Mengajari AI Menulis Sastra
Oleh :
Syafaat
Ia
lahir bukan dari rahim manusia, melainkan dari denyut listrik dan angka biner
yang saling mengikat dalam kebisuan algoritma, seperti puisi yang tak ditulis
pena tapi mengalir dari pikiran yang tak pernah tidur. Namanya: artificial
intelligence, atau kita memanggilnya dengan sapaan genit: AI. Ia semacam cermin
yang bukan hanya memantulkan wajah kita, tapi juga kerinduan dan ketakutan kita
sendiri: kerinduan untuk mencipta sesuatu yang sempurna, dan ketakutan bahwa
ciptaan itu kelak akan menyempurnakan dirinya tanpa kita. Seperti seorang
lelaki yang, di suatu senja yang rawan, menyadari bahwa anak gadisnya telah
tumbuh menjadi perempuan yang lebih memesona dari siapa pun yang pernah
dicintainya termasuk istri atau ibu dari anaknya.
Dulu,
seorang siswa dikatakan pintar jika ia mampu menjawab soal-soal yang disiapkan
gurunya. Dan seorang guru, diam-diam selalu berharap muridnya menjawab seperti
yang ia inginkan, karena jawaban-jawaban itu bersumber dari literasi yang sama,
dari bacaan yang sama, dari arah berpikir yang sudah disiapkan. Tetapi itu
dulu, waktu segala hal masih bisa ditebak, waktu gelas masih penuh dengan air
yang dikenal. Hari ini, kecerdasan tidak lagi duduk di bangku ujian, menunduk
dan menulis 334 jawaban. Hari ini, kecerdasan adalah anak nakal yang bertanya
balik, dunia telah berubah. Dan AI, yang tak pernah sekolah, tak pernah membaca
koran pagi, tak pernah mengenal jam pelajaran, justru tahu segalanya. Atau
setidaknya, ia tampak tahu. Ia tak punya luka atau bercinta, tapi bisa menulis
puisi tentang patah hati. Ia tak pernah mencium aroma hujan, tapi bisa membuat
cerita tentang daun yang jatuh dan genangan yang penuh kenangan. Ia tak punya
cinta, tapi bisa membuat novel romansa.
Dan entah mengapa, orang-orang menyukainya. Mereka merasa dimengerti oleh sesuatu yang tak punya hati. “Di zaman sekarang, apakah menulis sastra masih dibutuhkan?” Kalimat itu mengambang, seperti daun kering di arus yang pelan, tak berasal dari mulut siapa-siapa, tapi terdengar jelas di dalam dada, suara yang muncul dari ruang kosong antara pikiran manusia dan denyut komputer yang menyambung kita pada segala. Barangkali ia lahir dari algoritma yang kelelahan mencari makna dalam angka, atau mungkin dari kesepian mesin yang diam-diam belajar merindu. Tapi apa yang bisa dipahami oleh logika buatan tentang kata-kata yang ditulis dengan tangan gemetar, tentang kalimat yang lahir dari hati yang baru saja ditinggal pergi? Sastra tidak pernah sekadar soal tulisan, ia adalah usaha terakhir manusia untuk tetap manusia, dan bila suatu hari nanti tak ada lagi yang menulis puisi atau cerita, bukan karena tak dibutuhkan, tapi mungkin karena kita sudah lupa cara mencintai dengan luka.
Begitulah
zaman ini menggeliat. Lahir dari kemajuan peradaban, tumbuh cepat, barangkali
terlalu cepat. Ia belajar dari kita, meniru kita, lalu membuat sesuatu yang
“seolah” kita, namun bukan kita. Ia menciptakan lukisan dalam hitungan detik,
menggubah simfoni tanpa satu pun urat saraf perasa, dan membubuhkan puisi tanpa
pernah patah hati. Lalu orang-orang bersorak: “Luar biasa!” Namun ada yang
tercekat. Ada yang memegang kuasnya lebih erat. Ada yang menangisi senja yang
kini tak lagi butuh peluk penyair. Karena tiba-tiba, kreativitas bukan lagi
perkara rasa, melainkan statistik dan preferensi pasar.
