Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Ngelukat di Banyuwangi

 *Ngelukat*

Saya tidak sedang ingin menulis tentang budaya. Tapi setiap kali kata “ngelukat” muncul, saya teringat air. Dan air adalah hal paling jujur di dunia ini. Di kalangan masyarakat Osing Banyuwangi, ngelukat berarti menyucikan diri. Konon berasal dari ajaran Hindu. Tapi saya tidak tertarik dari mana asalnya. Saya lebih tertarik pada bagaimana sebuah tradisi bisa tetap hidup meski tak ada yang benar-benar mengerti maknanya secara utuh.

Saya pernah diajak ngelukat. Diajak begitu saja. Tidak ada upacara. Tidak ada bendera. Tidak ada juru foto. Hanya saya, tubuh saya, dan seember air pancuran pegunungan yang dinginnya terasa seperti sisa kutukan dari masa lalu. Saya tidak tahu apakah air itu suci, tapi saya percaya air tidak pernah punya niat buruk. Saya diam, lalu menyiramkan air ke kepala. Seperti orang yang ingin memaafkan diri sendiri, padahal tahu tidak semua bisa dimaafkan.

Ngelukat, di Banyuwangi, katanya bagian dari warisan budaya Osing. Tapi Banyuwangi itu sendiri adalah perpaduan yang terlalu jujur antara nuansa Islam, Hindu, dan entah apa lagi. Di satu sisi orang membaca shalawat dalam irama Gembrung yang menggetarkan, di sisi lain ada yang duduk di bawah pohon tua, membisikkan doa dalam bahasa Osing atau jawa. Semuanya hidup bersama. Tidak bertengkar. Tidak merasa paling benar. Kadang saya iri pada ketenteraman seperti itu. 

Dalam dunia yang begitu ingin semua dijelaskan, ngelukat adalah pengecualian. Ia tidak butuh kata. Tidak butuh dalil. Bahkan tidak butuh tujuan. Ia hanya berlangsung, seperti angin laut yang tak pernah minta difoto tapi tetap membuat orang merasa damai. Kadang saya berpikir, jangan-jangan ngelukat bukan tentang membersihkan dosa. Tapi tentang menerima bahwa kita tidak akan pernah benar-benar bersih. Dan itu tidak apa-apa.

Di Banyuwangi Ethno Carnival tahun ini, ngelukat dijadikan tema. Orang-orang berdandan. Kostum dibuat dari ide tentang rahim, air ketuban, masa kecil, remaja, dewasa, dan seterusnya. Semua tampak megah. Semua tampak bermakna.

Saya tidak ingin mengecilkan itu. Tapi saya tahu, ngelukat tidak butuh perayaan. Ia hanya butuh kesepian. Ia hanya butuh satu orang yang mau berkata dalam hati: “Saya capek jadi orang yang terus berpura-pura.” Dan air akan datang. Tanpa janji. Tanpa pamit. Tradisi ini tidak butuh panggung. Tapi saya maklum kalau pemerintah perlu membuat tema, perlu mengangkat budaya. Saya tidak sinis. Saya hanya tidak yakin tradisi semacam ini bisa dijelaskan melalui tata rias dan koreografi.

Karena ngelukat sejatinya bukan milik siapa-siapa. Ia milik orang yang pernah seperti ingin bunuh diri tapi kemudian berubah pikiran setelah menyiram muka dengan air pancuran jam tiga pagi. Ia milik perempuan tua yang mencuci kaki anaknya sebelum berangkat kerja. Ia milik siapa saja yang masih percaya bahwa air bukan sekadar basah, tapi mengandung sesuatu yang lebih dalam dari luka.

Saya pernah merasakan air zam-zam di Mekah. Rasanya biasa saja. Tapi saya menangis waktu meminumnya. Bukan karena keajaibannya. Tapi karena saya teringat air itu didapatkan dengan penuh doa dan perjuangan, saya juga teringat pancuran di dusun Bayu, tempat saya pertama kali diajak ngelukat oleh seorang lelaki yang sudah tidak ada.ia bilang: “Air itu tidak menghapus dosa. Tapi bisa mengingatkan kita bahwa kita masih bisa mulai lagi.”

Sejak itu, saya percaya bahwa air bukan benda mati. Air punya cara sendiri untuk berbicara. Ia menyusup ke pori-pori tubuh dan menyampaikan pesan tanpa suara. Kadang pesan itu hanya satu: “Tenanglah sebentar. Kamu tidak harus selalu baik.”

Saya tahu manusia tidak akan pernah sepenuhnya bersih. Bahkan setelah mandi tujuh kali. Bahkan setelah ngelukat di tujuh sumur berbeda. Tapi mungkin kita tidak diminta untuk benar-benar bersih. Kita hanya diminta untuk tidak menyerah.

Dan ngelukat, dalam bentuknya yang paling sunyi, adalah cara untuk tidak menyerah. Cara untuk berkata kepada diri sendiri: “Aku tidak baik. Tapi aku ingin mencoba jadi baik, setidaknya hari ini.”

Saya tidak tahu apakah itu disebut spiritualitas. Tapi saya tahu itu manusiawi. Dan dalam dunia yang terlalu ribut ini, menjadi manusia yang jujur kepada dirinya sendiri sudah lebih dari cukup. 


Kalau kamu ke Banyuwangi, jangan cari tempat ngelukat yang paling ramai. Carilah yang paling sepi. Yang tidak punya plakat. Tidak masuk Instagram. Tidak ada tiket masuk. Datangi pancuran itu. Duduklah. Dengarkan airnya. Jangan bicara. Jangan berharap apa-apa. Lalu basuh wajahmu.

Dan biarkan air berbicara.

Banyuwangi Siap Gelar Sekolah Rakyat: MoU antara Mensos dan Bupati Tandai Implementasi Tahap Awal

JAKARTA (Warta Blambangan) Kabupaten Banyuwangi secara resmi memenuhi seluruh indikator kelayakan sebagai lokasi pelaksanaan Sekolah Rakyat rintisan, sebuah program strategis nasional yang diinisiasi oleh Presiden Republik Indonesia dalam rangka pengentasan kemiskinan ekstrem dan pemerataan akses pendidikan. Kelayakan ini ditetapkan setelah hasil asesmen menyeluruh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU), dan ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri Sosial Dr. (H.C.) Saifullah Yusuf dan Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pada Kamis (10/7/2025) di Gedung Aneka Bhakti, Kementerian Sosial RI, Jakarta.

Program Sekolah Rakyat merupakan bagian integral dari Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, yang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Program ini dirancang untuk menjawab persoalan ketimpangan pendidikan dengan pendekatan terstruktur, berbasis komunitas, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat rentan secara ekonomi dan geografis.

Menteri Sosial, yang akrab disapa Gus Ipul, menjelaskan bahwa Banyuwangi termasuk dalam 63 kabupaten/kota yang akan memulai operasional Sekolah Rakyat rintisan secara serentak pada 14 Juli 2025. Kabupaten ini dinyatakan siap dari tiga dimensi utama: infrastruktur pendidikan, kesiapan peserta didik, serta ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan yang terstandar.

“Dari hasil asesmen teknis Kementerian PU, Banyuwangi memenuhi indikator kelayakan sebagai daerah pelaksana Sekolah Rakyat rintisan. Infrastruktur eksisting yang adaptif serta komitmen pemerintah daerah menjadi pertimbangan utama,” terang Gus Ipul dalam konferensi pers usai penandatanganan.

Terdapat dua kategori utama dalam klasifikasi Sekolah Rakyat: rintisan dan permanen. Sekolah Rakyat rintisan menggunakan fasilitas gedung yang telah diverifikasi kelayakannya, baik yang berasal dari aset Kementerian Sosial, lembaga negara lain, maupun usulan dari pemerintah daerah, institusi pendidikan tinggi, atau mitra masyarakat sipil.

Adapun Sekolah Rakyat permanen dirancang sebagai institusi pendidikan jangka panjang yang akan mulai dibangun pada September 2025. Fasilitas ini diproyeksikan memiliki kapasitas 1.000 siswa per sekolah, mencakup jenjang pendidikan dasar hingga menengah (SD-SMA), dan dilengkapi fasilitas asrama, laboratorium, ruang gizi, serta sistem pengajaran berbasis digital terintegrasi.

Gus Ipul menambahkan bahwa implementasi tahap pertama Sekolah Rakyat rintisan akan melibatkan:

  • 9.755 siswa dari keluarga miskin atau rentan miskin
  • 1.554 guru tetap dan sukarelawan profesional
  • 3.390 tenaga pendidik pendukung, termasuk konselor dan pengasuh asrama

Kebutuhan logistik pendidikan, termasuk modul pembelajaran, alat peraga, perangkat TIK, dan sarana penunjang lain telah menjalani proses simulasi distribusi dan siap disalurkan ke seluruh titik pelaksanaan.

Sementara itu, Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyiapkan infrastruktur fisik untuk mendukung pelaksanaan program ini. Gedung eks Balai Diklat PNS di Desa Tamansari, Kecamatan Licin, telah direnovasi secara menyeluruh oleh Kementerian PUPR untuk difungsikan sebagai sekolah berasrama.

“Pemilihan lokasi berbasis pertimbangan teknis dan efisiensi. Bangunan tersebut memiliki konfigurasi ruang dan sistem sanitasi yang kompatibel untuk fungsi pendidikan dan pemondokan,” ujar Ipuk.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga telah mengalokasikan sumber daya manusia pendukung, termasuk guru dan tenaga kependidikan dari kalangan ASN dan PPPK. Nama-nama pendidik yang memenuhi kualifikasi telah dikirim ke Kementerian Sosial untuk proses verifikasi dan penugasan.

Penandatanganan MoU ini tidak hanya menjadi simbol sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga menjadi langkah awal dalam penguatan struktur pendidikan nasional berbasis komunitas. Sekolah Rakyat diharapkan menjadi model ekosistem pendidikan transformatif yang menjangkau kelompok marginal dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di bidang pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan ketimpangan.

Dalam konteks akademik, program ini dapat dibaca sebagai implementasi pendidikan afirmatif dengan pendekatan intersektoral, di mana variabel pendidikan, sosial-ekonomi, dan pembangunan infrastruktur dipadukan dalam sebuah kerangka kebijakan terpadu. 


Program Sekolah Rakyat Banyuwangi akan mulai berjalan efektif 14 Juli 2025, dengan evaluasi tahap awal dijadwalkan pada akhir September sebagai dasar perluasan dan penguatan model pada 2026. (*)

Putri Indonesia Hadir, Banyuwangi Menyulam Mimpi dalam Ethno Carnival

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Angin musim kemarau membawa kabar dari timur. Sebuah perhelatan budaya akan digelar kembali di bumi yang diberkahi matahari pagi pertama: Banyuwangi. Sabtu, 12 Juli 2025, Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) kembali melangkah di jalan raya kota, menyulam mitos dan warisan menjadi busana, gerak, dan rupa yang memukau. Tahun ini, BEC bukan sekadar arak-arakan kostum megah—ia adalah nyanyian tentang akar dan angin, tentang tubuh yang dilahirkan oleh tradisi.

Dalam helatan yang masuk kalender Karisma Event Nusantara (KEN) ini, satu nama yang kini memancarkan cahaya dari pentas dunia akan turut hadir: Firsta Yufi Amarta Putri. Putri Indonesia 2025 yang juga menyandang gelar Miss Supranational Asia dan Oceania 2025, akan berjalan di antara gemuruh tepuk tangan, menyapa tanah kelahirannya—sebuah panggung tempat jati diri ditenun kembali.v


Firsta bukan hanya membawa mahkota; ia membawa cerita. Cerita tentang anak muda Indonesia yang lahir dari pergelangan kampung, namun menatap cakrawala dunia. Dan kini, ia pulang. Bukan untuk sekadar menampakkan wajah, tetapi untuk menyambung nyawa perayaan yang telah melampaui batas seni dan pariwisata—sebuah perayaan jiwa.

“Yang membedakan BEC dari karnaval lain,” ujar Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, dalam sapanya, “adalah keberanian dan kekayaan narasi. Setiap tema bukan sekadar estetika, melainkan refleksi dari nadi masyarakat Banyuwangi sendiri.”

Tahun ini, BEC mengangkat tema “Ngelukat”—sebuah filosofi lokal yang menggambarkan pembersihan diri, siklus hidup, dan keutuhan spiritual manusia. Dari kandungan ke pelaminan, dari tangisan pertama hingga janji di pelaminan, setiap kostum yang melenggang di aspal kota adalah tafsir dari perjalanan manusia yang disandingkan dengan ritual adat yang masih hidup.

BEC bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah kitab terbuka, yang setiap lembarnya ditulis oleh petani, perajin, ibu, dalang, pemuda, dan seluruh masyarakat Banyuwangi yang mencintai akar budaya mereka sendiri. BEC adalah orkestra tubuh, di mana para peraga bukan hanya model, tapi utusan zaman yang menyuarakan bahwa modernitas tak mesti menanggalkan tradisi.

Tak hanya karnaval yang akan menghiasi akhir pekan. Banyuwangi juga menghadirkan Sekarkijang Creative Fest 2025, sejak Kamis hingga Sabtu (10-13 Juli 2025), di Taman Blambangan—jantung kota yang kini menjadi altar inovasi. Dalam helatan ini, puluhan UMKM menyajikan hasil kreativitas mereka: dari batik yang dicelup oleh tangan ibu-ibu pengrajin, kopi yang disangrai dengan doa dan dedikasi, hingga kerajinan kulit yang bercerita tentang ketekunan dan waktu.

Bank Indonesia Perwakilan Jember turut mendukung gerakan ini. Bukan hanya pameran, Sekarkijang Creative Fest juga diramaikan seminar nasional bertajuk “UMKM Go Export”, talk show, bazar kuliner, hingga senam aerobik bersama yang menyatukan raga dan semangat.

Dalam empat hari itu, Banyuwangi tak sekadar menjadi panggung. Ia menjadi taman bagi ide, rumah bagi warisan, dan jendela bagi dunia untuk menyaksikan Indonesia dari sisi yang paling otentik—dari akar, dari rakyatnya sendiri.

Firsta, BEC, dan Sekarkijang hanyalah bagian dari narasi besar Banyuwangi: bahwa modern bukan berarti melupakan. Bahwa kemajuan bukan berarti menghapus jejak. Bahwa menjadi Indonesia, adalah menyambung yang purba dengan yang kini. Dan dari ujung timur Jawa, sebuah suara kembali menggema: “Kami ada. Kami hidup. Kami berkarya.”

Banyuwangi bukan hanya destinasi. Ia adalah narasi. Ia adalah puisi yang dibaca di tengah riuh, tapi menggema sampai ke senyap hati para penontonnya.

Temu Pendidik Nusantara XII di Banyuwangi: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Pembangunan Iklim Pendidikan yang Inklusif dan Berkelanjutan

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Sebanyak 885 tenaga pendidik dari berbagai wilayah di Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan Temu Pendidik Nusantara (TPN) XII, yang diselenggarakan di Kabupaten Banyuwangi selama tiga hari, 8–10 Juli 2025. Agenda nasional ini mengusung tema strategis “Iklim Pendidikan dan Pendidikan Iklim”, dengan tujuan mendiskusikan relasi timbal balik antara pembangunan iklim pendidikan yang sehat dan peran dunia pendidikan dalam merespons perubahan iklim global. 


Acara yang dibuka langsung oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, tersebut merupakan forum kolaboratif antarpendidik untuk berbagi praktik baik (best practices), serta memperkuat kapasitas institusional sektor pendidikan dalam menghadapi tantangan lingkungan hidup kontemporer.

Dalam sambutannya, Bupati Ipuk menekankan urgensi tema tersebut, mengingat perubahan iklim tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga sosial dan pendidikan. “Kita perlu membangun sistem pendidikan yang adil, sehat, dan inklusif, sekaligus menumbuhkan kesadaran ekologis pada peserta didik,” ujar Ipuk.

Lebih lanjut, Ipuk mencontohkan berbagai inisiatif daerah yang telah diimplementasikan di Banyuwangi, seperti program Sekolah Asuh Sungai, yang menanamkan tanggung jawab ekologis kepada siswa dalam menjaga ekosistem sungai di sekitar tempat tinggal dan sekolah. “Saat ini, 65 dari 68 sub-daerah aliran sungai di Banyuwangi telah terjangkau oleh program ini,” jelasnya.

Di samping itu, terdapat pula inovasi Sekolah Asuh Siaga Bencana yang menitikberatkan pada pendidikan kebencanaan, serta program Sekolah Asuh Sister Say (Sistem Terpadu Ternak Ikan dan Sayur), yang mengintegrasikan edukasi ketahanan pangan dengan prinsip ekologi dalam lingkungan sekolah.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, Suratno, menyatakan bahwa TPN XII diikuti oleh berbagai jenjang tenaga pendidik, mulai dari guru Taman Kanak-Kanak hingga pengawas SMA/SMK. “Peserta tidak hanya berasal dari Banyuwangi, tetapi juga dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Jember,” terangnya.

Selama pelaksanaan, TPN XII menyelenggarakan beragam agenda peningkatan kapasitas tenaga pendidik. Di antaranya adalah talkshow pendidikan, pameran karya dan inovasi, kelas pengembangan guru dan kepemimpinan sekolah, diskusi kelompok terfokus (FGD), hingga debat pendidikan.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang kompeten dalam bidang pendidikan nasional, seperti Abu Khaer (Kepala Balai Besar Guru dan Tenaga Kependidikan Jawa Timur), Al Badrotus Tsaniyah (Perwakilan Balai Besar Penjamin Mutu Pendidikan), serta Marsaria Primadona (Ketua Kampus Guru Cikal Jakarta).

Menurut Suratno, forum semacam ini memiliki signifikansi besar dalam membangun jejaring antarpendidik yang inovatif. “Pertukaran gagasan dan pengalaman antar guru akan memperkaya ekosistem pendidikan nasional dan mendorong replikasi praktik baik di berbagai satuan pendidikan,” pungkasnya.

Dengan integrasi pendekatan ekologis ke dalam sistem pendidikan, TPN XII tidak hanya memperkuat daya saing pendidikan Indonesia, tetapi juga memperlihatkan kontribusi nyata sektor pendidikan dalam menghadapi krisis iklim secara sistemik dan berkelanjutan.

Suara Kecil dari Cluring yang Menggema di Jember

 *Suara Kecil dari Cluring yang Menggema di Jember*


Malam itu, dari sebuah grup WhatsApp yang sunyi dan biasanya hanya dipenuhi puisi dan ulasan sastra, tiba-tiba muncul kabar yang membuat saya menghentikan sejenak langkah kaki menuju dapur. Kabar itu datang dari Mas Punjul Ismuwardoyo, budayawan berambut gondrong dari Tegaldlimo, yang juga takmir masjid dan pengasuh sanggar seni bernama Alang-alang Kumitir. Ia mengabarkan bahwa seorang anak perempuan dari Cluring berhasil menyabet juara dua lomba pidato dai cilik tingkat provinsi Jawa Timur. (7-9/06/2025)

Namanya Naufalyn Mughny Shaliha. Panjang dan lembut. Nama itu seperti potongan ayat yang terselip di antara helaian sajadah tua di musholla belakang rumah. Ia siswa MI Nahdlotus Shibyan, Desa Tamanagung, Cluring. Tempat yang tidak ada di peta-peta mewah hotel bintang lima, tapi ada dalam peta kecil para pejalan sunyi yang percaya bahwa suara seorang anak bisa lebih murni dari pidato pejabat mana pun.

Saya tidak mengenal Naufalyn. Tapi saya mengenal betul wajah-wajah semangat dari anak-anak madrasah. Wajah yang pucat tapi tekun. Wajah yang tahu bagaimana caranya menahan lapar sambil menghafal teks dakwah. Mereka sering kita anggap kecil. Tapi siapa sangka suara mereka bisa melompati pagar-pagar administratif, melompati nama-nama besar, dan menjatuhkan embun di hati juri.

Mas Muncul, dalam pesannya, menyebut bahwa suara anak ini sangat kuat. Mentalnya pun demikian. Seperti potongan besi yang ditempa doa ibu di dini hari. Tapi ia juga menyebut ada kekurangan. Teks yang dibacakan Naufalyn adalah hasil karya guru di madrasah. Ia menghafal. Bukan menyusun. Dan di sinilah, terkadang, letak masalah kita dalam menyiapkan anak-anak menuju mimbar lebih tinggi. Kita lebih rajin membentuk lidah mereka, tapi lupa mengasah isi kepala mereka.

Saya pernah duduk berdampingan dengan beberapa orang tua murid yang anak-anaknya masuk lomba pidato. Mereka selalu khawatir soal gaya. Tentang busana. Tentang intonasi. Tapi lupa bertanya: “Apa yang kamu pikirkan soal ceramahmu?” Anak-anak kita belum diberi ruang untuk berpikir. Mereka baru disuruh menghafal. Maka pantas saja jika pidato terasa seperti mendengar kaset lawas yang diputar ulang. Hanya ketika hati mereka yang berbicara, kita bisa mendengar kejujuran, bukan sekadar susunan kata yang manis.

Namun, Naufalyn berbeda. Setidaknya begitu kata Syafaat, salah satu Juri dari Lentera Sastra Banyuwangi. Katanya, anak ini adalah bahan mentah yang sangat potensial. Ia bukan marmer. Ia batu kali yang siap dipahat. Dan sungguh, seorang dai yang baik adalah batu yang belum terlalu halus. Ia harus kasar dahulu. Harus dilukai dahulu. Harus dihadapkan pada sorot lampu panggung, supaya kelak bisa bicara bukan hanya di mimbar musala, tapi di pelataran hati manusia. 


Saya membayangkan, setelah malam itu, Naufalyn pulang ke rumahnya yang sederhana. Mungkin disambut senyum malu ibunya. Mungkin bapaknya mengelus kepala dengan tangan yang juga biasa mengangkat karung. Tak ada confetti. Tak ada spanduk. Tapi di dalam dada mereka, ada rasa yang tak bisa digambarkan. Seperti selembar langit yang dipasang tepat di atas ranjang bambu.

Kemenangan ini, kata Mas Muncul, begitu tipis. Juara satu jatuh ke tuan rumah. Tapi siapa peduli? Kita sudah cukup sering belajar bahwa dalam lomba-lomba seperti ini, rumah adalah medan magnet yang bisa menarik perhatian juri. Kita juga tahu, juri, sekokoh apapun niatnya, kadang masih juga manusia. Dan manusia, seperti kita tahu, punya kelemahan di titik-titik tak terduga. Maka juara dua, dalam kondisi ini, terasa lebih sahih, lebih tulus, lebih jernih.

Sehari kemudian, saya mendengar kabar tambahan. Ada seorang kepala madrasah tsanawiyah negeri yang terkenal di Banyuwangi, menawarkan beasiswa penuh untuk Naufalyn. Saya tidak tahu siapa kepala madrasah ini. Tapi saya ingin menjabat tangannya. Karena di zaman ini, menawarkan beasiswa kepada anak kecil bukan hanya soal membentuk siswa, tapi soal menyiram benih mimpi yang hampir layu di ladang yang terlalu panas, tentu, beasiswa bukan jaminan bahwa Naufalyn kelak akan menjadi dai besar. Tapi setidaknya itu jembatan. Dan kadang, dalam hidup ini, jembatan lebih penting daripada istana.

Kita membutuhkan lebih banyak anak seperti Naufalyn. Anak-anak yang tidak takut berdiri di mimbar. Anak-anak yang bisa menatap ratusan pasang mata tanpa kehilangan akal sehatnya. Anak-anak yang bisa mengangkat tangan, bukan untuk menunjuk, tapi untuk menyapa. Anak-anak yang bisa mengubah ruang kelas menjadi panggung perubahan, bukan hanya ruang untuk mencatat pelajaran.

Saya membayangkan masa depan yang tenang. Di mana anak-anak seperti Naufalyn menjadi guru. Menjadi jurnalis. Menjadi pembaca puisi. Menjadi dai. Menjadi apa saja yang mereka cintai. Karena sejak kecil mereka telah belajar bahwa bicara bukan hanya perkara suara, tapi perkara keberanian. Dan keberanian, seperti kita tahu, adalah sumber dari hampir semua perubahan besar di dunia ini, kita mungkin lupa pidatonya. Kita mungkin tak ingat bait-bait yang diucapkannya malam itu. Tapi kita akan ingat bahwa pernah, dari sebuah desa kecil bernama Tamanagung, Cluring, ada suara kecil yang menggema sampai ke telinga-telinga orang dewasa di Jember. Dan itu cukup. Cukup untuk menyalakan lagi lilin di hati kita yang hampir padam.

Terima kasih, Naufalyn. Kau telah mengajari kami arti keberanian dalam bentuk paling sederhana: berdiri, bicara, dan percaya pada suaramu sendiri.

Kemenag Banyuwangi Gelar FGD Penguatan Early Warning System (EWS) Berdimensi Keagamaan untuk Mitigasi Konflik Sosial

Banyuwangi (Warta Blambangan);Dalam rangka meningkatkan kapasitas mitigasi konflik sosial berbasis komunitas, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penguatan Early Warning System (EWS) Berdimensi Keagamaan dalam Mencegah Potensi Konflik Sosial di Masyarakat”, pada Rabu (9/7/2025), bertempat di Meeting Room MAN 1 Banyuwangi.

Kegiatan ini bertujuan memperkuat integrasi antara pendekatan keagamaan dan sistem deteksi dini konflik (EWS), melalui penguatan kolaborasi multipihak, termasuk tokoh agama, lembaga keagamaan, serta unsur pemerintah daerah. FGD diselenggarakan secara partisipatif, dimoderatori oleh H. Syafaat, S.H., M.H.I., dengan format dialog terbuka dan pertukaran gagasan lintas sektoral. 

Dalam sambutannya, Kepala Kantor Kementerian Agama Banyuwangi, Dr. H. Chaironi Hidayat, S.Ag., M.M., menegaskan bahwa pengelolaan keberagaman di masyarakat memerlukan kedewasaan sosial serta ketahanan terhadap provokasi berbasis perbedaan. Ia menyampaikan bahwa terdapat lima indikator utama yang sering kali menjadi pemicu konflik, yaitu: (1) rasa superioritas kelompok; (2) ketidakadilan distribusi; (3) kerentanan sosial yang tinggi; (4) krisis kepercayaan antar kelompok; dan (5) perasaan tidak diberdayakan. 


“Konflik bukan semata akibat perbedaan, melainkan cara kita menyikapi perbedaan tersebut. Oleh karena itu, kedewasaan menjadi parameter penting dalam mencegah eskalasi konflik,” ujar Chaironi.

Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, H. Mastur, S.Ag., M.Pd.I., menambahkan bahwa sistem EWS tidak cukup hanya bersifat administratif-formal, melainkan harus adaptif terhadap dinamika sosial yang berkembang di akar rumput. Menurutnya, penyusunan kebijakan berbasis EWS memerlukan keterlibatan langsung masyarakat serta pemangku kepentingan keagamaan untuk memastikan keberterimaan dan efektivitas implementasi.

Di sisi lain, Kasubbag Tata Usaha Kemenag Banyuwangi sekaligus anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Drs. H. Moh. Jali, M.Pd.I., dalam pemaparannya menyatakan bahwa pendekatan berbasis keagamaan merupakan instrumen strategis dalam meredam potensi konflik yang dibungkus oleh isu identitas. Ia menyebut bahwa konflik bernuansa agama kerap kali merupakan manifestasi dari konflik struktural lain, seperti perebutan sumber daya, dominasi politik, atau ketimpangan ekonomi.


“Keberhasilan mitigasi konflik bergantung pada sejauh mana tokoh agama mampu menjadi agen moderasi. Keteladanan dan legitimasi sosial para tokoh agama menjadi kunci,” terang Jali.

FGD ini turut menghadirkan peserta lintas organisasi keagamaan dan sosial di tingkat kabupaten, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC-NU), Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU, Al-Irsyad, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Penyuluh Agama Islam, serta para Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banyuwangi.

Diharapkan, hasil forum ini dapat dirumuskan menjadi policy brief yang bersifat operasional, serta menjadi model kolaboratif dalam penguatan sistem peringatan dini berbasis nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal, untuk mencegah serta mereduksi eskalasi konflik sosial di tingkat komunitas.

Pildacil Madrasah Provinsi Jawa Timur : Anak yang Berbicara Seperti Langit

 Anak yang Berbicara Seperti Langit

Oleh: Juri Porseni Pildacil Kab. Banyuwangi

Malam itu saya mendengar kabar baik. Satu lagi anak Banyuwangi naik ke podium. Juara dua lomba pidato da’i cilik Porseni Madrasah ibtidaiyah tingkat provinsi Jawa Timur. Saya lupa namanya. Tapi saya ingat betul bagaimana naskah pidatonya dulu sempat saya tengok dan bantu sedikit memperhalus isinya. Ia putri kecil dari Madrasah Ibtidaiyah, entah dari kecamatan mana. Saya tidak hafal. Tapi saya tahu suaranya telah menyentuh langit.

Dalam hati saya menggumam: anak-anak seperti inilah yang kelak akan menjadi penyampai kebenaran. Mereka akan tumbuh, dan bila dunia tidak terlalu jahat padanya, mereka akan menyampaikan kebaikan kepada siapa saja yang masih sudi duduk dan mendengar. 


Saya bukan guru. Bukan pula pendidik. Anak itu bukan anak kandung saya, bukan murid saya, bahkan saya hanya sekali bertemu dengannya saat menjadi juri lomba. Tapi anehnya, saya merasa bangga seperti seorang ayah yang mendengar anaknya naik mimbar masjid besar dan disimak oleh ratusan orang. Perasaan ini datang begitu saja, seperti angin yang tahu kapan harus menyejukkan.

Saya beberapa kali menjadi juri dalam lomba semacam itu. Pildacil. Bahasa Indonesianya: pidato da’i cilik. Biasanya digelar di aula Kemenag atau aula madrasah yang kursinya masih dilapisi plastik. Dari pagi sampai zuhur, bahkan kadang melewati adzan asar. Pesertanya lebih dari lima puluh. Masing-masing kecamatan mengirimkan satu, kadang dua anak. Semuanya menghafal, pernah ada yang menangis ketika tidak juara. Sebagian berdiri dengan percaya diri seperti sudah pernah menjadi khatib Jumat di Masjid Istiqlal.

Sebagai juri, kami menilai dengan angka dan catatan. Tapi yang paling saya suka adalah bagian mencatat. Karena angka hanya mewakili hasil, sementara catatan menyimpan kemungkinan. Catatan itulah yang bisa menjadi bahan perbaikan. “Suara bagus, intonasi perlu diperhatikan.” Atau: “Isi menyentuh, perlu perbanyak contoh aktual.” Dan: “Coba dikurangi bagian meniru ustaz kondang, biar lebih alami.” Catatan itu semacam doa-doa kecil yang kita titipkan agar kelak ia menemukan jalannya sendiri dalam berdakwah.

Biasanya setelah seleksi kabupaten selesai, panitia akan kembali menghubungi kami, para juri. Bukan untuk memberi hadiah. Tapi untuk satu tugas tambahan yang tidak dibayar: membantu merevisi naskah pidato anak yang akan maju ke tingkat provinsi. Saya tidak keberatan. Bahkan saya menikmatinya.

Tentu saya tidak mengubah semua. Hanya menyisipkan kejujuran-kejujuran kecil. Menata ulang metafora. Membuang kalimat-kalimat yang terasa seperti hasil unduhan Google. Dan, yang terpenting, saya mencoba membayangkan anak itu membacakannya.

Saya bayangkan: bagaimana suaranya? Bagaimana sorot matanya? Seberapa tinggi badannya? Bagaimana dia mengangkat tangannya untuk menekankan kalimat “Wahai umat Islam yang saya cintai”? Kadang saya bertanya kepada guru pendampingnya: “Anak ini kalau sedih seperti apa wajahnya?” Karena dengan itu saya bisa menyisipkan rasa dalam tulisannya. Karena pidato bukan sekadar bacaan. Ia adalah perasaan yang dibentuk menjadi suara.

Dulu saya pernah menyusun naskah pidato untuk lomba remaja masjid tingkat kabupaten. Yang membacakannya anak SMA. Saya sendiri yang menyusun. Anak itu tidak menang. Tapi panitia memberi pengumuman khusus: naskah pidato terbaik tahun itu adalah yang dibawakan oleh anak kami. Saya hanya senyum. Rasanya seperti menang tapi tidak ikut lari.

Saya memang tidak jago berpidato. Saya lebih senang menyusun kata-kata di kertas, daripada menyampaikannya dengan suara. Saya percaya bahwa tidak semua yang bisa menulis harus bisa bicara. Dan tidak semua yang bisa bicara harus pandai menyusun kata. Kadang yang satu menulis dan yang lain menyuarakan. Dunia ini bisa lebih adil jika dua itu saling percaya dan tidak saling menuntut.

Anak-anak sekarang sering menyusun pidato dengan cara yang ajaib: menyalin dari internet. Saya tahu. Karena pernah saya temukan tiga peserta lomba yang membawa naskah pidato yang sama. Hanya nama madrasahnya yang diubah. Itu sebabnya saya tidak pernah mengambil bahan dari internet. Saya lebih percaya pada pengalaman, dan pada rasa.

Ketika saya menyusun naskah, saya membayangkan saya adalah anak itu. Saya menjadi lidahnya. Saya memakai pecinya. Saya berdiri di mimbar. Saya menatap hadirin. Dan saya tahu saya harus bicara dari hati.

Saya percaya, pidato yang bagus tidak harus panjang. Tapi harus menyentuh. Tidak harus berteriak-teriak. Tapi harus sampai. Anak-anak itu seperti air jernih. Bila naskahnya kotor, airnya keruh. Bila naskahnya jernih, airnya memantulkan cahaya langit.

Dan anak itu, si juara dua dari Banyuwangi itu, telah membuktikan bahwa cahaya bisa dipantulkan bahkan dari suara kecil seorang da’i cilik. Ia berdiri di podium provinsi. Membaca naskah yang ia hafalkan, yang sebagian saya bantu tulis. Ia menyuarakan sesuatu yang jauh lebih besar dari tubuhnya: iman.

Kelak, ia akan tumbuh. Suaranya mungkin akan berubah. Tapi saya berharap, yang tidak berubah adalah keyakinannya. Bahwa menyampaikan kebaikan bukan hanya tugas ustaz. Tapi tugas siapa pun yang percaya bahwa dunia bisa lebih baik bila satu suara kecil mau bicara dari hati.

Saya tidak tahu apakah ia akan menjadi da’i internasional. Tapi saya tahu, setiap kali anak-anak naik ke mimbar dengan suara gemetar dan mata berbinar, dunia sedang didoakan dengan cara yang paling jujur.

Dan untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih pada semua guru yang dengan sabar menyusun, menyunting, dan mengajarkan naskah pidato. Karena lewat tangan kalian, anak-anak tidak hanya belajar berbicara. Tapi belajar merasakan kebenaran.

Karena pidato yang baik bukan hanya tentang bicara. Tapi tentang keberanian untuk percaya, bahwa suara sekecil apapun bisa mengubah dunia.

Dafitha Nizza Anindia Jasmine. juara Baca Puisi Porseni Jawa Timur

Pembaca Puisi. Kemenangan yang Tidak Saya Miliki
oleh : Yang Pernah Jadi Juri Ketika Seleksi di Kecamatan 

Sore ini, seperti sore-sore lain yang tenang dan malas, saya mendapat kabar dari grup WhatsApp. Kabar itu sederhana: seorang anak dari MI Autharussalaf, Suko, Gombengsari, Kalipuro, Banyuwangi, menjadi juara baca puisi Porseni MI tingkat Provinsi Jawa Timur yang di laksanakan di Jember. Namanya Dafitha Nizza Anindia Jasmine.

Saya membaca kabar itu sambil diam. Tak ada yang menandai saya. Tak ada yang menyebut saya. Dan sebetulnya tidak ada alasan saya merasa punya hubungan apa-apa dengan kemenangan itu. Saya bukan gurunya. Bukan pelatihnya. Bahkan bukan panitia, bukan pula bagian dari sekolahnya. Tapi entah kenapa, hati saya ikut berbunga. 

Mungkin karena saya pernah bertemu dengan anak ini. Waktu itu saya diminta menjadi juri lomba baca puisi tingkat kecamatan. Sudah tiga kali saya jadi juri kegiatan Porseni di Kabupaten Banyuwangi. Tapi biasanya di tingkat kabupaten. Kali ini, saya diminta juga di tingkat kecamatan. Kami hanya berdua menjadi juri, tanpa juri penengah. Tapi tidak masalah, sebab kami berdua punya akar yang sama: kami tumbuh di tanah yang bernama Sastra, di Lentera Sastra Banyuwangi dan di Dewan Kesenian Blambangan.


Saya masih ingat suaranya. Tidak terlalu besar, tapi jernih. Tidak terlalu dibuat-buat, tapi menyentuh. Ia tidak menampilkan puisi. Ia menyampaikan puisi. Dan itu perbedaan yang sangat penting. Puisi, sebagaimana doa, bukan pertunjukan. Puisi adalah ziarah batin.

Kami berdua, saya dan juri satunya, sepakat bahwa anak ini punya potensi yang besar. Artikulasi jelas. Ekspresi pas. Tidak berlebihan. Tidak terjebak gaya lama deklamasi zaman lampau. Ada ketulusan dalam caranya membaca, seperti seseorang yang tidak sedang berusaha memenangkan lomba, melainkan sedang berusaha memahami hidup, saya memberikan beberapa saran kepadanya untuk perbaikan bacaan yang biasanya saya tulis di kolom keterangan nilai, dan biasanya para guru melihat catatan saya tersebut untuk latihan berikutnya.

Beberapa saat setelah lomba, saya tanya ke gurunya, siapa yang mengajari? Ternyata gurunya sendiri. Dan guru itu, kata guru lain, adalah murid dari teman saya yang jadi juri.. Teman saya itu dulu juga juara lomba baca puisi tingkat kabupaten. Saya juga pernah jadi juara tapi sudah cukup lama, sewaktu di MI juga pernah ikut Porsen, tetapi tidak juara. Dan begitulah waktu menciptakan lingkaran: yang dulu dinilai kini menjadi pelatih, yang dulu belajar kini mengajar, yang dulu membaca kini mendengar.

Saya pernah pula diminta membantu anak lain. Dikirimkan video pembacaannya. Dari awal saya tahu ini akan sulit. Bukan karena anaknya kurang bagus, tapi karena anak ini sudah terlalu lama belajar pada orang yang salah. Ia jadi tiruan. Ia jadi cermin retak dari pelatihnya. Bukan menjadi dirinya sendiri, terapi duplikasi dari pelatihnya.

Saya menyarankan ganti puisi. Tapi waktunya mepet. Hanya seminggu sebelum lomba. Dan orang tuanya berat hati. Saya mengerti. Tapi begitulah nasib puisi di tangan mereka yang ingin membacanya saja..

Membaca puisi, bagi saya, sama seperti berpidato, bercerita, atau berceramah. Ini semua adalah bagian dari seni berbicara. Seni menyampaikan makna. Dan kalau seseorang membaca puisi tetapi yang mendengar tidak paham apa-apa, maka sesungguhnya ia telah gagal membaca.bKita sering terjebak dalam gaya. Dalam pantomim. Dalam drama suara. Padahal suara manusia yang paling menyentuh adalah suara yang datang dari dalam, bukan dari latihan teknik panggung.

Saya senang, Dafitha tidak seperti itu. Ia membawa puisinya seperti seorang anak membawa kendi berisi air ke masjid. Hati-hati. Tidak tumpah. Tidak sombong. Tapi cukup untuk membuat orang lain bersuci. Dan ia menang.

Menang di tingkat provinsi. Di Jember. Di hadapan juri yang tidak ia kenal. Di panggung yang jauh dari rumahnya. Seni memang bukan lomba lari. Tidak ada garis akhir yang bisa diukur dengan stopwatch. Tidak ada garis jelas seperti siapa duluan masuk garis finis. Seni adalah wilayah yang cair. Bisa suka atau tidak suka. Bisa menang atau tidak tergantung selera juri.

Tapi bersyukurlah sekarang ada live streaming. Setidaknya, kita semua bisa menonton. Setidaknya, juri akan berpikir dua kali sebelum bermain-main. Setidaknya, semua menjadi lebih terbuka. Dan anak-anak bisa belajar, bahwa seni bukan hanya tentang menang, tapi tentang mempertanggungjawabkan cara mereka menang. Saya berharap di jenjang lebih tinggi dan yang lain nanti pun seni tetap disiarkan langsung. Agar seni tak lagi jadi ruang gelap yang penuh bisik-bisik. Tapi jadi ruang terang, di mana kejujuran tumbuh dan rasa hormat lahir.

Saya menulis ini bukan untuk mengklaim kemenangan Dafitha. Saya bukan bagian dari itu. Tapi saya menulis karena saya tahu: satu anak kecil membaca puisi dengan benar, bisa membuat dunia jadi lebih baik. Bisa membuat kita semua percaya bahwa kata-kata belum sepenuhnya kehilangan daya.

Dan di suatu sore, yang cahaya mataharinya mulai miring ke barat, saya membaca pesan WA, dan tahu: seorang anak dari Gombengsari sebuah kelurahan di lereng pegunungan, baru saja mengangkat puisi ke tempat yang lebih tinggi.

Ia membacanya bukan untuk tepuk tangan. Tapi untuk menyampaikan sesuatu kepada langit. Dan saya, di sini, hanya ingin mengatakan: saya bangga pernah mendengar suaranya. Suara anak yang bukan anak saya, tapi entah kenapa terasa begitu dekat di dada.

Banyuwangi, 08-07-2025

Ipuk Fiestiandani Kembali Dilantik Jadi Ketua Mabicab Pramuka Banyuwangi 2025–2030

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani kembali dilantik sebagai Ketua Majelis Pembimbing Cabang (Mabicab) Gerakan Pramuka Banyuwangi masa bakti 2025–2030. Pelantikan dilakukan oleh Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Timur, Arum Sabil, di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Senin (7/7/2025). 


Selain Ipuk, sejumlah pejabat daerah juga masuk dalam jajaran Mabicab, di antaranya Dandim 0825 Banyuwangi, Kapolresta Banyuwangi, Danlanal Banyuwangi, Kepala Kejaksaan Negeri Banyuwangi, Kepala Pengadilan Negeri Banyuwangi, dan Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi.

Pada kesempatan yang sama, turut dilantik pula Pengurus Kwartir Cabang Banyuwangi serta Lembaga Pemeriksa Keuangan (LPK) masa bakti 2025–2040.

Ketua Kwarda Jatim Arum Sabil mengapresiasi solidnya kolaborasi para pembina Pramuka di Banyuwangi yang dinilai turut berkontribusi besar dalam kemajuan daerah. Menurutnya, kolaborasi yang baik antara Mabicab dan berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci utama perkembangan Pramuka yang berdampak pada kemajuan Banyuwangi.

“Kolaborasi Mabicab di Banyuwangi sangat baik hingga bisa mengantarkan daerah ini berkembang pesat,” ujar Arum.

Arum juga menekankan pentingnya peran strategis Gerakan Pramuka dalam membentuk karakter generasi muda menjelang masa bonus demografi Generasi Emas 2045. Ia menilai Pramuka merupakan jalur pendidikan non-formal yang sangat penting dalam membekali pemuda dengan keterampilan dan pengetahuan yang tidak diperoleh dari bangku sekolah.

“Anak-anak usia 15–25 tahun hari ini adalah calon pemimpin di tahun 2045. Maka mereka perlu disiapkan tidak hanya dari sisi akademik, tetapi juga karakter, kepemimpinan, dan kemandirian. Gerakan Pramuka bisa menjadi wadah itu,” tegasnya.

Sementara itu, Ipuk Fiestiandani sebagai Ketua Mabicab yang baru dilantik, menegaskan komitmennya untuk terus mendorong program-program strategis Gerakan Pramuka di Banyuwangi. Ia menyebutkan sejumlah rencana seperti pelatihan kepemimpinan berbasis teknologi, peningkatan kapasitas kewirausahaan, hingga kegiatan inovasi sosial.


“Kami juga akan memperkuat sinergi antara gugus depan di sekolah dan komunitas dengan berbagai stakeholder daerah, agar lahir pemuda-pemuda yang siap dalam pembangunan nasional di masa depan,” ujar Ipuk.


Gerakan Pramuka Banyuwangi dinilai telah menunjukkan geliat positif dengan berbagai program produktif yang menyentuh langsung masyarakat. Harapannya, peran serta seluruh elemen dalam kepengurusan baru akan makin memperkuat kontribusi Pramuka bagi pembangunan karakter dan kemajuan daerah. (*)

Jasa Raharja Verifikasi Data Korban KMP Tunu Pratama Jaya untuk Penyaluran Santunan

BANYUWANGI (Warta Blambangan) PT Jasa Raharja mulai melakukan verifikasi data korban meninggal dunia dalam insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali. Verifikasi ini menjadi syarat utama sebelum penyaluran santunan kepada ahli waris. 


Plt. Direktur Utama Jasa Raharja, Rubi Handojo, menegaskan bahwa santunan akan diberikan kepada seluruh korban yang memenuhi persyaratan administrasi. Salah satu dokumen penting adalah surat rekomendasi dari pihak berwenang seperti ASDP, pemerintah daerah, atau KSOP, yang menyatakan bahwa korban terdata secara resmi dalam kecelakaan laut tersebut.

“Surat itu harus menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah korban meninggal dalam peristiwa tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya,” kata Rubi saat mendampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Minggu (6/7/2025).

Selain surat rekomendasi, pihak Jasa Raharja juga melakukan pencocokan data korban melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk memastikan keabsahan hubungan keluarga yang menjadi dasar penyaluran santunan.

“Jika semua data telah cocok, santunan akan diberikan sebesar Rp50 juta per ahli waris korban meninggal dunia,” tambahnya.

Rubi juga menyampaikan bahwa Jasa Raharja akan menanggung biaya pengobatan korban selamat yang masih menjalani perawatan medis. “Kami menanggung biaya sesuai tagihan dari rumah sakit,” ujarnya.

Sementara itu, proses pencarian korban masih terus berlangsung. Pada hari keempat pencarian, Minggu (6/7/2025), tim SAR kembali menemukan satu jenazah pria dengan ciri-ciri mengenakan kaos oblong biru dan celana pendek cokelat. Tinggi tubuh korban diperkirakan sekitar 170 cm.

Tim SAR belum dapat memastikan apakah jenazah tersebut merupakan korban dari KMP Tunu Pratama Jaya, karena masih menunggu hasil identifikasi dari pihak berwenang.

Berdasarkan data manifest, kapal KMP Tunu Pratama Jaya membawa 65 orang saat tenggelam pada Rabu malam (2/7/2025). Hingga pencarian hari ketiga pada Sabtu (5/7/2025), tercatat 30 orang selamat, 6 meninggal dunia, dan 29 masih dalam pencarian.

(*)

Kebo-Keboan Alasmalang: Ketika Sawah Menjadi Panggung, dan Doa Menjelma Tanduk di Kepala

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Ritual Adat Kebo-Keboan yang digelar di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, kembali menyedot perhatian ribuan mata dan batin, Minggu, 6 Juli 2025. Tradisi yang lekat dengan doa para petani ini digelar tiap bulan Suro, sebagai warisan tak tertulis dari tanah yang tak pernah ingkar musim.

Desa menjadi gemuruh. Teriakan, tabuhan, bau dupa, dan tanah basah menjadi satu dalam peristiwa budaya yang makin matang dalam konsep dan penyajian. Warga dari berbagai dusun, bukan hanya dari Krajan seperti biasanya, kini bersatu sebagai pelaku, menjadikan ritual ini lebih guyup dan penuh semangat kolektif.


“Ini bukan hanya pertunjukan. Ini adalah syukur kami atas rezeki dari langit dan bumi, sekaligus doa agar panen mendatang tak dihantam hama dan bencana,” ujar Abdul Munir, Kepala Desa Alasmalang, sambil menyeka peluh yang menyatu dengan aroma dupa di udara.

Kebo-Keboan adalah laku spiritual yang ditampilkan dengan cara tubuh petani yang dirias menjadi kerbau. Mereka mengenakan tanduk, menggenggam bajak, lalu memainkan ulang seluruh rangkaian bercocok tanam: membajak, menanam, dan mengairi sawah, seolah tanah sedang dibaca ulang dengan bahasa tubuh dan niat.

Di sela ritus itu, muncul sosok Dewi Sri—diperankan oleh seorang perempuan muda berbalut kebaya hijau padi. Ia turun dari panggung bambu, melangkah pelan di antara para ‘kerbau’, membawa beras dan benih. Di tangannya, tumbuh-tumbuhan menjadi persembahan dan harapan. Saat ia mulai menaburkan bibit ke arah para petani, penonton bersorak dan terlibat dalam fragmen interaktif—sebuah pengejaran simbolik terhadap berkah.

“Penampilan tahun ini lebih tertata, lebih menyentuh,” ucap Yulia Saraswati, seorang wisatawan dari Jakarta yang hadir bersama anaknya. “Saya merasa ikut berdoa, ikut merasa menjadi bagian dari cerita.”

Ritual ini bukan hanya memanggil kenangan agraris masa lalu, tapi juga menampar realitas modern yang kerap lupa darimana makanan berasal. Sawah yang menjadi panggung Kebo-Keboan bukanlah properti seni, melainkan tanah sungguhan yang dilalui cangkul sehari-hari.

Pemerintah desa pun menyatakan komitmen kuat mendukung kelestarian tradisi ini. Bagi mereka, Kebo-Keboan bukan sekadar warisan. Ia adalah identitas, akar dari wajah Banyuwangi yang rukun dan spiritual.

“Kami ingin ritual ini tetap hidup. Tetap punya napas. Tetap punya ruang di hati anak-anak muda,” tutup Abdul Munir.

Dan sore itu, ketika mentari tergelincir dan debu kembali mengendap, para pelaku Kebo-Keboan kembali menjadi manusia. Tapi jejak tanduk yang tertinggal di tanah basah—itulah jejak doa yang tak pernah lenyap.

CFD di Blambangan ; Secangkir Kopi Pahit, Seutas Nasib Para Pedagang

 CFD di Blambangan ; Secangkir Kopi Pahit, Seutas Nasib Para Pedagang

Kita selalu tiba sebelum matahari tegak betul. Asap tipis dari gerobak satai telah bermesraan dengan embun yang belum selesai gugur; keduanya membentuk kabut wangi, meresapi lapisan pertama udara di Taman Blambangan. Inilah car free day—sebuah istilah yang terdengar gagah, padahal separuh aspal masih ditingkahi knalpot yang bersikeras lewat. Barangkali kebebasan di kota ini memang cuma separuh harga: cukup untuk selfie, belum sampai menebus sunyi. 


Di pinggir trotoar aku duduk bersama Toekang Tjerita, budayawan yang, seperti namanya, selalu punya cerita cadangan. Kami memeluk cangkir kopi hitam seharga sepuluh ribu rupiah: kopi tanpa gula, tanpa belas kasihan. Katanya, pahit adalah cara kafein berdoa lebih khusyuk. Kami percaya saja, sebab desis air mendidih di atas kompor portabel terdengar seperti ayat pendek yang baru dihafal, singkat, panas, menegur.

Di radius seratus meter, tubuh-tubuh bergerak dalam irama masing-masing. Ada ayah yang berlari pelan sambil menuntun balita bersepatu lampu sorot merah birunya berkedip lebih rajin daripada lampu lalu lintas. Ada pasangan lansia yang saling menggandeng, langkah mereka lambat tetapi saling menegakkan. Ada pula remaja yang berjubel di depan panggung kecil, menjeritkan lirik patah hati semerdu mungkin agar rasa sakit mereka sah di hadapan orang banyak. CFD, rupanya, adalah catwalk segala jenis hidup: setiap orang berlenggok dengan kuota oksigen dan harapan setara.

Lalu, diam-diam, kelegaan pagi itu retak oleh bisik-bisik pedagang. Mereka menyebut satu kata yang gesekannya lebih tajam daripada sendok di mulut piring: relokasi. Seperti rumor yang kehilangan tuan, isu itu beterbangan di sela tenda kanopi, menggelayut di sela kabel listrik, lalu jatuh di pangkuan siapa saja yang sedang menunggu kembalian.

Seorang ibu penjual bubur mengatakan, “Kami ini sudah punya brand alamat di kepala pembeli. Pindah satu blok saja, rezeki bisa nyasar.” Ia tidak sedang berpantun; ia sedang membaca peta paling rumit bernama naluri. Seorang penjual susu menimpali tentang hoki, sesuatu yang tak bisa dikaver BPJS, tapi konon ampuh menagih cicilan sekolah anak. Jauh sebelum teori pemasaran modern, orang Jawa menaruh percaya pada titik-titik koordinat gaib: di sudut mana angin berhembus, di tikungan mana dompet mudah terbuka.

Aku menyesap kopi yang mulai suam-suam. Pahitnya menyusut, menyisakan getir yang lebih jujur. Mungkin begitulah rasa sebuah ruang ketika diusir dari kenangan. Pemerintah, kata Toekang Tjerita, sedang menata ulang. Katanya UMKM harus naik kelas; kelas mana yang dimaksud, belum jelas. Kami terdiam sebentar, membayangkan tenda-tenda baru, lebih rapi, lebih steril, tetapi apa gunanya rapi jika pembeli belum sempat menghafal bau ikan bakar atau mendengar dengung gitar tua di pojok?

Di panggung kecil, penyanyi jalanan menutup lagu dengan falseto nyaris patah. Tepuk tangan terdengar seadanya, tapi sepasang turis asing mungkin dari mana saja mengacungkan ibu jari sambil menaruh koin. Kota ini selalu bersolek sebagai destinasi, seolah yang datang pasti tersesat dengan senang hati. Namun bukankah warga asli justru sering hilang di halaman rumah sendiri, tersandung papan pengumuman “segera direvitalisasi”?

Aku teringat kalimat seorang filsuf yang dibisiki kafein: “Manusia tak pernah benar-benar pindah; yang berpindah hanya perabot harapannya.” Pedagang-pedagang itu punya harapan sederhana: tinggal di tempat yang telah menumbuhkan bau minyak goreng mereka sendiri. Bau itulah merek sesungguhnya aroma yang ditagih pelanggan setiap Minggu.

Pukul sembilan, matahari mulai mengunyah bayang-bayang. Jalan searah di sisi timur belum juga ditutup sepenuhnya; deru motor berbaur dengan dengus nafasku setelah berlari satu putaran setengah. “Kau mau tambah putaran?” tanya Toekang Tjerita. Aku geleng. Kadang berlari terlalu jauh justru menjauhkan kita dari alasan berangkat.

Sekali lagi, aku memiringkan cangkir: tetes terakhir jatuh seperti gong kecil menandai akhir pertunjukan. Pahitnya menetap di lidah, tapi hati terasa ringan. Mungkin karena aku tahu pahit bukan musuh. Ia hanya rasa yang belum sempat kita beri jeda. Seperti ketakutan pedagang pahit, ya. Namun jika kita bersedia duduk bersama, mengunyah pelan-pelan, pahit bisa menjadi navigasi: menunjukkan letak luka, mengajari cara sehat menimbang manis.

Kelak pemerintah akan memutuskan sesuatu; semoga tak lupa bahwa pasar bukan sekadar barisan tenda, melainkan koordinat ingatan ribuan perut. Sementara itu, aku akan tetap pulang Minggu depan, mengulang ritual: jalan bebas kendaraan yang separuh, kabut satai, lagu patah hati, dan secangkir kopi hitam seharga sepuluh ribu. Jika harus pindah ke seberang jalan pun, aku akan mencarinya, sebab nikmat tidak selalu berwujud manis. Nikmat kadang berpakaian pahit, berjalan terburu, tapi menunggu kita di bangku plastik paling ujung.

Wapres Gibran Kunjungi Posko Korban KMP Tunu Pratama Jaya, Evaluasi Penanganan dan Proses Pencarian

BANYUWANGI (Warta Blambangan l);Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, melaksanakan kunjungan lapangan ke Posko Terpadu Penanganan Korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, pada Minggu pagi (6/7/2025). Kunjungan ini bertujuan untuk memperoleh pemutakhiran informasi mengenai proses pencarian korban serta memastikan pemberian dukungan psikososial dan administratif kepada keluarga korban.

Setibanya di Pelabuhan Ketapang pukul 07.15 WIB menggunakan helikopter dari Bali, Wakil Presiden disambut oleh sejumlah pejabat, termasuk Deputi Operasional dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), R. Eko Suyatno, yang memberikan penjelasan teknis mengenai progres pencarian korban hingga hari keempat pasca kejadian (H+4).

Berdasarkan laporan Basarnas, objek bawah laut yang diduga sebagai bangkai kapal telah terdeteksi di Selat Bali, dengan posisi bergeser sejauh 1–2 mil laut dari lokasi terakhir kapal dilaporkan hilang kontak. Proses pencarian terus dilakukan oleh tim Search and Rescue (SAR) gabungan dengan pendekatan berbasis data sonar dan pemetaan arus laut.

Turut hadir mendampingi Wapres dalam kegiatan tersebut antara lain Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, dan Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani. Pertemuan teknis berlangsung di lobi kantor ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang sebagai pusat koordinasi sementara penanganan pascakejadian.

Setelah menerima pemaparan situasi terkini, Wakil Presiden melakukan dialog langsung dengan beberapa keluarga korban meninggal serta menyerahkan santunan secara simbolis. Wapres kemudian melanjutkan kunjungan ke lantai dua ruang tunggu pelabuhan, yang difungsikan sebagai Posko Terpadu bagi keluarga korban yang hingga saat ini masih menanti informasi keberadaan anggota keluarganya.

Hingga hari keempat setelah insiden, berdasarkan data manifes resmi, sebanyak 29 individu masih dinyatakan hilang, sementara Basarnas telah menerima total 39 laporan orang hilang dari pihak keluarga. Ketidaksesuaian antara jumlah dalam manifes dan laporan masyarakat sedang dalam proses verifikasi administrasi dan penyelidikan lebih lanjut. 


Kegiatan kunjungan diakhiri dengan peninjauan singkat ke ruang Monitoring Room, tempat pemantauan hasil pencarian real-time yang terhubung dengan sistem pelacakan maritim. Usai meninjau fasilitas tersebut, Wapres Gibran Rakabuming Raka beserta rombongan melanjutkan agenda kenegaraan lainnya dan meninggalkan kawasan pelabuhan.


Kabar Mesra Dari Jeddah

 *Kabar Mesra dari Jeddah*

Pagi itu saya menerima kiriman video dari Jeddah. Video itu bukan kiriman acak. Itu dari seseorang yang dulu pernah sebentar singgah di hati dan menjadi pikiran. Ia tidak pernah benar-benar tinggal, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi. Dan video itu, seperti dirinya, datang tanpa aba-aba. 

Di dalam video itu tak ada yang meledak atau terbakar. Tak ada gema takbir yang menggetarkan dada, tak ada tenda putih Arafah, tak ada Ka’bah. Hanya rekaman pendek: beberapa jamaah haji duduk di meja makan, bercakap pelan, terdengar sesekali gelak tertahan. Selebihnya hening. Tapi kalau kau tahu mereka mestinya sudah pulang dua hari lalu, video itu jadi semacam fragmen takdir yang lupa dikunci, yang lebih menggregetkan adalah dia juga mengirimkan suasana hotel yang dilengkapi kolam renang, kamar mewah yang ditempati oleh hanya dua orang. 


Penerbangan mereka tertunda. Dua hari. Dari 24 ke 26 Juni. Saya tahu karena seorang teman dari Kementerian Agama mengirimkan kabar dalam format paling resmi yang bisa dibayangkan—tanpa lampiran, tanpa salam, tanpa basa-basi:

> “SUB43/SV5302/24jun jam 03:50-21:10 berubah menjadi SV9302/26jun jam 03:50-21.10…”

Kalimat itu seperti sepotong pengumuman di papan pengumuman kantor RW: datar, pasti, tak bisa diganggu gugat.

Tapi kemudian muncul balasan. Kalimat yang entah kenapa terasa sangat dalam:

> “Selama penundaan ditanggung maskapai, jadi kita nikmati saja, semoga takdir terbaik dari Allah SWT.”

Kalimat itu terdengar seperti ucapan dari seseorang yang hidupnya sudah selesai marah, sudah selesai menuntut, dan sekarang tinggal duduk tenang sambil menyeruput teh panas. Saya mendengarnya seperti mendengar nasihat seorang guru tua yang bicara dengan suara parau, pelan-pelan: Tunggulah, kadang yang kita sebut penundaan adalah bonus dari langit.

Saya sempat berpikir: bagaimana jika saya jadi berangkat bersama mereka? Tadinya teman saya itu dan suaminya ingin berangkat bareng. Saya menunda, demi bisa berangkat bersama orang tua. Saya membayangkan andai saya ikut rombongan itu—mungkin saya akan menyaksikan sendiri kemesraan mereka, dan mungkin saya tidak tahu bagaimana harus berdamai dengan perasaan saya sendiri.

Jika Anda belum pernah berhaji, atau belum melihat orang tua Anda melakukannya, Anda mungkin membayangkan segalanya serba indah dan wangi kasturi. Tapi di balik itu, ada kelelahan yang panjang, dan nasi kotak yang datang tiga kali sehari. Satu menu untuk semua. Rasanya tidak buruk, tapi juga tidak cukup baik untuk dikenang. Maka, ketika pagi itu mereka turun dari kamar dan menemukan prasmanan hotel bintang lima—roti sobek lembut, buah potong, omelet dalam penghangat stainless—itu bukan sekadar makan. Itu seperti pulang ke rumah orang kaya setelah seminggu tidur di gubuk. Teman saya menuliskannya dengan polos:

> “Kita jamaah haji sudah 40 hari makan nasi kotak, tau-tau tadi pagi sarapan prasmanan standar hotel bintang 5. Susah sekali menceritakan kondisinya.”

Saya bayangkan seseorang duduk di sana. Mungkin dia mengambil dua potong semangka, menuang teh ke cangkir porselen, lalu diam agak lama. Ia tahu, ini bukan karena dibayar, tapi karena diberi. Takdir kadang seperti itu—mampir, memberi, lalu pergi.

Namun seberapa pun lezat omelet pagi itu, tetap tak cukup untuk menambal rindu yang perlahan-lahan meletup. Dan seseorang menuliskan:

> “Bagaimanapun mewahnya pelayanan, sebenarnya hati kami sudah di tanah air.”

Kalimat itu mestinya dijadikan puisi. Atau diletakkan di stiker koper haji. Atau digantung di langit-langit bandara: Hati kami sudah di tanah air.

Karena memang begitulah cara rindu bekerja. Ia tidak bisa dipuaskan oleh selimut tebal dan bantal empuk. Tidak oleh AC yang dinginnya sopan. Tidak oleh hotel mewah dan hidangan gratis. Rindu hanya bisa dibayar oleh rumah. Oleh suara sandal istri di dapur, suara anak-anak mengaji di musholla dekat rumah, atau senyum tetangga yang tak banyak berubah sejak 20 tahun lalu.

Saya rasa cerita ini cocok dibaca oleh orang-orang yang tak sabaran—yang marah jika makan siang telat sepuluh menit, yang kesal jika sinyal WiFi putus sejenak, yang menyumpah setiap kali pesawat delay satu jam. Mereka mungkin bisa belajar sedikit ketenangan dari para haji yang tersenyum saat tahu harus tinggal dua malam lagi. Mereka menyebutnya: Bonus dari Allah.

Dan saya percaya, tak semua orang mampu menikmati penundaan. Butuh usia tertentu. Butuh hati yang sudah cukup lama direndam doa. Butuh latihan untuk percaya bahwa Tuhan sedang menyusun sesuatu yang lebih baik dari rencana kita.

Teman-teman saya, para petugas kloter yang tahun lalu sempat menjadi jamaah, membisikkan info lain. Sebenarnya penundaan itu soal teknis biasa. Tapi karena berbarengan dengan situasi geopolitik Timur Tengah yang diguncang Iran dan Israel, semuanya jadi serba waspada. Ada yang bilang situasi jadi “serba dah dig dug.” Itu bukan frasa resmi. Tapi sangat menggambarkan rasa.

Dan saya kembali memutar video itu. Saya tidak tahu siapa yang merekam. Tapi saya tahu siapa yang mengirimkannya. Seorang perempuan yang pernah sebentar singgah di hati dan sampai sekarang tak pernah benar-benar pergi. Barangkali ia hanya ingin bilang, "Aku baik-baik saja." Tapi video itu seperti berkata lebih dari itu: bahwa takdir, dalam banyak hal, adalah penundaan yang paling tenang di dunia.

Dan saya, yang tak ikut berhaji, justru merasa seperti sedang dipanggil pulang.


Banyuwangii, 24-06-2025

Perjalanan Yang Tidak Melewatkan Miqot

Cerita ini datang dari seseorang yang tak sengaja menjadi saksi atas kebingungan manusia. Ia tidak sedang mengisahkan perang atau cinta yang ditolak, melainkan tentang seseorang yang ingin sampai kepada Tuhan tetapi tersesat di tengah prosedur, di antara nama-nama Syarikah dan kode rombongan.

Ia adalah pembimbing ibadah haji tahun ini. Tahun sebelumnya, istrinya yang bertugas. Tapi tahun ini, ia yang berangkat. Ia membawa nama negara, nama agama, dan nama-nama kecil dalam rombongan—nama-nama yang biasanya tak tercatat dalam sejarah, tapi sangat penting dalam kehidupan satu sama lain.v


Dia bertutur seperti orang yang tidak sedang ingin menyalahkan siapa-siapa, hanya menyampaikan keganjilan yang membuatnya merenung cukup lama. Tentang jamaah yang naik bis dari Madinah menuju Makkah, namun tak tahu bahwa mereka telah melewati miqat. Tentang pakaian ihram yang sudah dikenakan, tapi niat yang belum diucapkan. Tentang Masjid Bir Ali yang dikira Masjid Quba, dan tentang bis yang berhenti tanpa ada yang turun, karena semua mengira tempat itu bukan tujuan mereka.

"Padahal dari Madinah," katanya pelan, "sudah saya sampaikan bahwa kita akan miqat di Bir Ali."

Tapi ternyata antara kata yang diucapkan dan pemahaman yang sampai ada jarak yang tak bisa dijembatani dengan satu-dua kalimat dalam keramaian manasik. Apalagi jika kemudian realitas di lapangan berbeda dari imajinasi jamaah. Mereka pikir akan ada pembimbing di sana. Akan dikumpulkan dulu, diberi aba-aba, salat sunnah dua rakaat, lalu bersama-sama niat ihram.

Tapi itu tidak terjadi. Bis mereka hanya berhenti sebentar. Tidak ada yang turun. Tidak ada aba-aba. Tidak ada siapa pun yang memberi tahu bahwa inilah tempatnya, Masjid Bir Ali, bahwa inilah saatnya memulai ritual suci. Lalu bis melaju lagi. Waktu pun berlalu, hingga hari kedua di Makkah, ketika jamaah itu akhirnya sadar bahwa mereka belum niat. Mereka masih dalam pakaian ihram, tapi belum menjadi orang yang berihram. Mereka masih dalam kebingungan.

Mereka bertanya, “Bolehkah kami kembali ke Bir Ali untuk mengambil miqat?”

Temanku hanya menunduk. “Kalau sekarang,” katanya, “bukan miqat lagi namanya. Itu hanya nostalgia. Hukum sudah bicara lain.”

Seseorang yang melewati miqat tanpa berniat ihram telah meninggalkan salah satu kewajiban umrah. Dan jika itu terjadi, maka gantinya adalah dam. Denda. Menyembelih satu ekor kambing di Makkah dan memberikannya kepada fakir miskin. Sebuah tindakan simbolik, untuk menebus kekhilafan. Tapi dalam kasus ini, kekhilafan itu bukan datang dari keengganan, melainkan dari ketidaktahuan, dari kekacauan sistem, dari bahasa yang tak bertemu antara sopir bis dan para penumpangnya. Dan, seperti biasa, kambinglah yang jadi korban.

Kisah ini, bagi saya, lebih dari sekadar laporan teknis perjalanan haji. Ini adalah pengingat bahwa kadang kita terlalu percaya pada skema, pada sistem, pada asumsi bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana yang kita bayangkan. Kita lupa bahwa sebagian besar hidup justru terjadi dalam kekacauan kecil yang tidak kita siapkan.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan sebelum ibadah. Pendidikan yang bukan hanya dalam bentuk ceramah di aula, tapi pelatihan nyata yang menyiapkan jamaah untuk berjalan sendiri. Karena memang pada akhirnya, setiap orang akan berjalan sendiri. Tidak semua akan mendapat kemewahan dikawal pembimbing dalam bis yang sama, atau diberi tahu kapan saatnya membaca niat. Kadang, satu-satunya pembimbing kita hanyalah pengetahuan yang kita simpan di dalam hati.

Tapi sayangnya, banyak dari kita yang berangkat dengan bekal keyakinan bahwa “akan ada yang mengurus.” Kita datang sebagai anak-anak manja yang berharap ada orang tua spiritual yang akan membimbing kita dari miqat hingga mabit. Padahal, dalam banyak situasi, satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kita adalah diri kita sendiri.

Dan di sinilah seharusnya peran negara hadir—bukan hanya sebagai pengatur akomodasi dan makanan, tapi sebagai pemantik kesadaran spiritual yang mandiri. Sebab, sebanyak apa pun pembimbing disiapkan, selama mereka tak berada dalam satu kendaraan, satu ruang, dan satu waktu yang sama dengan jamaah, maka peran mereka akan kehilangan maknanya.

Teman saya bilang, tahun depan ini harus dievaluasi. Bahwa keberagaman Syarikah (perusahaan penyelenggara layanan) membuat segalanya jadi lebih rumit. Bahwa pembimbing tidak bisa lagi menemani jamaah secara langsung karena setiap rombongan dipecah, dibagi ke bis yang berbeda, sopir yang berbeda, dan SOP yang entah siapa yang pahami.

Maka, harapannya adalah agar jamaah dididik menjadi jamaah yang mandiri. Yang tidak hanya tahu rukun haji, tapi tahu bagaimana membacanya di tengah kekacauan sistem. Yang tidak hanya hafal syarat wajib, tapi tahu kapan harus bertanya dan kepada siapa. Yang tidak hanya paham teori niat, tapi tahu kapan saatnya mengucap sebelum segalanya terlambat.

Karena haji, pada akhirnya, bukan hanya tentang berangkat dan pulang. Tapi tentang menemukan jalan sendiri menuju Allah, bahkan ketika tak ada yang menuntun, bahkan ketika semua penunjuk jalan mendadak hilang. Karena haji, seperti hidup, adalah perjalanan yang dalam banyak hal kita jalani seorang diri—dengan pakaian ihram, dengan keraguan, dan dengan tekad untuk tidak menyerah meskipun kadang tak tahu ke mana harus turun dari bis yang melaju terlalu cepat. 

Dan dalam sunyi miqat yang tak sempat disentuh, kita belajar: bahwa tidak semua perjalanan bisa dituntaskan dengan sempurna, tapi semua perjalanan selalu bisa ditafsirkan kembali. Dalam tafsir itulah, mungkin, Tuhan menyisipkan pengampun.

KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, Tim SAR Masih Lakukan Pencarian

BANYUWANGI, (Warta Blambangan) Kapal penyeberangan KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam di perairan Selat Bali pada Rabu (2/7/2025) malam setelah dilaporkan mengalami kebocoran pada ruang mesin. Insiden yang terjadi sekitar pukul 23.25 WIB ini mengguncang jalur vital penyeberangan Jawa-Bali, dan hingga Kamis dini hari tim SAR masih melakukan pencarian korban. 


Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali itu sempat mengirim sinyal darurat pada pukul 22.17 WIB. Beberapa saat kemudian, komunikasi dengan kapal hilang. Lima menit menjelang pukul 23.30 WIB, kapal dinyatakan tenggelam.

Dalam laporan resmi dari Dermaga LCM Gilimanuk yang diterima Kamis dini hari, kronologi insiden mencatat bahwa kapal mengalami blackout total pada pukul 00.19 WITA. Tiga menit berselang, kapal lain milik perusahaan yang sama, KMP Tunu Pratama Jaya 3888, melaporkan bahwa kapal utama telah terbalik dan hanyut ke arah selatan.

Titik koordinat lokasi terakhir kapal tercatat di posisi -08°09.371′, 114°25.1569′.

Sejak insiden terjadi, tim gabungan yang terdiri atas personel Basarnas, Polairud, TNI AL, relawan, serta petugas ASDP dan pelabuhan dikerahkan ke lokasi untuk melakukan pencarian dan evakuasi. Beberapa kapal penyelamat terlihat bergerak cepat menyisir area tenggelamnya kapal.

"Situasi masih sangat dinamis. Kami fokus pada pencarian dan evakuasi. Segala perkembangan akan disampaikan setelah ada kepastian," ujar salah satu petugas SAR yang ditemui di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.

Puluhan anggota keluarga penumpang kapal kini berkumpul di Pelabuhan Ketapang dan Pantai Boom, Banyuwangi. Mereka menanti kabar dari tim penyelamat sambil menahan kecemasan. Beberapa di antaranya terlihat menangis dan memeluk kerabat.

Belum ada informasi resmi mengenai jumlah pasti penumpang maupun korban dalam kejadian ini. Proses pendataan dan verifikasi masih dilakukan pihak berwenang.

Penyeberangan Ketapang–Gilimanuk merupakan jalur laut tersibuk yang menghubungkan Jawa dan Bali. Insiden ini memunculkan kembali kekhawatiran tentang standar keselamatan pelayaran di jalur vital tersebut. Pemerintah daerah bersama otoritas pelabuhan diminta segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kelayakan kapal-kapal yang beroperasi.

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

 

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Berita itu datang seperti angin malam yang membuka jendela dengan pelan-pelan, tidak membanting, tidak juga tergesa. Hanya membuka dan membiarkan malam masuk. Lalu dari gelap itulah terdengar kabar:
Bapak H. Kajim Susanto telah berpulang ke Rahmatullah.

Saya sempat bertemu beliau di malam itu yang ramai. Hari pemberangkatan jemaah haji, di depan kantor Bupati Banyuwangi. Tenda putih berdiri, bintang bertabur terang, dan suara adzan dan doa terdengar dari pengeras suara yang kadang sumbang tapi tulus. Di antara ratusan wajah yang mengambang antara bahagia dan haru, saya melihat beliau dan istrinya, Ibu Istiadah. 


Beliau tak banyak bicara. Hanya menangkupkan tangan, tersenyum, dan berbisik lirih, "Mohon doanya."
Saya mengangguk, dan menjawab pelan, "Semoga mabrur."
Entah kenapa malam itu seperti melipat waktu. Rasanya baru kemarin.

Kematian memang tidak pernah benar-benar tiba-tiba. Ia selalu punya niat. Tapi kita seringkali mengabaikannya, atau menutup pintu rapat-rapat agar ia tak sempat masuk. Padahal ia bukan tamu. Ia tuan rumah. Kita hanya singgah.

Maka ketika saya mendengar bahwa beliau wafat setelah pulang dari Tanah Suci, saya tahu bahwa beliau sudah sampai. Bukan hanya di bandara Indonesia, tapi sampai di puncak dari seluruh perjalanan hidup yang pernah ia tempuh. Dari seorang guru, dari seorang ayah, dari seorang hamba.

Saya yakin, kematian ini bukan akhir. Ini pintu.
Pintu yang hanya dibuka oleh mereka yang sudah selesai dengan dunianya. Saya ingat betul, sebelum keberangkatan haji itu, kami dari Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi juga hadir ke rumah beliau. Sederhana. Ramah. Ada suguhan pisang goreng yang rasanya lebih banyak dari yang kami sanggup habiskan. Tapi yang paling saya ingat, adalah doa beliau yang tidak egois. 

“Semoga bukan cuma saya dan istri yang bisa ke sana,” katanya. “Semoga panjenengan semua juga bisa. Kita semua.”
Doa yang mengajak. Bukan doa yang membatasi.

Dan begitulah beliau. Tidak riuh. Tidak ingin dipuja. Tapi selalu hadir dengan benih yang pelan-pelan tumbuh menjadi kebaikan.
Beliau memang punya riwayat sakit. Tapi siapa yang tak punya? Bahkan orang paling sehat pun tidak pernah benar-benar tahu apakah paru-parunya masih mengembang sempurna atau hatinya sudah diam-diam retak. Tapi beliau berangkat haji. Dan menyelesaikannya.

Kita menyebutnya mabrur.
Kita menyebutnya perjalanan yang tak hanya kembali, tapi juga mengangkatnya ke derajat yang tak bisa dihitung dengan angka.

Ada orang-orang yang pergi meninggalkan dunia dalam keadaan bersembunyi dari kebaikan. Tapi ada juga yang pergi setelah menggenapkan ibadahnya. Setelah thawaf. Setelah sa’i. Setelah bermunajat. Setelah segala tetes air mata bercampur dengan debu tanah Mekkah yang kering tapi suci.

Kita tak bisa memilih kapan dan di mana akan mati. Tapi kita bisa memohon pada Tuhan agar di saat kematian datang, kita sedang dekat dengan-Nya. Sedang tidak sibuk dengan urusan dunia. Sedang tidak membawa dendam atau niat buruk.

Dan saya percaya, Bapak H. Kajim Susanto dipanggil pulang dalam keadaan paling baik:
Setelah haji. Setelah menuntaskan rukun-rukun cinta kepada Allah.
Setelah menabur senyum kepada istri, sahabat, dan murid-muridnya.
Setelah mengajari kita bahwa hidup bukan soal panjangnya, tapi soal keberkahannya.

Saya bayangkan, suatu sore di langit Madinah yang warnanya seperti madu yang dituangkan perlahan, beliau duduk di depan Masjid Nabawi. Tangannya bersedekap. Hatinya tenang. Ia melihat burung-burung terbang rendah di antara kubah masjid, dan tahu bahwa hidup ini indah.

Lalu malam tiba. Dan ada suara yang tidak terdengar oleh kita, tapi sangat jelas baginya:
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."

Dan beliau pulang. Senyap. Damai. Seperti seorang ayah yang tahu bahwa seluruh tanggung jawabnya sudah selesai.

Kita yang tinggal, hanya bisa menunduk. Mengamini.
Dan menyambung doa beliau yang terpotong oleh kematian:
Agar semua kita pun kelak menyusul dalam keadaan husnul khatimah.

Amin.
Selamat jalan, guru kami.
Semoga engkau kini sedang tersenyum di taman surga, mendengarkan ayat-ayat Alquran yang dibacakan para malaikat.
Dan semoga cinta yang kau tinggalkan menjadi pohon yang terus tumbuh di hati kami.


GM FKPPI Banyuwangi Pasang 15 Baliho Patriotik Dukung Polri Jelang Hari Bhayangkara ke-79

Banyuwangi (Warta Blambangan) Menjelang peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang jatuh pada 1 Juli 2025, Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (GM FKPPI) PC-1325 Banyuwangi menunjukkan dukungan dan apresiasi terhadap Kepolisian Republik Indonesia dengan memasang baliho dan billboard secara serentak di 15 titik strategis se-Kabupaten Banyuwangi, pada Senin malam (30/06/2025).


Baliho dan billboard tersebut bertema patriotik dan memuat pesan penghormatan kepada institusi Polri, berbunyi:
“Selamat Hari Bhayangkara ke-79. Terima Kasih Polri Atas Pengabdianmu untuk Negeri. Semoga Polri Semakin Profesional, Dicintai Rakyat dan Menjadi Garda Terdepan Dalam Menjaga NKRI.”

Aksi pemasangan ini merupakan bagian dari gerakan moral dan kebangsaan yang diinisiasi GM FKPPI Banyuwangi sebagai bentuk sinergi masyarakat dengan aparat penegak hukum, khususnya dalam menjaga stabilitas nasional dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

Ketua GM FKPPI Banyuwangi, KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H., menyatakan bahwa aksi ini bukan sekadar simbolik, melainkan bentuk konkret dukungan moral terhadap Polri dalam menjalankan amanat reformasi institusi dan pengabdian kepada rakyat.

“Polri adalah pilar utama keamanan dan ketertiban bangsa. Di tengah kompleksitas tantangan zaman, GM FKPPI ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas pengabdian tanpa henti jajaran Polri kepada negeri. Harapan kami, Polri semakin profesional, humanis, dan terus dicintai rakyat,” ujar Achmad Wahyudi kepada awak media.

Ia menambahkan bahwa generasi muda dari keluarga besar TNI-Polri memiliki tanggung jawab moral untuk merawat nilai-nilai nasionalisme dan mendukung stabilitas negara, termasuk memperkuat hubungan antara rakyat dan aparat.

Senada dengan itu, Sekretaris GM FKPPI Banyuwangi, Marselinus Moa Dany, K., S.Pd., menjelaskan bahwa pemasangan baliho dan billboard tidak hanya dilakukan di pusat kota, tetapi juga menjangkau kawasan perbatasan.

“Kami ingin pesan moral dan apresiasi terhadap Polri dapat dilihat, dirasakan, dan menginspirasi seluruh elemen masyarakat. Ini bagian dari edukasi publik agar masyarakat terus menghargai peran strategis Polri dalam menjaga kedaulatan hukum dan keamanan nasional,” terangnya.

Langkah GM FKPPI Banyuwangi ini mendapat sambutan positif dari berbagai tokoh masyarakat dan aparat keamanan. Banyak yang menilai, aksi tersebut sebagai bentuk kemitraan produktif antara organisasi kemasyarakatan dengan institusi negara dalam membangun suasana yang kondusif, berkeadaban, dan menjunjung tinggi nilai kebangsaan.


Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

 

Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

Saya tidak pernah berencana pergi malam itu. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, kepergian saya ke rumah itu bukan karena kehendak saya sendiri. Ada tangan halus yang menggiring langkah kita ke arah yang tak kita duga. Tangan yang sering kita sebut sebagai kebetulan, padahal sebenarnya ketetapan yang malu-malu.

Rumah itu bukan rumah siapa-siapa. Tapi entah bagaimana, sejak saya melepas sandal dan duduk di atas karpet bercorak Timur Tengah, rumah itu terasa seperti bagian dari saya. Seperti ruang kecil dalam hati yang lama tidak saya buka. Ada air Zamzam di meja. Ada kurma yang tidak manis, tapi entah mengapa menghangatkan dada. Dan ada satu perempuan yang duduk di depan saya—perempuan yang saya rasa pernah saya temui entah di mana. Di mimpi? Di antrean haji tahun lalu? Atau di lorong waktu yang saya sendiri tidak pernah hafal pintunya? 


Namanya Hj. Danny Fardah Mihmidati. Perempuan itu duduk seperti seseorang yang sudah berdamai dengan waktu. Ia mengenakan gamis warna krem, kacamatanya tipis, dan sudut bibirnya menyimpan senyum yang tidak selesai. Senyum yang tidak menawarkan bahagia, tidak pula mengundang iba. Hanya senyum yang tahu caranya bersabar. Kloter SUB-44. Itulah rombongan hajinya. Rombongan yang oleh berita-berita dikabarkan sebagai “kloter tertunda.” Tapi saya merasa: tidak ada yang benar-benar tertunda, kecuali orang-orang yang terlalu cepat menuntut kepastian.

“Tertunda, Mas,” katanya pelan. “Tapi ternyata yang tertunda itu bukan hanya kepulangan. Tapi juga kesedihan.”

Saya mendengarkan kalimat itu seperti orang yang baru pertama kali belajar membaca. Saya mengucapkannya dalam hati, lalu menekuri maknanya, seakan sedang merenungkan ayat yang turun di luar jadwal. Ia bercerita. Tentang malam-malam di Jeddah. Tentang kepanikan awal ketika pengumuman penundaan disampaikan. Tentang jamaah yang menangis, yang mengeluh, yang pasrah, dan yang diam. Tapi yang paling mengejutkan bukanlah keterlambatan itu. Melainkan hadiah yang diam-diam diselipkan Tuhan ke dalam koper mereka: hotel bintang lima. Hotel dengan lift yang berjalan pelan seperti dzikir. Hotel dengan kasur empuk seperti dada yang telah memaafkan. Hotel dengan sarapan yang membuat lidah kampung kehilangan kata.

“Awalnya kami sedih,” kata Danny. “Tapi begitu masuk kamar hotel itu, kami tertawa, seperti anak-anak dapat permen.”

Saya tertawa. Tapi tawa saya tertahan di tenggorokan. Ada rasa bersalah yang menggumpal. Rasa bersalah karena saya ingat betapa sering saya kecewa ketika rencana kecil saya tak sesuai jadwal. Padahal Tuhan sedang menyusun kejutan. Hotel itu bukan hanya tempat menginap. Ia adalah ayat yang dilipat dalam selimut. Ia adalah tanda bahwa Tuhan bisa menyewa hotel bintang lima untuk hamba-hamba-Nya yang sabar. Tanpa pesan. Tanpa down payment. Tanpa jaminan. Mereka tidak membayar malam itu. Tapi malam itu membayar banyak luka. Dani lalu mengatakan sesuatu yang bagi saya terdengar seperti doa yang disamarkan:

“Mas, kadang kita tidak perlu terburu-buru pulang. Karena Tuhan juga tidak selalu terburu-buru memberi. Tapi Ia pasti memberi. Itu pasti.”

Saya menunduk. Mencium aroma teh yang disuguhkan, seperti mencium ketenangan yang tak bisa dibeli. Lalu, dalam percakapan yang entah mengapa terasa seperti pengakuan dosa di pinggiran kota, saya bertanya dengan nada main-main, “Apa doa Ibu ketika di Multazam?”

Dia mengangkat bahu. Gerak kecil, tapi saya tahu beratnya seperti menahan gerimis agar tidak jatuh.

“Saya tidak berani berdoa banyak-banyak. Takut tidak kuat menerima,” katanya.

Kalimat itu membuat saya diam cukup lama.

“Saya hanya bilang, ‘Ya Allah, saya terima apapun. Asal Engkau tetap jadi arah saya pulang.’”

Saya mendengar kalimat itu seperti sedang membaca puisi dari buku tua yang belum selesai ditulis penulisnya.

“Kalau soal keinginan-keinginan pribadi,” katanya lagi, “saya pasrahkan ke orang yang minta didoakan. Biarlah mereka berdoa, saya yang mengaminkan.”

Saya tercekat. Di dunia yang penuh dengan orang yang sibuk meminta, saya bertemu seseorang yang bersedia menjadi peng-amin. Ia tidak ingin menjadi pusat dari doa-doa. Ia ingin jadi gema kecil. Menjadi amin di ujung doa orang lain. Ia adalah jalan sunyi dari spiritualitas yang tidak ingin dipamerkan.

Saya lalu teringat cerita dari pembimbing ibadah kloter itu, yang dulu adalah Ketua Rombongan satu SUB-58. Tahun lalu saya ketua kloternya. Kami pernah berbagi malam-malam tanpa tidur di Mina, meyakinkan jamaah yang hilang arah, atau membagi makanan untuk jamaah. Dan di sanalah saya menyadari: ibadah haji adalah ibadah yang kolektif, tapi hati tetap bekerja sendiri-sendiri.

Saya pulang malam itu di atas motor tua. Jalanan sepi. Tapi kepala saya penuh suara. Seperti malam sedang membacakan catatan harian yang tidak pernah saya tulis. Dan catatan itu berkata: tidak semua penundaan adalah musibah. Kadang ia adalah bungkus hadiah yang belum siap kita buka. Saya memikirkan kolam renang di hotel bintang lima itu. Kolam yang tidak disentuh para jamaah karena menjaga wudhu. Dan saya tersenyum pahit. Di kota ini, banyak orang yang berenang dalam dosa, tapi tetap bangga dengan pakaian ibadahnya.

Dani tidak sedang bercerita tentang mewahnya hotel. Ia sedang menyampaikan: bahwa dalam perjalanan menuju Tuhan, ikhlas bukan hanya kunci. Ia adalah rumah. Dan rumah itu tidak perlu besar. Cukup tenang. Ia tidak meminta surga, tidak menuntut umur panjang, tidak pula memohon harta. Ia hanya ingin tetap berdoa. Dan menjadi suara amin bagi mereka yang ingin meminta. Saya merasa telah berziarah malam itu. Bukan ke makam wali, bukan ke Madinah atau Arafah. Tapi ke hati seorang perempuan yang sudah haji bukan hanya dengan fisik, tapi dengan pasrah yang tidak dibuat-buat. Di jalan pulang, angin mengusik helm saya. Tapi saya tidak peduli. Saya masih memikirkan satu hal: Tuhan ternyata bisa menyewa hotel bintang lima. Dan malam ini, Ia juga telah menyewa ruang dalam hati saya—untuk saya diami dengan diam, untuk saya renungi dengan takut, dan untuk saya isi dengan kata paling sederhana dalam ibadah: Amin.

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog