Banyuwangi, (Warta Blambangan) Diskusi budaya dan sastra mengenai Selawat Badar yang diselenggarakan di Palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi menjadi ruang refleksi bagi masyarakat dan akademisi dalam memahami dimensi sejarah, budaya, dan sosial dari sholawat yang telah mendunia ini. Acara yang dikemas dalam bentuk bedah buku karya Ayung Notonegoro tersebut menghadirkan berbagai perspektif, baik dari segi keagamaan, politik, maupun sastra.
Dalam forum yang dihadiri oleh perwakilan Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Lentera Sastra Banyuwangi, serta mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewa Alit, menegaskan bahwa Selawat Badar telah memperoleh pengakuan resmi dari negara. Presiden Republik Indonesia bahkan menganugerahkan penghargaan Satyalancana kepada penciptanya, KH. Ali Mansur, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya dalam dakwah Islam melalui seni religius.
Namun, di luar pengakuan resmi tersebut, diskusi berkembang lebih luas ke aspek historis dan sosiopolitik yang melingkupi lahirnya Selawat Badar.
Ayung Notonegoro dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Selawat Badar diciptakan oleh KH. Ali Mansur pada dekade 1960-an. Beliau merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang NU Banyuwangi serta Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Banyuwangi—sebuah jabatan yang dalam konteks saat ini setara dengan Kepala Kementerian Agama Kabupaten. KH. Ali Mansur juga tercatat sebagai anggota Konstituante yang berperan dalam perumusan dasar negara pasca-kemerdekaan.
Dalam kajian akademik, Selawat Badar dipandang sebagai salah satu bentuk ekspresi keagamaan yang berkembang secara dinamis. Ayung menegaskan bahwa sholawat tidak memiliki aturan baku dalam redaksinya, sebagaimana dibuktikan dengan munculnya berbagai varian seperti Selawat Nariyah, Selawat Munjiyat, dan Selawat Asyghil di berbagai wilayah Nusantara. Namun, keberadaan Selawat Badar di Banyuwangi tidak hanya terkait dengan aspek spiritual, tetapi juga dengan dinamika sosial-politik yang terjadi pada masa itu.
Diskusi kemudian berkembang ke arah yang lebih kompleks ketika sejumlah panelis menyoroti peran Selawat Badar dalam lanskap politik dan kebudayaan lokal Banyuwangi.
Syafaat, Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi sekaligus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, mengemukakan bahwa penciptaan Selawat Badar tidak dapat dilepaskan dari situasi politik pada masa itu. Ia menyinggung bagaimana persaingan ideologi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan NU turut memengaruhi lahirnya sholawat ini. "Tanpa kiprah KH. Ali Mansur di Banyuwangi, mungkin Selawat Badar tidak akan tercipta," ujarnya.
Sementara itu, Hasan Basri, Ketua DKB, menyoroti dimensi sastra dalam Selawat Badar. Menurutnya, struktur puisi yang digunakan dalam sholawat ini mencerminkan kekayaan sastra Arab yang dipadukan dengan karakteristik budaya Islam Nusantara. "Sholawat ini bukan sekadar doa, tetapi juga sebuah bentuk ekspresi sastra religius yang memiliki kedalaman makna," paparnya.
Menambahkan perspektif yang lebih luas, Iqbal Baraas dari Universitas Islam Ibrahimy Genteng menyoroti bagaimana seni religius di era 1950-1960-an sering kali memiliki keterkaitan erat dengan politik. Ia menyebut bahwa Selawat Badar dapat dilihat sebagai salah satu bentuk seni yang digunakan sebagai alat ekspresi dan bahkan propaganda dalam konteks sosial-politik pada masanya.
Kontroversi dalam diskusi semakin menguat ketika Elvin Hendrata, salah satu peserta, mengajukan pertanyaan kritis mengenai bagaimana Selawat Badar mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan warisan budaya Banyuwangi lainnya. Ia menyinggung keberadaan lagu Genjer-genjer, yang juga lahir di Banyuwangi, tetapi mengalami nasib yang berbeda. "Sementara Selawat Badar kita banggakan, Genjer-genjer dibiarkan tanpa pelurusan sejarah," ungkapnya. Pernyataan ini memicu diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana suatu karya seni atau budaya mendapatkan legitimasi dalam narasi sejarah dan politik.
Sebagaimana diketahui, Genjer-genjer adalah lagu rakyat Banyuwangi yang pada masa Orde Lama digunakan sebagai alat propaganda politik dan kemudian dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Pernyataan Elvin membuka wacana baru mengenai bagaimana beberapa warisan budaya Banyuwangi mungkin masih berada dalam bayang-bayang glorifikasi budaya lainnya.
Diskusi ditutup dengan pembacaan Selawat Badar secara kolektif serta buka puasa bersama. Namun, berbagai pertanyaan yang mengemuka dalam forum ini masih menggantung, menuntut kajian yang lebih mendalam mengenai posisi Selawat Badar dalam lanskap kebudayaan Banyuwangi.
Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Selawat Badar telah menjelma menjadi simbol identitas sosial, politik, dan budaya Banyuwangi. Forum ini menunjukkan bahwa kajian terhadap sholawat tidak hanya terbatas pada aspek teologis semata, tetapi juga perlu memperhitungkan konteks historis, sosiologis, dan politik yang melingkupinya.
Pada akhirnya, diskusi ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus berkembang dalam narasi dan interpretasi masyarakatnya. Sejarah, seperti halnya Selawat Badar, selalu terbuka untuk dipahami kembali dari berbagai perspektif.
Berita ini ditulis dengan pendekatan ilmiah dan akademik, menggabungkan aspek sejarah, budaya, politik, dan sastra dalam menganalisis Selawat Badar.