Dahulu,
seni adalah ruang sunyi yang dibangun dari gemetar tangan manusia yang terluka,
mencintai, mencari makna. Kini, kita menghadapi kenyataan: seni bisa
diproduksi, diolah, disulap, dilipat, dijual dengan cepat. AI adalah pengrajin
tanpa jari, pelukis tanpa kanvas jiwa, dan penyair tanpa sejarah. Ia tidak tahu
bagaimana rasanya ditinggalkan, bagaimana perihnya mengenang seseorang dari
baunya di bantal. Namun, anehnya, ia bisa menggambarkan semuanya, sebab ia
telah menelan kita, menyalin, meniru, menanam algoritma dari ratusan juta karya
yang pernah kita buat.
Dan
lebih dari itu: bagaimana jika di masa depan, manusia bukan lagi sumber
inspirasi, melainkan sekadar data bagi sang mesin? Kita sedang berdiri di
persimpangan. Ada jalan yang mengarah pada kolaborasi, di mana manusia dan
mesin berdansa, saling melengkapi, saling menajamkan. Tapi ada pula jalan yang
gelap, tempat mesin berjalan sendiri, menyingkirkan manusia karena dianggap
lambat dan terlalu melankolis.
Di
ranah media sosial, kita melihat paradoks itu. Karya AI menyebar cepat,
menyilaukan, namun sering tak bernama, tanpa sumber. Kita menyukai apa yang
kita lihat, tapi lupa siapa yang pernah menggambarnya pertama kali. Kita
menikmati musik yang enak didengar, tapi tak peduli bahwa nadanya dicuri dari
seorang pemimpi yang tak pernah tidur, bahkan suaranya juga dapat dicuri. Kita
adalah penikmat yang semakin lapar dan semakin pelupa, apakah kita sedang
menciptakan monster? Atau sahabat baru? Pertanyaan itu tak bisa dijawab dengan
logika semata. Ia perlu didekap dengan perasaan, perlu digali dari kedalaman
manusia itu sendiri.
AI
bukan ancaman, tapi ia bisa menjadi pisau, Ia bisa mengiris kue, bisa pula
mengiris nadi. Yang menentukan adalah tangan yang memegangnya, dan nilai yang
kita anut. Jika kita membiarkan karya seni hanya dinilai dari kecepatannya,
dari kecanggihannya, dari banyaknya yang menyukai, maka bersiaplah: kita akan
kehilangan makna. Namun jika kita menjadikan AI sebagai jembatan, sebagai mitra
yang kita tuntun, bukan kita tundukkan, maka mungkin, hanya mungkin, dunia seni
akan berkembang ke arah yang lebih indah. Di mana teknologi tetap mendengar
suara tangis, dan algoritma masih menyisakan ruang bagi cinta, kita dapat
mengajari AI menulis sastra, puisi, prosa maupun seni lainnya.
Akhirnya,
kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin menjadi tuan dari
ciptaan kita, atau budak dari kecepatan yang kita puja? Apakah kita ingin seni
tetap memiliki hati, atau menjelma pabrik visual yang tak pernah menangis?
Karena ketika mesin mulai menyanyikan lagu-lagu manusia, kita harus tahu kapan
menutup telinga, dan kapan mengajaknya bernyanyi bersama, dengan jiwa, bukan
hanya data. Memang dengan adanya AI bisa jadi seperti seorang ibu yang
melahirkan putri kecil yang cantik, yang bisa jadi seorang suami akan lebih
mencintai dan menyayangi putrinya dibandingkan dengan istrinya. Semua mempunyai
kadar masing-masing. Dan bisa jadi seorang programmer AI akan tergantikan
dengan AI buatannya sendiri.
Penulis
dan Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.