merealisasikan komitmen institusionalnya dalam memperkuat hubungan sosial dengan masyarakat melalui pelaksanaan program “Mayur Kamtibmas” (Mobil Sayur Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Kegiatan ini diselenggarakan di Dusun Maron, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, dengan melibatkan kolaborasi multi-stakeholder yang terdiri atas Satuan Pembinaan Masyarakat (Binmas) Polresta Banyuwangi, Polsek Genteng, Pemerintah Desa, serta unsur Bhayangkari.

Program Mayur Kamtibmas merupakan inovasi strategis berbasis pendekatan humanistik yang bertujuan memberikan dukungan sosial berupa distribusi kebutuhan pokok kepada masyarakat kurang mampu, serta menyampaikan edukasi langsung terkait urgensi pemeliharaan keamanan dan ketertiban lingkungan. Pelaksanaan program ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek karitatif, tetapi juga sebagai wahana komunikasi dua arah antara aparat penegak hukum dan warga.

Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, personel kepolisian mendistribusikan paket sembako dan sayur kepada warga rentan ekonomi, sembari menyampaikan materi edukatif tentang pentingnya kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat dalam menjaga stabilitas sosial. Respons masyarakat menunjukkan apresiasi tinggi terhadap program ini, yang dinilai memberikan manfaat nyata dan meningkatkan rasa dihargai dalam struktur kehidupan sosial. 


Kapolresta Banyuwangi, Kombes Pol. Rama Samtama Putra, S.I.K., M.Si., M.H., dalam pernyataannya menyatakan bahwa program Mayur Kamtibmas merupakan implementasi nyata dari paradigma kepolisian modern yang menempatkan pendekatan humanis sebagai landasan utama dalam membangun kepercayaan publik.

“Program ini tidak sekadar kegiatan bantuan sosial, tetapi juga merupakan instrumen untuk membangun komunikasi dan kolaborasi berkelanjutan antara aparat keamanan dan masyarakat. Keamanan lingkungan tidak bisa hanya dibebankan kepada institusi kepolisian, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif,” jelasnya.

Lebih lanjut, Kombes Pol. Rama menegaskan bahwa keberlanjutan program ini di berbagai wilayah akan memperkuat sinergi antara Polri dan masyarakat dalam menciptakan kondisi sosial yang aman, tertib, dan berdaya secara ekonomi maupun hukum.

Dari sisi pemerintahan desa, Kepala Desa Genteng Kulon, Supandi, turut mengemukakan apresiasinya terhadap implementasi program tersebut. Ia menyatakan bahwa program Mayur Kamtibmas memberikan nilai tambah yang signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat desa.

“Kami sangat mengapresiasi inisiatif ini. Selain mendukung kebutuhan dasar warga, kegiatan ini turut mempererat relasi antara masyarakat dan aparat keamanan. Harapan kami, program ini dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak wilayah. Kolaborasi semacam inilah yang menjadi fondasi desa yang aman dan harmonis,” ujarnya.

Sementara itu, partisipasi warga dalam kegiatan tersebut menunjukkan dimensi partisipatif yang konstruktif. Salah satu penerima manfaat, Bu Wati, menyampaikan kesan positifnya atas kehadiran program tersebut.

“Kami merasa diperhatikan. Tidak hanya menerima bantuan, tapi juga mendapat pemahaman baru tentang pentingnya menjaga keamanan di lingkungan sekitar. Semoga kegiatan seperti ini terus dilakukan dan semakin banyak warga yang terlibat,” ungkapnya.

Secara keseluruhan, program Mayur Kamtibmas mencerminkan pendekatan integratif yang menggabungkan dimensi sosial, edukatif, dan preventif. Keberlanjutan program ini diharapkan dapat membentuk kultur keamanan berbasis kesadaran kolektif dan memperkuat daya tahan sosial masyarakat terhadap potensi gangguan kamtibmas.

Dengan demikian, Polresta Banyuwangi menunjukkan bahwa upaya menjaga stabilitas keamanan tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan represif, tetapi juga melalui strategi humanis dan kolaboratif yang menyentuh akar kehidupan masyarakat.

Rujak Soto dan Kue Bagiak: Warisan Rasa yang Kini Sah Menjadi Kekayaan Bangsa

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Di bawah langit Blambangan yang mengguratkan kabut pagi dan nyanyian laut selatan, dua pusaka rasa akhirnya menapaki podium pengakuan. Rujak Soto—sebuah simfoni kuliner dari petis dan kuah daging—serta Kue Bagiak—renyah manis yang lahir dari panggangan masa silam—kini telah sah menjadi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) milik Banyuwangi. Sebuah kabar yang bukan hanya menenangkan lidah, tapi juga menggembirakan jiwa.

Pada 24 Maret 2025, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM resmi menyerahkan surat pencatatan KIK itu kepada Pemkab Banyuwangi. Sebuah pengesahan yang tidak hanya menambatkan rasa pada tempat kelahirannya, tapi juga mengikatkan jati diri budaya pada batang tubuh sejarah. 


Seperti matahari yang bangkit dari ujung timur Jawa, pengakuan ini menyinari jejak-jejak kuliner yang telah lama menjadi napas keseharian rakyat Banyuwangi. Rujak soto bukan sekadar hidangan, melainkan cerita tentang keberanian mencampur dua kutub rasa menjadi satu—sebuah cerminan harmoni di tengah keberagaman. Dan kue bagiak, dengan gurih kelapanya dan rasa manis yang membekas, mengajarkan bahwa kenangan bisa dilipat dalam gigitan.

Sebelum keduanya, telah lebih dahulu tercatat lima kuliner Blambangan sebagai KIK: sego cawuk yang menggamit rasa pagi, sego tempong dengan semburan cabai yang jujur, pecel pitik sebagai jamuan upacara, ayam kesrut yang mencecap asam pedas, dan pecel rawon, pertautan lembut sayur dan daging dalam balutan bumbu hitam.

Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, menyambut kabar ini dengan syukur dan komitmen. “Alhamdulillah, rujak soto dan kue bagiak sudah sah diakui secara hukum berasal dari Banyuwangi. Ini bukan hanya legalitas, tapi penghormatan kepada para leluhur yang telah mewariskan rasa. Ke depan, kita akan terus menjaga dan melestarikan agar warisan ini tak hilang digerus zaman,” tuturnya dalam nada penuh harap, Kamis (15/5/2025). 


KIK adalah pagar hukum bagi warisan tradisi. Ia melindungi, menyekat dari tangan-tangan yang ingin mencuri identitas. Dalam dunia yang kian datar dan seragam, pengakuan semacam ini menjadi semacam mantra untuk mempertahankan keunikan lokal.

Sejak 2021, sebanyak 220 produk telah diajukan oleh Pemkab Banyuwangi kepada Kemenkumham. Bukan hanya makanan, tapi juga kriya dan nama dagang yang lahir dari tangan-tangan warga Blambangan. Dari jumlah itu, sebagian besar telah mengantongi KIK, sementara sisanya masih dalam antrean panjang proses negara.

“Kita ingin tahu walik dan pindang koyong juga segera tercatat. Keduanya telah kita ajukan sejak tahun 2023,” ujar Ipuk, sembari mengisyaratkan bahwa perjuangan belum selesai. Lidah-lidah rakyat tak akan berhenti meracik, mencipta, dan mewariskan.

Tahun ini, enam produk kembali dikirim untuk dinilai dan diakui sebagai milik Bumi Blambangan. Termasuk di antaranya tagline The Sunrise of Java, yang selama ini menjadi salam pembuka Banyuwangi kepada dunia, dan Internasional Tour de Banyuwangi Ijen (ITDBI), ajang olahraga yang melintasi lereng-lereng keindahan Gunung Ijen.

Tak hanya komunal, hak cipta individu juga menjadi perhatian. Pemerintah daerah menggelar sosialisasi agar para pelaku UMKM dan masyarakat sadar akan pentingnya mendaftarkan karya mereka. Salon kecantikan, beras biofortifikasi, bahkan warung kopi pun bisa menjadi karya berharga jika dikelola dengan rasa bangga dan hukum yang menyertai.

“Dengan mendaftarkan hak cipta, masyarakat tak hanya mendapat perlindungan hukum, tetapi juga perlindungan ekonomi. Sertifikat itu bisa jadi jaminan fidusia, bisa jadi modal kerja,” pungkas Ipuk.

Rujak soto dan kue bagiak kini tak lagi sekadar sajian warung atau bingkisan tamu dari Banyuwangi. Ia telah menjadi mahkota dari lidah rakyat, menjadi pusaka sah milik negeri. Di setiap suapan, tersimpan benih keabadian. Di setiap gigitan, mengalir kisah yang tak akan usai ditulis oleh zaman.
(*)

Sebanyak 376 Jamaah Haji Kloter Sub-44 Banyuwangi Dilepas Bupati Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Sebanyak 376 jamaah haji asal Banyuwangi yang tergabung dalam Kloter Sub-44 diberangkatkan ke Asrama Haji Surabaya pada Selasa pagi, 13 Mei 2025. Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani melepas secara langsung para tamu Allah di halaman Kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.



Dalam sambutannya, Bupati Ipuk menyampaikan harapan agar para jamaah senantiasa menjaga sikap dan menjadi duta bangsa yang membawa nama baik Indonesia, khususnya Banyuwangi.



"Bapak-Ibu adalah duta bangsa. Jaga sikap, jaga kekompakan, mari kita manfaatkan undangan dari Allah ini dengan sebaik-baiknya. Kita umat Nabi Muhammad saling kuatkan persaudaraan," ujar Ipuk di hadapan ratusan jamaah dan keluarga yang mengantar.


Ipuk juga menitipkan doa kepada para jamaah agar memohonkan kebaikan dan keberkahan bagi Banyuwangi.


"Titip doa untuk Banyuwangi agar selalu dalam lindungan Allah, diberi keberkahan, dijauhkan dari hal-hal buruk," tambahnya.


Pagi itu, sebanyak sembilan rombongan dari Kloter Sub-44 menaiki armada bus yang telah disiapkan. Sebelum keberangkatan, Bupati Ipuk turut menyapa dan mendoakan jamaah langsung di dalam bus, satu per satu, memberikan semangat dan doa agar perjalanan ibadah haji berjalan lancar dan selamat hingga kembali ke tanah air.


Suasana haru dan khidmat menyelimuti proses pemberangkatan, diiringi lantunan salawat dan doa dari para petugas serta keluarga yang mengantar.


Jamaah haji Kloter Sub-44 ini dijadwalkan tiba di Asrama Haji Sukolilo Surabaya siang hari dan akan diterbangkan menuju Tanah Suci pada jadwal yang telah ditentukan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Pemerintah Kabupaten bersama Kantor Kementerian Agama Banyuwangi memastikan seluruh layanan keberangkatan berjalan lancar dan tertib.

Kepala SMPN menjadi Pembimbing Ibadah Haji Kloter

 Kepala SMPN menjadi Pembimbing Ibadah Haji Kloter

Saya mengenalnya tahun lalu di Makkah, Saat saya menjadi ketua kloter SUB-58. Namanya Zainur Rofik. Masih muda. Jauh lebih muda daripada saya. Tapi perannya penting. Dia ketua rombongan. Satu dari beberapa ketua rombongan yang saya koordinasi.

Yang paling saya ingat: dia berangkat bersama istrinya. Dan sang istri—yang kalem, murah senyum, dan sabar itu—selalu memanggilnya dengan sebutan yang membuat saya tertegun pertama kali mendengarnya: Sayyang.


Itu bukan panggilan umum di kloter kami. Bukan pula bahasa Arab. Saya baru tahu kemudian, itu bahasa Bugis. Artinya: sayang. Atau kekasih. Atau mungkin lebih tepat: belahan hati yang dikuduskan oleh waktu dan pengorbanan.

Saya sering mencatat panggilan-panggilan unik antara suami dan istri dalam kloter. Ada yang memanggil "Pakne", "Ibuk", ada pula "Mas", "Dik", atau yang paling sering: “Woi!” Tapi Sayyang adalah panggilan yang membuat saya diam sejenak. Dalam hati saya berkata, “Ah, masih ada cinta seperti ini di dunia yang bising oleh perceraian dan status galau.”

Zainur Rofik bukan hanya suami romantis. Ia juga seorang pengusaha. Awalnya saya hanya tahu itu. Seorang pebisnis muda. Tegap, rapi, komunikatif. Tapi setelah musim haji usai, ia ikut pelatihan pembimbing ibadah. Dan lolos. Saya ucapkan selamat padanya via WhatsApp. Dia balas dengan stiker tangan yang menengadah. Dan emoji mata berkaca-kaca.

Belakangan saya baru tahu: dia ternyata PNS. Bahkan kepala sekolah. Di sebuah SMP negeri di Banyuwangi. Itu mengejutkan saya. Bukan karena ia muda dan sudah kepala sekolah. Tapi karena baru kali ini ada petugas haji dari Banyuwangi yang berasal dari instansi pemerintah daerah—bukan dari Kementerian Agama, bukan pula dosen PTAI, apalagi ustaz dari pesantren. Zainur memecahkan pola. Dan ia melakukannya dengan tenang.

Saya tahu jalur seleksi petugas haji sekarang ketat. Tidak cukup hanya punya gelar agama. Harus ikut pelatihan. Harus lulus ujian. Harus bersedia berlelah-lelah. Dan—yang paling penting—harus tahan mental menghadapi 376 orang jamaah yang bisa menanyakan arah kiblat lima kali sehari, mengantar ke miqot jamaah yang umroh, berkomunikasi dengan masyarakat setempat dengan Bahasa Arab dan lain-lain.

Zainur membuktikan satu hal: manasik itu bisa dipelajari. Bukan warisan tunggal milik fakultas syariah atau alumni pesantren. Saya sendiri dari fakultas hukum. Dan saya bisa. Zainur dari fakultas pendidikan bahasa Inggris. Dan dia juga bisa. Karena manasik itu bukan tentang gelar. Tapi tentang belajar. Tentang panggilan.

Kadang saya merasa haji itu misterius. Ada orang yang niatnya setengah hati, tahu-tahu bisa berangkat. Ada pula yang menabung seumur hidup, tapi tak sempat berangkat karena dipanggil Allah lebih dulu. Begitu pula dengan petugas. Ada yang mengejar posisi itu bertahun-tahun dan tidak pernah lolos. Ada pula yang baru coba sekali langsung diterima. Panggilan itu misteri. Seperti cinta. Seperti takdir.

Zainur Rofik mengingatkan saya bahwa panggilan itu bisa datang pada siapa saja. Pada kepala sekolah. Pada pengusaha. Pada guru bahasa Inggris. Asalkan punya kesungguhan.

Saya tidak tahu apakah nanti dia akan kembali menjadi petugas lagi. Atau akan kembali penuh pada sekolah dan bisnisnya. Tapi saya yakin, dalam setiap rapat kloter, akan selalu ada satu orang istri yang memanggil suaminya dengan kata paling lembut yang pernah saya dengar di Makkah: Sayyang.

Banyuwangi Berangkatkan 752 Jamaah Haji dalam Dua Kloter Besar

Banyuwangi (Warta Blambangan) Sebanyak 752 jamaah haji asal Kabupaten Banyuwangi resmi diberangkatkan menuju Tanah Suci pada Senin, 12 Mei 2025. Prosesi pemberangkatan berlangsung khidmat di halaman Kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, yang terbagi dalam dua kelompok terbang (kloter) besar: SUB-42 dan SUB-43, masing-masing terdiri dari 376 jamaah.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. H. Chaironi Hidayat, menyampaikan bahwa tahun ini jamaah Banyuwangi tergabung dalam tujuh kloter, jumlah yang relatif sedikit dibandingkan daerah lain. Hal ini disebabkan oleh penerapan sistem baru oleh Pemerintah Arab Saudi dalam pengelolaan haji. 

"Jumlah jamaah yang sudah melakukan pelunasan awal sebanyak 1.144 orang. Namun satu orang di antaranya meninggal dunia sebelum keberangkatan," ujar Chaironi.

Dari total jamaah tersebut, sebanyak 72 orang tergolong lanjut usia. Jamaah tertua adalah Sukirman Kertonadi (94) dari Muncar, sedangkan yang termuda adalah Naila Nur Fitriah (18) asal Songgon.

Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, hadir langsung melepas para jamaah. Dalam sambutannya, ia mengungkapkan haru dan kebanggaannya melihat semangat para calon tamu Allah.

"Semangat dan keikhlasan yang terpancar dari wajah bapak ibu semuanya, mudah-mudahan kita doakan bersama, semoga beliau-beliau semua sehat hingga kembali. Saya melihat, bapak ibu sudah tidak sabar untuk segera berangkat," ungkap Ipuk.

Mengutip seorang ulama dan pemikir Islam, Ipuk mengajak jamaah untuk merenungi makna thawaf: “Ketika manusia mengelilingi Ka'bah bersama jutaan orang lain, ia menyadari betapa kecil dunia dan betapa besarnya umat Islam ketika bersatu dalam satu tujuan—mencari ridho Allah.”

Nilai-nilai tersebut, lanjut Ipuk, sangat penting dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam membangun Banyuwangi sebagai daerah yang religius, harmonis, dan berkemajuan. Ia pun menitipkan pesan kepada seluruh jamaah agar menjaga kekompakan, saling menolong, menaati aturan, dan menjaga sikap sebagai representasi bangsa.

“Jamaah haji Indonesia, khususnya Banyuwangi, adalah duta bangsa. Nama Indonesia dan Banyuwangi akan harum jika jamaahnya mampu mencerminkan Islam yang rahmatan lil alamin dan menjaga budaya Indonesia yang baik di mata dunia,” tegasnya.

Secara khusus, Ipuk juga menitipkan harapan agar para jamaah turut mendoakan Kabupaten Banyuwangi ketika berada di depan Ka’bah.

“Doakan agar Banyuwangi semakin baik, berprestasi, dan selalu dijaga Allah dari marabahaya dan bencana. Doa kami juga menyertai bapak ibu semua agar dapat menjalankan ibadah dengan lancar dan kembali dalam keadaan sehat,” tuturnya.

Menutup sambutannya, Ipuk mengajak seluruh hadirin untuk memaknai keberangkatan ini dengan penuh kesyukuran. “Di bumi ada Baitullah, dan di langit ada Baitul Ma’mur. Dengan mengharap ridho Allah. Insyaallah, menjadi haji yang mampu dan mabrur. Demikian yang bisa kami sampaikan,” pungkasnya.

Dari Abdullah bin Umar RA, “bahwasanya Nabi SAW bertakbir pada hari Idul Fitri sejak beliau keluar dari rumah sampai tiba di tempat salat (lapangan).“(HR. As-Sayuthi)).

Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan anjuran melafalkan kalimat Allahu Akbar pada saat Idul Fitri, dimana Rasulullah SAW senantiasa bertakbir ketika menuju tempat salat Idul Fitri.

Idul Fitri merupakan salah satu hari besar bagi umat Islam. Karenanya, Islam membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu, salah satunya dengan bertakbir. Membaca kalimat takbir, tahmi, dan tahlil pada malam Idul Fitri merupakan ibadah yang disunahkan bagi umat Islam. Anjuran bertakbir ini dapat dilakukan di rumah, di masjid, di kendaraan, di jalan, di rumah sakit, di kantor, dan di tempat-tempat umum sebagai syiar keagamaan. Pada tahun-tahun sebelumnya, semarak bertakbir biasa dilakukan dengan berkeliling kampung oleh sekelompok anak-anak pengajian atau kaum remaja masjid sambil membawa bedug dan menyalakan obor. Demikian pula, orang-orang berkumpul mengumandangkan takbir di masjid maupun musalla.

Kalimat “sejak beliau keluar dari rumah sampai tiba di lapangan”menunjukkan salah satu moment sunnah mengumandangkan takbir yaitu ketika berjalan dari rumah menuju masjid. Mengapa? Karena kebanyakan orang melupakan atau lalai bertakbir pada saat berjalan dari rumah ke tempat salat, sehingga Rasulullah SAW memberikan contoh bertakbir sambil melangkahkan kaki ke tempat salat. Alasan lainnya, karena perintah bertakbir di malam Idul Fitri telah ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu perintah  bertakbir sejak terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadan sebagaimana firman Allah SWT: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Dalam tafsir Al-Jami` Li Ahkamil Quran karya Al-Qurthubi disebutkan bahwa ayat ini telah menjadi dasar perintah mengumandangkan takbir di malam `Idul Fitri. Sebab perintah bertakbir pada ayat tersebut bersamaan dengan berakhirnya hitungan Ramadan. Artinya bertakbir tidak dimulia sejak pagi hari keesokan harinya, melainkan sejak terbenam matahari sampai pelaksanaan salat Idul Fitri.

Kalimat takbir yaitu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar merupakan kalimat yang paling mudah diucapkan yang terkandung kemuliaan dan kebesaran Dzat Allah SWT. Tidak ada kata lain yang paling pantas untuk mengekspresikan keberhasilan spiritual atas kemenangan meraih petunjuk Allah SWT di bulan Ramadan selain kalimat Allahu Akbar. Bertakbir di malam Idul Fitri bukanlah sekedar ucapan lisan, tetapi ekspresi keimanan yang menyatakan keagungan Allah SWT dan keyakinan bahwa tidak ada satupun benda atau mahkluk yang lebih agung dan sempurna dari-Nya, dan manusia tidak memiliki daya dan kekuatan apapun tanpa kehendak-Nya. Menyemarakkan bertakbir atau mengagungkan Allah SWT atas dorongan keimanan dan berharap ridha-Nya sangat baik dan lebih mendatangkan berkah, karena mengagungkan nama-Nya sama saja memperkuat rasa syukur dan membuat hubungan batiniah kita dengan Allah SWT selalu dekat, dan kita menyakini akan selalu terlindungi dari perbuatan dosa akibat tipu daya setan yang terkutuk.

Selain dianjurkan bertakbir, di malam hari raya Idul Fitri juga dianjurkan memperbanyak beribadah dan berdoa memohon rahmat Allah SWT. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm mengatakan, terdapat lima malam untuk menghaturkan do’a yang mudah diijabah antara lain: malam Jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama Rajab, dan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, semarakkanlah malam Idul Fitri dengan bertakbir dan memperbanyak berdoa, serta janganlah malam Idul Fitri dihabiskan dengan kesibukkan mempersiapkan makanan di hari raya. Tetapi sisipkan waktu untuk bermunajat di malam Ied.

Semarak Bertakbir di Tengah Pandemi
Dalam kondisi pandemi virus corona ini menjadikan perayaan malam Idul Fitri berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun ini, semarak bertakbir dalam dilakukan di masjid dengan memenuhi protokol kesehatan, dan dianjurkan menyemarakkan takbir di rumah bersama anggota keluarga atau melalui media sosial. Untuk sementara orang dilarang melakukan takbir keliling, dan diminta tetap berada di rumah demi memutus penyebaran virus penyebab Covid-19.

Tapi bukan berarti tak bisa melaksanakan ibadah malam takbiran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan panduan melaksanakan takbiran. Pedoman ini tertuang dalam fatwa No. 28 tahun 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan salat Idul Fitri saat pandemi Covid-19.  Berikut panduan takbir Idul Fitri:

1. Setiap Muslim dalam kondisi apapun disunahkan untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan takbir, tahmid,  tahlil menyeru keagungan Allah SWT.

2. Waktu pelaksanaan takbir mulai dari tenggelamnya matahari di akhir Ramadan hingga jelang dilaksanakannya salat Idul Fitri.

3. Disunahkan membaca takbir di rumah, di masjid, di pasar, di kendaraan, di jalan, di rumah sakit, di kantor, dan di tempat-tempat umum sebagai syiar keagamaan.

4. Pelaksanaan takbir bisa dilaksanakan sendiri atau bersama-sama, dengan cara jahr (suara keras) atau sirr (pelan).

5. Dalam situasi pandemi yang belum terkendali, takbir bisa dilaksanakan di rumah, di masjid oleh pengurus takmir, di jalan oleh petugas atau jamaah secara terbatas, dan juga melalui media televisi, radio, media sosial, dan media digital lainnya.

6. Umat Islam, pemerintah, dan masyarakat perlu menggemakan takbir, tahmid, dan tahlil saat malam Idul Fitri sebagai tanda syukur sekaligus doa agar wabah Covid-19 segera diangkat oleh Allah SWT.

Demikian, semoga bermanfaat.

Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)
 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog